Pada zaman sekarang ini, terutama zaman yang dikenal dengan istilah Milenium ketiga, tersebar secara luas suatu seruan atau propaganda yang sa-ngat keji, yaitu seruan tentang persatuan atau persamaan agama, antara dinul Islam, agama Yahudi dan agama Nashrani (Kristen). Seruan ini mengajak untuk membangun masjid,
sinagoge (kastil tempat ibadah Yahudi) dan gereja dalam satu tempat, baik di lingkungan universitas, lapangan udara, dan tempat-tempat umum lainnya. Bahkan yang lebih menghebohkan lagi adalah usulan untuk mencetak al-Qur’an, at-Taurot, dan al-Injil dalam satu cetakan. Dan imbas dari semua seruan tersebut, dipropagandakan untuk menyelenggarakan mu’tamar, seminar dan pertemuan-pertemuan lainnya yang membahas tentang persamaan agama tersebut. Mereka (pluralisme) berdalil dengan firman Alloh swt sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” {Qs. Al-Maidah (5) : 69}.
Ayat di atas hampir sama dengan firman Alloh swt yang lain, yaitu: Qs. Al-Baqoroh (2) : 62.
Saudaraku!! Itulah dalil al-Quran yang telah mereka selewengkan, dan akan kami bantah pemahaman (persatuan agama) tersebut,
dan akan kami bahas diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam Qs. Al-Maidah: 69 dan Qs. Al-Baqoroh: 62, inilah yang harus kita garisbawahi
yaitu yang berbunyi: “…siapa saja (diantara mereka)* yang benar-benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal saleh,”
*maksudnya, Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi (bani isroil), Nashroni dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Alloh. Mengenai shabi’in, para ulama berbeda pendapat. Diantara pendapat yang lebih jelas adalah pendapat Mujahid, para pengikutnya dan Wahab bin Munabbih. Menurutnya, me-reka adalah suatu kaum yang tidak memeluk agama Yahudi, tidak juga Nashroni, ataupun Majusi dan bukan pula Musyrikin. Tetapi me-reka adalah kaum yang masih berada di atas fitroh dan tidak ada agama tertentu yang dianut dan dipeluknya. Oleh karena itu, Orang-orang musyrik mengejek orang yang berserah diri dengan sebutan Shabi’i. Artinya, ia berada diluar semua agama yang ada (agama yang menyimpang) dimuka bumi pada saat itu. Sedangkan
Shabiin di sini ialah orang-orang yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu, bukan shabiin yang setelahnya yang kemudian mereka ada yang menyimpang (yang menyembah
bintang, dewa-dewa atau malaikat) dan yang menyimpang ini tidak termasuk dalam kategori selamat dari neraka (karena mereka kafir), sama sebagaimana kaum Yahudi dan Nashoro masa kini-pen. Dan sebagian ulama lainnya mengatakan, shabiin adalah mereka yang tidak sampai kepadanya dakwah seorang Nabi. Wallohu a’lam.
2. Ayat ini (Al-Baqoroh: 62) sering dipa-kai/ dijadikan dalil oleh mereka (orang-orang pluralisme) tentang adanya wihdah al-adyan atau yang sekarang dikenal dengan istilah persamaan atau persatuan agama, terutama bagi tiga agama samawi (bagi mereka) yaitu Islam, Yahudi dan Nashrani. Agama samawi (yang datangnya dari Alloh) hanyalah Islam, din para nabi dan rosul. Nabi Isa as. dan Musa as. bukan Nashroni maupun Yahudi, Tetapi mereka Islam. Para Nabi dan Rosul diutus dengan Islam sedangkan Nashroni dan Yahudi merupakan nama suatu kaum. Kata-kata Yahudi dan Nashroni sebagai Agama tidak terdapat di dalam kitab samawi (Taurot dan Injil).
Justru yang ada hanyalah kata Islam. Kita meyakini kitab Taurot dan Injil adalah kitab suci yang datangnya dari Alloh, tetapi bukan Injil dan Taurot yang sekarang ini, karena injil dan Taurot yang sekarang ini sudah berbeda, sudah tidak asli, sudah dirubah oleh rahib-rahib atau pendeta mereka. Dan kitab taurot dan Injil sudah dihapus dengan datangnya Al-Qur’an -pen. Jadi, bani Isroil (yang dulu) yang bersama dengan Nabi Musa as. yang berhukum pada Taurot pada zamannya dan Nashroni yang sezaman dengan Nabi Isa as. mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Karena mereka adalah memeluk dienul Islam, bukan beragama Yahudi maupun Nashroni. Adapun yahudi dan Nashroni yang ada sekarang ini, mereka kafir. Mereka tidak beriman kepada Rosululloh dan mereka telah menyekutukan Alloh dengan mengkultuskan nabi-nabi seba-gai robb mereka. Jadi ayat yang dianggap tentang
adanya persamaan atau persatuan agama adalah mansukh (sudah di hapus) hu-kumnya untuk orang Yahudi dan Nashrani se-karang / saat ini. Alloh swt mengingatkan bahwa siapa yang berbuat baik dan menaatiNya dari ummat-ummat terdahulu akan mendapatkan pahala kebaikan. Demikian itu berlanjut sampai hari kiamat tiba, setiap orang yang mengikuti
Rosul, Nabi Muhammad saw yang ummiy (yang buta huruf) akan memperoleh kebahagiaan abadi, dan tidak merasa khawatir dalam menghadapi apa yang akan terjadi di masa mendatang, juga tidak bersedih atas apa yang mereka tinggalkan dan terluput dari mereka, sebagaimana firman Alloh Qs. Yunus (10): 62 dan Qs. Fushshilat (41) : 30.
3. Dari Mujahid, Ibnu Abi Hatim me-ngatakan: “Salman ra bercerita: Aku pernah bertanya kepada Nabi saw, mengenai pemeluk suatu agama, yang aku pernah bersama mereka. Lalu aku kabarkan mengenai shalat dan ibadah mereka, maka turunlah firman Alloh Qs. Al-Baqoroh: 62. Mengenai hal ini, Ibnu Katsir mengatakan: “Ini tidak bertentangan dengan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Alloh swt tersebut”. Ibnu Abbas ra berkata: “Setelah ayat tersebut Alloh menurunkan firman-Nya yang lain yaitu:
Barangsiapa mencari Din (agama) selain Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (Din itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. {Qs. Ali ‘Imron (3) : 85}.
Jadi, Alloh swt tidak akan menerima suatu jalan atau amalan dari seseorang kecuali yang sesuai dengan syari’at Muhammad saw setelah beliau diutus sebagai pembawa risalah.
Dalam menjawab seruan yang termaktub dalam pendahuluan diatas, yaitu berkaitan dengan penyatuan agama dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’ {fatwa no: 19402, tgl 25/1/1418 H, ditandatangani
oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ali asy-Syaikh (wakil ketua), asy-Syaikh shaleh bin Fauzan al-Fauzan (anggota) dan asy-Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid (anggota)}, mengeluarkan fatwanya sebagai berikut:
1. Sesungguhnya di antara pokok aqidah Islam yang harus diketahui adalah bahwasa-nya kaum muslimin telah sepakat bahwa tidak ada satu Din-pun yang haq di atas bumi ini kecuali Din Islam. Islam adalah penutup semua agama dan penghapus semua agama dan syari’at sebelumnya. Maka tidak ada satu agamapun yang dijadikan sarana untuk me-nyembah Alloh swt kecuali melalui Din Islam. Alloh swt berfirman, yang artinya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” {Qs. Ali Imran (3) : 85}.
Dan yang dimaksud dengan Islam adalah setelah diutusnya Muhammad saw adalah ajaran yang dibawanya, tidak yang lainnya.
2. Termasuk pokok aqidah Islam adalah bahwa Kitabulloh, Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan dan dijanjikanNya. Maka secara otomatis, Al-Qur’an adalah nasikh (penghapus) kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, seperti At-Tauroh, Az-Zabur, Al-Injil dan yang lainnya. Maka tidak ada satu kitab-pun yang dijadikan sarana untuk menyembah Alloh swt kecuali al-Qur’an. Alloh swt berfirman, yang artinya:
“dan Kami telah turunkan kepadamu Al- Quran dengan membawa kebenaran, membenar-kan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. …,” {Qs. Al-Maidah (5) : 48}.
3. Kita wajib mengimani bahwa At-Tauroh dan Al-Injil adalah kitab yang telah dihapus dengan diturunkannya al-Qur’an. Di samping itu, keduanya telah mengalami penyimpangan,
perubahan, penambahan dan pengurangan, sebagaimana yang disitir dalam Al-Qur’an.
Alloh swt berfirman, yang artinya:
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah Perkataan (Alloh) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat),…” {Qs. Al-Maidah (5) : 13}. Lihat pula Qs. Al-Baqarah (2) : 79; Qs. Ali Imron (3) : 78.
Meskipun sebelumnya kedua kitab tersebut adalah benar, akan tetapi telah dimansukh oleh Islam, maka yang selainnya adalah menyimpang dan telah berubah dari aslinya. Dan Nabi saw pernah menampakkan kemarahannya ketika beliau melihat Umar bin al-Khathab membawa lembaran At-Taurat, seraya beliau bersabda:
“Apa engkau ragu terhadap Islam (al-Qur’an) wahai Ibnu al-Khathab? Bukankah telah datang hal yang lebih gamblang? Dan ketahuilah, seandainya saudaraku Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan lain baginya kecuali dengan mengikutiku.” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan lainnya).
Bersambung ....
Referensi:
Penyatuan Agama, Daar al-Gasem (Darul Qosim), Riyadh.
Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah.
Terjemah Al-Qur’an, DepAg.
Tafsir Ibnu Katsir, jilid I dan III, pustaka Imam Syafi’i.
06 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar