Penaskahan Kitab Suci Al-Qur’ an
Jasa teramat besar dari Khalifah Utsman bin ‘Affan, yakni bagi kepentingan agama, ialah penaskahan Kitab Suci Al-Qur’ an. De-ngan begitu terhindarlah, untuk abad-abad selanjutnya, kemungkinan pemalsuan satu kata ataupun satu kalimat maupun sesuatu ayat dari kitab suci Al Qur’an. Dengan jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan itu terpenuhilah janji Allah swt, di dalam surah Al-Hijr (15) ayat 9, berbunyi;
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikrah (Al Quran), dan sungguh, Kami pula yang (benar-benar) memeliharanya*).”
*) Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Setiap kali ayat Al-Qur’ an itu diwahyukan maka Nabi Muhammad saw menyuruh kaum muslimin mencatatnya dan yang lain menghafalnya di luar kepala. Al Kuttab, yakni juru tulis yang ditugaskan mencatat setiap ayat Al-Qur’ an, baik selama berada di Mekkah maupun selama berada di Madinah berjumlah 20 orang terdiri atas; Abu Bakar Al Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Maslama, Arqam bin Abi Arqam, Ibban bin Said bin Ash, Khalid bin Said bin Ash, Tsabit bin Qais, Handzalah bin Rabi, Khalid bin Walid, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, Allak bin Otbah, Mughirah bin Syu’bah, dan Syarhabil bin Hassana.
Tetapi yang banyak mencatat di antara keseluruhannya itu, karena senantiasa mendampingi Nabi, ialah Zaid bin Tsabit. Selanjutnya ialah Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pencatatan itu mempergunakan berbagai bahan, seperti: pelepah korma yang dikeringkan dan ditipiskan dan dipotong menurut ukuran yang sama dan disusun rangkaiannya dengan benang. Tetapi sebagian besar para shahabat, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar, menghafalkan dan menjadikannya bahan bacaan siang malam. Jangankan pada masa itu, bahkan pada masa sekarang pun, banyak dijumpai Al-Huffadz (para penghafal Al-Qur’an) kitab suci al-Qur’an.
Walaupun catatan itu tersebar pada berbagai tangan. Nabi Muhammad saw senantiasa menunjukkan letak dan tempat sesuatu ayat itu di dalam rangkaian surah-surah di dalam Al-Qur’an.
Sepeninggal Nabi saw, yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra, terjadi Harbul Yamamah, berlangsung gerakan kemurtadan (ar-riddah) di seluruh semenanjung Arabia. Pasukan-pasukan dibentuk khalifah Abu Bakar ra, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, untuk menghadapi kaum Riddah. Di dalam pertempuran yang dahsyat dan sengit di dalam wilayah Yamamah banyak sekali tokoh-tokoh yang hafal Al-Qur’an, yakni para Huffadz dan Qurra’, gugur dan tewas dalam pertempuran tersebut. Kaum Muslimin (para sahabat Nabi) yang terbunuh atau syahid dalam peperangan tersebut sekitar 70 orang, atau menurut riwayat lain, hampir 500 orang atau 700 orang. Dan kebanyakan mereka orang-orang yang hafal Al-Qur’an.
Sekalipun gerakan kaum Riddat itu dapat dipadamkan akan tetapi pihak Islam telah kehilangan sekian banyak Huffadz. Sedangkan ada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu yang tidak tercatat secara tertulis.
Kondisi itu menimbulkan kekuatiran Umar bin Khattab ra akan kemurnian kitab suci Al-Qur’an untuk masa selanjutnya. Iapun membicarakannya dengan khalifah Abu Bakar ra dan menganjurkan supaya catatan tertulis yang tersebar pada berbagai tangan itu dikumpulkan, dan setiap ayat al-Qur’an yang cuma ada di dalam hafalan selama ini dan belum tertulis, supaya dicatat kembali secara tertulis.
Khalifah Abu Bakar ra pada mulanya ragu untuk melaksanakan saran itu, karena hal serupa itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw, dan keraguan itu sampai kepada, apakah ini bukan amalan bid’ah?! Tetapi Umar bin Khattab ra menegaskan arti pengumpulan catatan itu untuk masa depan selanjutnya. Khalifah Abu Bakar ra pada akhirnya menyetujuinya (sebab ini bukan bid'ah, Rosululloh saw juga pernah memerintahkan sebelumnya untuk mencatat al-Qur'an-red), lalu memanggil Zaid bin Tsabit ra dan menugaskannya untuk mengumpulkan kembali sekalian catatan yang tersebar pada berbagai tangan itu dan mencatat kembali setiap ayat al-Qur’an yang belum dijumpai dalam catatan tertulis selama ini, begitu juga Zaid ra pada awalnya merasa ragu, namun Abu Bakar ra menegaskan arti penting pengumpulan naskah al-Qur’an, hingga lapanglah dada Zaid bin Tsabit ra.
Hasil kumpulan catatan itu tersimpan di tangan Khalifah Abu Bakar ra, dan telah tersusun menurut urutan surahnya masing-masing. Kemudian tersimpan ditangan Khalifah Umar ra. Sepeninggalnya tersimpan ditangan Hafshah binti Umar , janda Nabi saw, puteri almarhum Khalifah Umar ra.
Hal itu berkelanjutan sampai pada masa pengamanan wilayah Azarbaijan dan Armenia pada tahun 26 H / 646 M. Di dalam pasukan besar yang dipimpin panglima Walid bin Okbah itu termasuk regu-regu pasukan dari Basrah dan Kufah dan tanah Syam. Panglima Huzaifah bin Yaman memimpin salah satu regu pasukan itu.
Di dalam gerakan bersama itu dijumpailah suatu yang agak ganjil oleh Huzaifah; pada saat-saat shalat maupun saat-saat istirahat malam hari dan masing-masing membaca hafalan Al-Qur’an pada perkemahannya, dijumpai perbedaan bacaan sesuatu kata di dalam ayat Al-Qur’an, karena perbedaan dialek pada suku-suku Arab itu.
Kenyataan itu menjadi pemikiran bagi Huzaifah; jikalau hal itu dibiarkan maka akibatnya akan buruk sekali bagi masa depan, karena keberagaman bacaan itu akan berakibat kekacauan pengertiannya kelak. Justru perlu segera dicegah kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pada saat beroleh kesempatan pulang ke Madinah ia pun menyampaikan pemikirannya itu kepada Khalifah Utsman bin Affan ra. Ternyata Khalifah Utsman bin Affan ra cepat dapat memahami kemungkinan-kemungkinan akibat yang buruk itu. Khalifah Utsman ra segera membentuk sebuah lembaga bagi penaskahan kitab suci al-Qur’an, terdiri atas: Zaid bin Tsabit; Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, Abdurrahman bin Harist bin Hisyam ra. Masing-masing mengepalai regu jurutulis (al-kuttab).
Panglima Abdllah bin Abi Sarrah dari Mesir dan panglima Muawiyah bin Abi Suf-yan dari Syam mengirimkan bahan-bahan/ peralatan yang dibutuhkan untuk penulisan naskah itu ke ibukota. Ummul Mukminin Hafshah binti Umar , menyerahkan kumpulan catatan yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar dan Umar kepada khalifah Utsman ra. Kemudian Lembaga al-Kuttab selanjutnya melakukan penaskahan kitab suci Al-Qur’an.
Pekerjaan itu barulah selesai pada tahun 30 H / 651 M. Penaskahan itu berjumlah 7 buah dan dikirimkan kepada pusat-pusat kedudukan kaum muslimin yang dipandang penting, yaitu: Mekkah, Damaskus, Shan’a di Aman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan satu lagi dipegang oleh Khalifah Utsman ra.
Naskah resmi yang dibubuhi cap Khalifah itu menjadi dasar bagi pihak-pihak yang berkeinginan melakukan penaskahan ganda selanjutnya. Di berbagai ibukota wilayah terbentuk lembaga-lembaga penggandaan naskah Al-Qur’an, untuk menampung permintaan yang membanjiri terhadap naskah kitab suci Al-Qur’an.
Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan ra itu masih dijumpai sampai hari ini dan tersimpan di Museum di Tashkent, Asia Tengah. Mengingat bekas bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan berpendapat bahwa naskah tua itu adalah mushaf yang tengah dibaca Khalifah Utsman bin Affan ra sewaktu mendadak kaum perusuh di ibukota itu menyerbu gedung kediamannya dan melakukan pembunuhan terhadap dirinya (Joesoef Sou’yb:391).
Karena naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalifah Utsman bin Affan ra itu masih terpelihara dengan baik maka terjaminlah kemurnian setiap kata dan kalimat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
Referensi:
Jasa teramat besar dari Khalifah Utsman bin ‘Affan, yakni bagi kepentingan agama, ialah penaskahan Kitab Suci Al-Qur’ an. De-ngan begitu terhindarlah, untuk abad-abad selanjutnya, kemungkinan pemalsuan satu kata ataupun satu kalimat maupun sesuatu ayat dari kitab suci Al Qur’an. Dengan jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan itu terpenuhilah janji Allah swt, di dalam surah Al-Hijr (15) ayat 9, berbunyi;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikrah (Al Quran), dan sungguh, Kami pula yang (benar-benar) memeliharanya*).”
*) Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Setiap kali ayat Al-Qur’ an itu diwahyukan maka Nabi Muhammad saw menyuruh kaum muslimin mencatatnya dan yang lain menghafalnya di luar kepala. Al Kuttab, yakni juru tulis yang ditugaskan mencatat setiap ayat Al-Qur’ an, baik selama berada di Mekkah maupun selama berada di Madinah berjumlah 20 orang terdiri atas; Abu Bakar Al Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Maslama, Arqam bin Abi Arqam, Ibban bin Said bin Ash, Khalid bin Said bin Ash, Tsabit bin Qais, Handzalah bin Rabi, Khalid bin Walid, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, Allak bin Otbah, Mughirah bin Syu’bah, dan Syarhabil bin Hassana.
Tetapi yang banyak mencatat di antara keseluruhannya itu, karena senantiasa mendampingi Nabi, ialah Zaid bin Tsabit. Selanjutnya ialah Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pencatatan itu mempergunakan berbagai bahan, seperti: pelepah korma yang dikeringkan dan ditipiskan dan dipotong menurut ukuran yang sama dan disusun rangkaiannya dengan benang. Tetapi sebagian besar para shahabat, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar, menghafalkan dan menjadikannya bahan bacaan siang malam. Jangankan pada masa itu, bahkan pada masa sekarang pun, banyak dijumpai Al-Huffadz (para penghafal Al-Qur’an) kitab suci al-Qur’an.
Walaupun catatan itu tersebar pada berbagai tangan. Nabi Muhammad saw senantiasa menunjukkan letak dan tempat sesuatu ayat itu di dalam rangkaian surah-surah di dalam Al-Qur’an.
Sepeninggal Nabi saw, yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra, terjadi Harbul Yamamah, berlangsung gerakan kemurtadan (ar-riddah) di seluruh semenanjung Arabia. Pasukan-pasukan dibentuk khalifah Abu Bakar ra, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, untuk menghadapi kaum Riddah. Di dalam pertempuran yang dahsyat dan sengit di dalam wilayah Yamamah banyak sekali tokoh-tokoh yang hafal Al-Qur’an, yakni para Huffadz dan Qurra’, gugur dan tewas dalam pertempuran tersebut. Kaum Muslimin (para sahabat Nabi) yang terbunuh atau syahid dalam peperangan tersebut sekitar 70 orang, atau menurut riwayat lain, hampir 500 orang atau 700 orang. Dan kebanyakan mereka orang-orang yang hafal Al-Qur’an.
Sekalipun gerakan kaum Riddat itu dapat dipadamkan akan tetapi pihak Islam telah kehilangan sekian banyak Huffadz. Sedangkan ada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu yang tidak tercatat secara tertulis.
Kondisi itu menimbulkan kekuatiran Umar bin Khattab ra akan kemurnian kitab suci Al-Qur’an untuk masa selanjutnya. Iapun membicarakannya dengan khalifah Abu Bakar ra dan menganjurkan supaya catatan tertulis yang tersebar pada berbagai tangan itu dikumpulkan, dan setiap ayat al-Qur’an yang cuma ada di dalam hafalan selama ini dan belum tertulis, supaya dicatat kembali secara tertulis.
Khalifah Abu Bakar ra pada mulanya ragu untuk melaksanakan saran itu, karena hal serupa itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw, dan keraguan itu sampai kepada, apakah ini bukan amalan bid’ah?! Tetapi Umar bin Khattab ra menegaskan arti pengumpulan catatan itu untuk masa depan selanjutnya. Khalifah Abu Bakar ra pada akhirnya menyetujuinya (sebab ini bukan bid'ah, Rosululloh saw juga pernah memerintahkan sebelumnya untuk mencatat al-Qur'an-red), lalu memanggil Zaid bin Tsabit ra dan menugaskannya untuk mengumpulkan kembali sekalian catatan yang tersebar pada berbagai tangan itu dan mencatat kembali setiap ayat al-Qur’an yang belum dijumpai dalam catatan tertulis selama ini, begitu juga Zaid ra pada awalnya merasa ragu, namun Abu Bakar ra menegaskan arti penting pengumpulan naskah al-Qur’an, hingga lapanglah dada Zaid bin Tsabit ra.
Hasil kumpulan catatan itu tersimpan di tangan Khalifah Abu Bakar ra, dan telah tersusun menurut urutan surahnya masing-masing. Kemudian tersimpan ditangan Khalifah Umar ra. Sepeninggalnya tersimpan ditangan Hafshah binti Umar , janda Nabi saw, puteri almarhum Khalifah Umar ra.
Hal itu berkelanjutan sampai pada masa pengamanan wilayah Azarbaijan dan Armenia pada tahun 26 H / 646 M. Di dalam pasukan besar yang dipimpin panglima Walid bin Okbah itu termasuk regu-regu pasukan dari Basrah dan Kufah dan tanah Syam. Panglima Huzaifah bin Yaman memimpin salah satu regu pasukan itu.
Di dalam gerakan bersama itu dijumpailah suatu yang agak ganjil oleh Huzaifah; pada saat-saat shalat maupun saat-saat istirahat malam hari dan masing-masing membaca hafalan Al-Qur’an pada perkemahannya, dijumpai perbedaan bacaan sesuatu kata di dalam ayat Al-Qur’an, karena perbedaan dialek pada suku-suku Arab itu.
Kenyataan itu menjadi pemikiran bagi Huzaifah; jikalau hal itu dibiarkan maka akibatnya akan buruk sekali bagi masa depan, karena keberagaman bacaan itu akan berakibat kekacauan pengertiannya kelak. Justru perlu segera dicegah kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pada saat beroleh kesempatan pulang ke Madinah ia pun menyampaikan pemikirannya itu kepada Khalifah Utsman bin Affan ra. Ternyata Khalifah Utsman bin Affan ra cepat dapat memahami kemungkinan-kemungkinan akibat yang buruk itu. Khalifah Utsman ra segera membentuk sebuah lembaga bagi penaskahan kitab suci al-Qur’an, terdiri atas: Zaid bin Tsabit; Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, Abdurrahman bin Harist bin Hisyam ra. Masing-masing mengepalai regu jurutulis (al-kuttab).
Panglima Abdllah bin Abi Sarrah dari Mesir dan panglima Muawiyah bin Abi Suf-yan dari Syam mengirimkan bahan-bahan/ peralatan yang dibutuhkan untuk penulisan naskah itu ke ibukota. Ummul Mukminin Hafshah binti Umar , menyerahkan kumpulan catatan yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar dan Umar kepada khalifah Utsman ra. Kemudian Lembaga al-Kuttab selanjutnya melakukan penaskahan kitab suci Al-Qur’an.
Pekerjaan itu barulah selesai pada tahun 30 H / 651 M. Penaskahan itu berjumlah 7 buah dan dikirimkan kepada pusat-pusat kedudukan kaum muslimin yang dipandang penting, yaitu: Mekkah, Damaskus, Shan’a di Aman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan satu lagi dipegang oleh Khalifah Utsman ra.
Naskah resmi yang dibubuhi cap Khalifah itu menjadi dasar bagi pihak-pihak yang berkeinginan melakukan penaskahan ganda selanjutnya. Di berbagai ibukota wilayah terbentuk lembaga-lembaga penggandaan naskah Al-Qur’an, untuk menampung permintaan yang membanjiri terhadap naskah kitab suci Al-Qur’an.
Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan ra itu masih dijumpai sampai hari ini dan tersimpan di Museum di Tashkent, Asia Tengah. Mengingat bekas bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan berpendapat bahwa naskah tua itu adalah mushaf yang tengah dibaca Khalifah Utsman bin Affan ra sewaktu mendadak kaum perusuh di ibukota itu menyerbu gedung kediamannya dan melakukan pembunuhan terhadap dirinya (Joesoef Sou’yb:391).
Karena naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalifah Utsman bin Affan ra itu masih terpelihara dengan baik maka terjaminlah kemurnian setiap kata dan kalimat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
Referensi:
- Ulumul Qur’an, DR. Rosihon Anwar, M.AG.
- Tarikh Islam Bagian I (Khulafaur Rasyi-din), Lajnah Ilmiah LPD AL-Huda.
- Ushul Tafsir, LESAT , Semester 3.
- Fathul Bari, jilid: 8, bab / fadhailul Al Qur’an.
- Ulumul Qur’an, Ahmad Muzzammil MF, Al Hafizh (Dari Intisari Buku program takhsin tahfizd (Nisa kreatif), dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar