19 April 2011

Memahami Nama dan Sifat-Nya

Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah swt (dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya), yaitu keyakinan yang pasti bahwa Allah swt mempunyai nama-nama yang mulia dan sifat-sifat yang agung serta sempurna, yang tidak diiringi oleh suatu kekurangan, kelemahan atau keburukan, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Allah swt sendiri di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah saw di dalam hadits-haditsnya.

اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى (٨)

Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),” {QS. Thaahaa (20) : 8}.

Semua nama-nama Allah adalah nama yang baik. Tidak ada dalam nama-nama-Nya kan-dungan keburukan sedikitpun. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa dengan al-asma’ al-husna’ tersebut. Maka sebagai orang yang beriman, kita berkewajiban untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifatNya tersebut.

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” {QS. al-A’raaf (7) : 180}.

Nama-nama Allah swt tidak kita ketahui bilangan atau banyaknya. Sebab selain nama-nama yang Allah swt diajarkan kepada hamba-hamba-Nya, Allah pun memiliki nama-nama yang disembunyikan-Nya di ilmu ghaib di sisi-Nya.

Rasulullah saw bersabda:

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu de-ngan segala nama yang Engkau miliki, yang nama itu Engkau namakan sendiri, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu, atau Engkau sebutkan dalam Kitab-Mu, atau Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad No.3528).

Nama-nama Allah swt adalah tauqifiyah, artinya bahwa nama-nama Allah swt sudah ditentukan oleh-Nya melalui al-Qur’an dan ha-dits-hadits Rasul-Nya saw. Tidak ada seorang pun yang berhak membuat nama baru untuk Allah swt, dengan ijtihadnya sendiri.

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”{QS. Yusuf (12) : 40}.

Itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”.{QS. an-Najm (53) : 23}.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.{QS. al-Israa’ (17) : 36}.

Salah satu kaidah umum dan dasar dalam aqidah Islamiyyah menyatakan bahwa satu-satunya sumber aqidah Islamiyyah adalah wahyu dari Allah swt yang disampaikan oleh Rasul-Nya saw, baik dalam Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasul-Nya saw. Tidak ada sumber lain yang dapat dan boleh diterima. Kita wajib menerima dan mempercayai apa-apa yang ditetapkan oleh wahyu. Dan apa-apa yang ditolak oleh wahyu, maka kita pun harus menolaknya. Sedangkan apa-apa yang tidak ditetapkan ataupun ditolak oleh wahyu, maka kita tidak masuk atau ikut campur kedalamnya, baik dalam bentuk penerimaan atau pun penolakan, bahkan memberitakannya pun tidak.

Dalam masalah aqidah, wahyu berbentuk kabar berita, sedangkan dalam masalah ibadah wahyu berbentuk tuntutan ( perintah dan larangan). Kaidah ini berlaku bagi semua permasalahan aqidah, termasuk masalah asma’ wa shifat. Maka kaidah dalam asma’ wa shifat adalah:

1. Apa-apa yang Allah swt dan Rasul-Nya saw sangkal bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita pun menyangkalnya.

2. Apa-apa yang tidak tercantum dalam wahyu-Nya, baik penetapan atau penyangkalan, baik dalam nama, sifat atau pun perbuatan-Nya, maka kita tidak melibatkannya dalam aqidah kita, baik dalam bentuk penetapan (penerimaan) atau pun dalam bentuk penyangkalan (penolakan).

3. Apa-apa yang Allah swt dan Rasul-Nya saw tetapkan bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita mempercayai dan menetapkan hal tersebut bagi-Nya, tanpa tak-yif, tasybih, tahrif, dan ta’thil.

Takyif: “penentuan ke-bagaimana-an” hakikat sifat-sifat Allah yaitu menentukan berdasarkan khayalan manusia, atau hasil pemikiran akal manusia , seperti menentukan bagaimana hakikat yang sebenarnya dari wajah Allah, bagaimanakah Allah bersemayam di atas Arsy-Nya, bagaimanakah Allah mendengar dan melihat dan lain sebagainya. Jangankan menentukannya, menanyakannya saja sudah termasuk bid’ah.

Imam Malik –Rahimahulloh- berkata:
“al-Istiwa (bersemayamnya Allah) dapat dipahami artinya, hakikat (ke-bagaimana-annya) tidak diketahui (karena Allah tidak menjelaskannya kepada kita), mengimaninya wajib dan bertanya tentang hakikatnya adalah bid’ah.” {al-‘Uluw hal.141-142; Hilyah al-Auliya 6/325-326 dan Fath al-Bari 13/406}.

Tasybih: “menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Seperti mengatakan bahwa hakikat mata Allah seperti mata manusia, kemarahan Allah seperti kemarahan manusia, rahmat Allah seperti rahmat manusia.

Tahrif: pengubahan arti dari sifat-sifat Allah swt, baik dengan merubah huruf-hurufnya atau menolak arti yang benar. Seperti mengubah kata al-istiwa’ yang berarti bersemayam dengan kata al-istaula’ yang berarti menguasai, dengan alasan bahwa penggantian atau pengubahan itu adalah suatu keharusan, karena kalau tidak dirubah, maka akan terjadi tasybih. Pemahaman ini tertolak dengan hujjah- hujjah berikut:

a. Allah swt lebih tahu dan lebih pandai menjelaskan tentang diri-Nya, dan tidak butuh kepada makhluk-Nya untuk merubah kata-kata-nya supaya menjadi lebih tepat.

b. Kesamaan lafadz sifat tidak berarti tasy-bih, sebab hakikat dari sifat-sifat itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, menurut perbedaan zat si empunya sifat.

c. kalau benar bahwa tidak adanya pe-ngubahan akan menghasilkan tasybih, bagaimana dengan kata-kata atau sifat-sifat yang baru yang dijadikan pengganti, tidakkah padanya juga akan terjadi tasybih?

Ta’thil: menolak (meniadakan) sebagian atau semua sifat-sifat Allah atau mengosongkannya dari artinya. Seperti, mengatakan bahwa Allah adalah ar-Rahim, tetapi tidak memiliki sifat rahmat, Allah adalah as-Sami’ tanpa sam’ (pendengaran) dan lainnya. Meniadakan sifat sebenarnya berarti meniadakan zat. Sebab tidak ada zat yang tidak memiliki sifat. Hanya sesuatu yang tidak ada sajalah yang tidak memiliki sifat.

Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakikat. Lafadz kata yang sama, bisa mempunyai arti yang sama dalam hal bahasa, tetapi mempunyai hakikat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut. Contoh kata “kepala”, ketika kata “kepala” ini dihubungkan dengan dua pemilik yang berbeda, maka hakekatnya akan berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan.

Lafadz kedua-duanya adalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun memiliki arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yang lainnya. Tetapi hakikat keduanya berbeda jauh sekali. Contoh lainnya; kaki meja dan kaki sapi, muka bumi dan muka manusia, dan lainnya.

Dari sini kita mengetahui bahwa kesamaan lafadz dari suatu sifat, tidak harus menyama-kan hakikat sifat tersebut, selama zat si empunya sifat berbeda. Apabila perbedaan hakikat tersebut nampak sekali terjadi di antara sesama mahkluk, maka perbedaan antara hakikat sifat Allah swt dan makhluk-Nya akan lebih sangat nampak sekali, bahkan lebih jelas dan lebih besar perbedaannya, walaupun lafadz sifat keduanya sama.

....tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” {QS. Asy Syuuraa’(42) :11}.

Allah swt memberitahukan kita tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan terkadang memberikan kepada makhluk-Nya beberapa nama dan sifat yang sama dengan nama dan sifat-sifat-Nya. Dalam hal ini, yang sama ha-nyalah lafadz dan artinya saja, tetapi hakikatnya tidaklah sama. Seperti nama Allah swt as-Sami’ dan al-Bashir, dalam surat al-Insaan: 76, Allah pun memberi nama kepada manusia dengan nama yang sama, yaitu as-sami’ dan al-Bashir. Tetapi hakikat keduanya tidaklah sama, baik dalam kekekalan, keluasan, kekuatan dan ketajamannya, atau pun dari segi ke-bagaimana-annya dalam melihatnya dan dari segi-segi lainnya. Maka, kesamaan lafadz dalam nama dan sifat dengan dukungan dalil tidaklah berarti adanya kesamaan hakikat, dan tidak pula berarti arti kesyirikan.

Kita harus menerima nama-nama dan sifat-sifat Allah swt sebagaimana yang dikabarkan oleh wahyu tanpa merubah-rubahnya, baik lafadz maupun artinya, sedangkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut ada pada ilmu-Nya.

Wallahu’alam.

Referensi :
  1. Al-‘Uluw hal.141-142
  2. Hilyah al-Auliya 6/325-326
  3. Fath al-Bari 13/406
  4. Dinul Islam, Silsilah Tarbiyyah Sunniyyah, Hasmi 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar