وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (٨)
“dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” {Qs. Al-’Aadiyaat (100) : 8}.
Allah swt menyebutkan harta benda dalam Al-Qur’an, dengan al-khair (kebaikan), sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Aadiyaat ayat 8 tersebut diatas.
Maka dapat kita katakan, bahwa pada dasarnya berbisnis itu adalah suatu kebaikan. Tinggal bagaimana kita mengelola bisnis itu, apakah memilih jalur haram atau sebaliknya. Apabila jalan haram yang dipilih, maka harta benda itu akan menjadi fitnah, sebagaimana Allah juga katakan dalam ayat-ayat lain dalam al-Qur’an, bahwa harta benda sebagai fitnah. Dan Rasulullah saw bersabda:
“Manusia yang paling merugi dihari kiamat ialah seorang yang mencari harta de-ngan cara yang tidak benar (mencuri, korupsi, menipu dll) kemudian harta tersebut dibawa masuk ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari Muslim).
Namun, secara fitrah harta benda merupakan kebaikan. Itulah sebabnya mengapa dalam ayat-ayat yang berbicara tentang jihad, Allah swt selalu mendahulukan kalimat ‘amwal’ dari pada ‘anfus’. Allah lebih dulu mengutamakan harta dibandingkan dengan jiwa, kecuali pada satu ayat dalam surah at-Taubah, yang artinya “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...,” {Qs. At Taubah (9) :111}.
Dalam ayat diatas, diperlihatkan suatu kondisi berbeda. Yakni, tentang bai’at terhadap Allah. Bahwa kaum mukminin menginginkan, ketika berada dalam perang di jalan Allah, memperoleh syahid dan mendapatkan surga.
Mengapa secara umum Allah mendahulukan ‘amwal’ dibandingkan ‘anfus’? karena, tidak ada perang yang tidak membutuhkan dana.
Di ayat yang lain, al-Qur’an mengaitkan jihad dengan bisnis. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berihad....,” {Qs. Ash-Shaff (61) : 10-11}.
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berihad....,” {Qs. Ash-Shaff (61) : 10-11}.
Dengan demikian, jihad di jalan Allah merupakan suatu bisnis. Bisnis yang untungnya berlipat ganda. Seperti halnya prinsip dasar bisnis, yaitu mendapatkan keuntungan, demikian pula perniagaan atau penawaran berbisnis yang Allah sampaikan. Selayaknya kita mendapatkan keuntungan dari setiap penjualan yang kita lakukan.
Tapi selayaknya juga kita takut jika masuk dalam golongan pebisnis yang fasik sebagaimana Allah firmankan dalam al-Quran yang artinya: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”{Qs At-Taubah (9) : 24}.
Itulah mengapa, Abu Bakar as-Shiddiq ra mau bersusah payah mengeluarkan hartanya sekedar untuk memerdekakan Bilal ra. Demikian halnya juga Utsman bin affan ra yang memberikan separuh dari seluruh kekayaannya untuk Islam. Utsman ra membeli sebuah sumur dari orang Yahudi untuk kepentingan umat.
Pemahaman berikutnya yang harus kita bangun adalah, bahwa sejarah dari para mujahidin merupakan orang-orang yang sebagian besar bergelut dalam dunia bisnis. Itulah sebabnya, ketika Utsman ra memberikan separuh hartanya untuk Islam, Rasulullah saw memberikan penghargaan dengan me-ngucapkan, “Ya Utsman, if’al masyitah (Ya Utsman, sekarang kamu berbuat apa saja pasti masuk surga).”
Kini, semuanya hanya tinggal mujahadah (kesungguhan) kita untuk mau terjun dan menjalaninya, karena sejarah kesuksesan pasti berulang, sebagaimana para sahabat pernah melakukannya. Yakni, membangun kekuatan Islam melalui dunia bisnis. Lahirlah pribadi mandiri, yang tidak berharap harta dari negara atau pun ingin hidup dari negara, tapi justru menghidupinya.
Berbisnis menjadi bagian dari sebuah persiapan diri kita, saat akan menghadapi orang-orang kafir jika panggilan perang itu tiba. Yakni mempersiapkan kekuatan, harta dan jiwa, seperti dalam firman Allah swt, yang artinya: “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi....” {Qs. Al-Anfal (8) : 60}.
Berdasar hal itu, kita perlu melakukan persiapan dan masuk dalam realitas. Karena, kita juga banyak mengetahui, meskipun banyak pebisnis yang notabene muslim, tapi mereka bukan sebagai mujahid. Padahal seharusnya mereka menjadi mujahid seba-gaimana dikatakan dalam surah al Anfal di atas.
Disinilah titik penting mengapa kita perlu mengubah apa yang telah kita lakukan selama ini. Yakni melirik kembali potensi, minat dan kekuatan diri, sehingga mau mengubah arah dengan melakukan bisnis. Dengan demikian kita akan menjadi bagian dari mujahid-mujahid yang mempersiapkan diri untuk menegakkan kalimat Allah.
Hal lain yang penting untuk dicermati adalah, bahwa orang-orang kafir telah lama berkumpul dan bersatu untuk menghancurkan Islam melalui dunia bisnis. Yakni dengan cara menekan lewat kekuatan ekonomi, pe-nindasan dan monopoli. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menginfakkan harta mereka untuk menghalang- halangi (orang) dari jalan Allah...,” {Qs. Al-Anfal (8) : 36}.
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menginfakkan harta mereka untuk menghalang- halangi (orang) dari jalan Allah...,” {Qs. Al-Anfal (8) : 36}.
Referensi :
- Buletin “Pusat Pengembangan Islam Bogor”, edisi 182/ 27 Dzulqaidah 1428 H/ 07 Desember 2007.
- Lembaran Da’wah “AN-NUR”, edisi ke 18 / 2007
Terima kasih akhi
BalasHapusmaterinya bermanfaat :)
ya, sama-sama.
Hapussyukron atas kunjungannya.