19 April 2011

Keutamaan Do’a, Syarat, dan Adabnya

Do’a adalah ibadah. Do’a adalah senjata. Do’a adalah benteng. Do’a adalah obat. Do’a adalah pintu segala kebaikan.

Allah memiliki dua sifat agung, yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Tentang dua sifat itu, Abdullah Ibnul Mubarak berkata: “Ar-Rahman yaitu jika Dia diminta pasti memberi, sedang-kan Ar-Rahim yaitu jika tidak dimintai maka Dia murka.” (Fathul Bari 8/155).

Allah berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)


“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwa-sanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka ber-iman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” {Qs. Al-Baqarah (2) : 186}.

Keutamaan Do’a

Do’a adalah senjata bagi seorang muslim dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dengan izin Allah, do’a bisa mengubah segalanya.

Rasulullah saw bersabda:

Do’a itu bermanfaat terhadap sesuatu yang telah turun (terjadi) maupun sesuatu yang belum terjadi, maka kalian –wahai hamba Allah- harus berdo’a.” (HR. At Tirmidzi dan Al-Hakim dari Ibnu Umar, Shahihul Jami’ No. 340, Al-Albani berkata, hasan).

Tidak bisa menolak qadha (takdir yang sudah terjadi) kecuali do’a, dan tidak bisa menambah umur selain kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi; hasan, dan di-hasan-kan oleh Al-Albani).

Tidak menambah umur kecuali kebaikan, dan tidak bisa menolak qadar (putusan dalam catatan) kecuali do’a. Sesungguhnya seseorang itu bisa terhalangi dari rizkinya karena dosa yang telah ia perbuat.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al Hakim, di-shahih- kan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Iraqi).

Jika anda berkata, ‘Apa faedahnya do’a, sedangkan qadha (putusan taqdir) itu tidak bisa ditolak?’, maka ketahuilah bahwasanya termasuk bagian dari qadha adalah menolak bala (petaka) dengan do’a (catatan: bukan dengan ritual tolak bala). Jadi do’a itu merupakan penyebab untuk menolak bala dan untuk menghadirkan rahmat, sebagaimana sebuah tameng yang menjadi penyebab untuk menghalau anak panah, dan air yang menjadi penyebab tumbuhnya tanaman. Maka sebagaimana tameng itu menolak panah, yang berarti saling mendorong, begitu pula antara do’a dan bala. (Al-Ihya, 1/328).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Do’a itu adalah satu penyebab yang bisa menolak bala. Jika do’a lebih kuat darinya maka ia akan mendorongnya, dan jika penyebab bala yang lebih kuat maka ia akan mengusir do’a. Karena itu diperintahkan ketika ada gerhana dan bencana besar lain untuk shalat, berdo’a, beristighfar, sedekah dan memerdekakan budak. Wallahu a’lam. (Al-Fatawa, 8/193).

Ibnu Qayyim berkata: “Do’a termasuk obat yang paling bermanfaat, ia adalah musuh bala, ia mendorongnya dan mengobati, ia menahan bala atau mengangkat atau meringan-kannya jika sudah turun.”

Syarat dan Adab Berdo’a

Adab-adab do’a lebih kurang ada dua puluhan, adab yang kami tulis hanya sebagiannya saja, antara lain:

1. Ikhlas. Inilah sesuatu yang paling utama untuk diperhatikan oleh setiap orang yang berdo’a. Yakni hendaknya ia memurnikan do’a hanya untuk Allah semata, baik dalam ucapan, perbuatan maupun tujuan.

2. Mencari waktu-waktu mulia untuk memanjatkan do’a, seperti hari Arafah, bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga akhir malam, dll. Selain itu, kita juga dianjurkan berdo’a disaat lapang dan sulit.

3. Memanfaatkan kondisi-kondisi tertentu yang dinyatakan sebagai saat ijabah oleh syari’at Islam. Seperti waktu sujud, ketika berpuasa, bepergian, waktu sakit, ketika minum air zam-zam dan sebagainya.

4. Menghadap kiblat, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam do’a istisqa’ (minta hujan) yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dengan judul bab berdo’a menghadap kiblat.

5. Mengangkat kedua tangan, Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Rabbmu itu Maha pemalu dan Maha mulia, malu dari hambaNya jika ia mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya. (jika dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan selainnya, di-hasan-kan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, serta dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani-Rohimahulloh-). (do’a mengangkat kedua tangan ketika berdo’a seperti: berdo’a (sebelum/ antara) adzan dan iqamat, sepertiga malam terakhir, shalat istisqa, ketika turun hujan, ba’da ‘ashar pada hari jum’at, dlsb. Tidak semua do’a disyariatkan mengangkat tangan padanya, mengangkat tangan tidak terdapat dalam do’a setelah shalat fardu, hendak makan, masuk wc, pada saat khutbah jum’at, setelah mengubur dlsb (karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw). Sedangkan pada saat itidal dalam shalat ialah tidak mengangkat tangan seperti sedang berdo’a, tetapi mengangkat tangan seperti takbir awal memulai shalat yaitu telapak tangan menghadap ke kiblat.

6. Memulai dengan tahmid (pujian terhadap Allah) dan shalawat kepada Rasulullah saw, karena Rasulullah saw bersabda:

“Jika salah seorang diantara kamu berdo’a, hendaknya memulai dengan memuji dan menyanjung Tuhannya, dan bershalawat kepada Nabi saw, kemudian berdo’a apa yang dia kehendaki.” (HR. Abu Daud, At- Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad, di shahihkan oleh Al-Albani).

Ibnu Mas’ud ra pernah berdo’a, ia memulai dengan tahmid, kemudian bershalawat, kemudian diteruskan dengan do’a untuk kebaikan dirinya. Maka Nabi berkata: “Mintalah pasti kamu diberi, mintalah pasti kamu diberi.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata; hasan shahih, dan Abdul Qadir Al-Arnauth berkata, sanad-nya hasan).

7. Dengan suara samar, tidak keras, menghinakan diri dihadapan-Nya dan menampakkan kebutuhan yang sangat. Allah berfirman:

  • “... Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” {Qs. Al-A’raf (7) : 55}.
  • Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, ....” {Qs. Al-A’raf (7) : 205}.

Aisyah berkata, ‘Ayat ini diturunkan berkenaan dengan do’a’. (HR. Al Bukhari).

Al-Hafizh berkata, ‘Begitulah Aisyah menyebutkannya secara mutlak, yang berarti mencakup di dalam shalat dan di luar shalat.’

8. Tidak tergesa-gesa

Rasulullah saw bersabda: “Akan dika-bulkan bagi seseorang di antara kamu selagi tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata, ‘Saya telah berdo’a tetapi tidak dikabulkan’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Qayyim berkata: “termasuk penyakit yang menghalangi terkabulnya do’a adalah tergesa-gesa, menganggap lambat pengabulan do’anya sehingga ia malas untuk berdo’a lagi”. Padahal bisa jadi antara do’a dan jawabannya memerlukan waktu 40 tahun, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. (Abu Laits As-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin).

Ibnul Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa do’a orang mukmin itu tidak akan ditolak, ha-nya saja terkadang yang lebih utama baginya itu diundur jawabannya atau diganti dengan yang lebih baik dari permintaannya, cepat atau lambat.”(Fathul Bari, 11/141).

9. Yakin akan dikabulkan do’anya dan memahami serta meresapi benar dalam berdo’a. Karena itu, berdo’a tidaklah sekedar melafazhkan do’a-do’a yang dihafal tanpa mengerti maknanya, tetapi harus benar-benar memahami dan menginginkan dikabulkannya permintaannya. Karena itu apa yang kita minta haruslah sesuai dengan kebutuhan kita. Rasulullah saw bersabda:

Mohonlah kepada Allah sementara kamu sangat yakin untuk dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bermain-main.” (HR. At-Tirmidzi, dihasan-kan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani).

10. Termasuk syaratnya adalah makan dan minum serta pakaian orang yang berdo’a harus halal dan bersih. Karena Allah itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Disebutkan oleh Rasulullah saw;

Ada seseorang yang sudah lama dalam safar (perjalanan) dengan rambut kusut dan (tubuh) penuh debu, ia mengangkat kedua tangannya ke langit dan berkata, ‘Ya Rabb, ya Rabb...’, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana mungkin (do’anya) dikabulkan?” (HR. Ahmad, Muslim dan At Tirmidzi).

11. Berikhtiar demi terkabulnya do’a dan menjauhi sebab-sebab tertolaknya. Seperti tidak berbuat maksiat, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban syari’at, terutama amar ma’ruf nahi mungkar. Rasulullah saw bersabda:

Hendaklah kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan siksaNya kepada kalian, lalu kalian berdo’a kepadaNya, tetapi tidak dikabulkan.” (HR.At Tirmidzi dan di-hasan-kannya).

Maraji’:
  1. Fathul Bari.
  2. Al-Jawabul Kafi, Ibnul Qayyim.
  3. Al-Ihya.
  4. Al-Adzkar, Imam An-Nawawi.
  5. (Al-Fatawa) Tanbihul Ghafilin, Abu Laits As Samarqandi.
  6. Kaifa Nad’u, Shalih Al-Ghazali.
  7. Do’a-do’a yang menakjubkan, Khalid bin Sulaiman ar-Rabi’i, Pustaka Ibnu Katsir.
  8. Kesalahan dalam berdo’a, Ismail bin Marsyub bin Ibrahim ar-Rumaih, Pustaka DH.
  9. Buletin An Nur Thn. IV / No. 157 / Jum’at III / Rajab 1419 H. dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar