30 November 2009

Waktu Yang Berlalu Takkan Kembali

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Qs. Al-Hasyr: (59) :18}.

Bila Waktu berlalu...

Pernahkah kita menghitung waktu yang kita habiskan sampai detik ini? Jika belum pernah, mari kita coba;

Pertama, kalikan umurmu sekarang dengan dua belas bulan lalu kalikan dengan tiga puluh hari, lalu kalikan dengan 24 jam, lalu kalikan dengan 60 menit, dan terakhir kalikan dengan 60 detik. Hasilnya...?

Banyak juga ya! Jika umur kita 20 tahun saja, ini berarti 20 x 12 x 30 x 24 x 60 x 60 = 622.080.000 detik.

Subhanallah, betapa banyak waktu yang kita miliki bukan. Benar-benar nikmat yang harus kita syukuri. Terlebih lagi jika waktu kita digunakan dengan sebaik-baiknya.

Namun, sungguh menyesal dan meruginya kita, jika harus membagi waktu yang super banyak itu dengan kesibukan pribadi kita, keegoisan kita, kekhilafan dan kelalaian kita, tanpa mengisinya dengan hal-hal positif, apalagi bernilai ibadah. Penyesalan itu datang belakangan karena waktu yang hilang takkan berganti dan takkan kembali.

Waktu takkan kembali...

Beribu pengandaian dan harapan yang tersirat di benak kita takkan mungkin kembali, semua telah berlalu. Sering kali manusia tertipu olehnya. Tertipu untuk berleha-leha di dunia, menikmati waktu muda tanpa ingat masa tua, menghabiskan kesempatan di waktu luang tanpa sadar akan datangnya waktu sempit, menghamburkan kekayaan tanpa mengingat bagaimana jika miskin, menyia-nyiakan waktu sehat dan lupa suatu saat kita bisa jatuh sakit. Terlena dengan hidup dan terlupa akan ajal yang siap menjemput.

Demikianlah manusia yang sering tertipu, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
“Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu didalamnya, kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari).

Waktu Laksana Pedang.

Setiap detik kesempatan kita hilang karena jalannya waktu, tanpa kenal kompromi walau hanya sedetik tak pernah terjadi di dunia ini satu detik yang lalu kembali.

Tak heran bila waktu dikatakan laksana pedang. Bila kita tidak menggunakan dengan baik maka kita terhunus karenanya. Betapa dzalimnya kita pada diri sendiri jika tidak memanfaatkannya untuk kebaikan (ibadah). Jadi masih sanggupkah kita menyia-nyiakan waktu?

Ingatlah terbatas!!! Terbatas, seperti kesempatan hidup kita di dunia. Itu sebabnya, kita harus senantiasa mengingat tugas kita sebagai hamba Allah di dunia ini untuk senantiasa beribadah kepadaNya. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu” {Qs. Adz Zariat (51) : 56}.

Jangan sia-siakan waktumu!!!

An optimist is one who sees an opportunity in every difficulty,
A pessimist is one who sees a difficulty in every opportunity.
{Orang yang optimis adalah orang yang melihat peluang dalam setiap kesulitan,
Orang yang pesimis adalah orang yang melihat satu kesulitan dalam setiap kesempatan}.

Waktu, bagi seorang muslim harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Al Waktu fi Hayaatil Muslim berkata: “Bila orang melewati sehari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardlu yang ia lakukan dan kemuliaan yang ia wariskan, atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.”

Bila kita menyia-nyiakan waktu setidaknya menimbulkan tiga akibat: kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa. Jika demikian adanya sungguh gersang kehidupan kita. Padahal, kehidupan didunia ini hanya sesaat dan amat semu. Sungguh menyesal diri kita karena takkan ada kesempatan ulang untuk berbuat baik atau bertaubat, bila kita sudah meninggalkan dunia ini. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan bertaubat lagi” {Qs. Ar-Ruum (30) : 57}.

Bagaimana Mengefisienkan Waktu?

Waktu yang kita miliki bisa jadi amat luang dan lapang, namun adakalanya kita tidak bisa memanfaatkan untuk hal-hal yang benar dan baik. Jaslem M. Badr dalam bukunya Efesiensi Waktu dalam Islam memberikan alternatif cara mengefisienkan waktu;

Pertama, pergerakan (kegiatan) terarah. Artinya kita harus pastikan bahwa tujuan dari setiap gerak kita tidak boleh lepas dari jalan Allah.

Kedua, bergaul dengan masyarakat, tanpa bergaul aktifitas kita tidaklah berarti. Jadikan masyarakat sebagai lahan dakwah kita.

Ketiga, suka membantu orang lain. Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa yang melapangkan suatu kesulitan dunia bagi seorang mukmin, maka Allah pasti akan melapangkan baginya suatu kesulitan di hari kiamat” (HR. Muslim).

Keempat, menjalani lima perkara yang disukai sahabat, yakni selalu bergabung dengan orang-orang shalih yang aktif, mengikuti sunnah Rasul saw, memakmurkan masjid, membaca Al-Qur’an dan jihad fi Sabilillah.

Kelima, membaca. Imam Ahmad berkata: “Kebutuhan manusia terhadap pengetahuan itu porsinya lebih besar daripada kebutuhan makan dan minum. Kebutuhan makan dan minum dalam sehari bisa dihitung, tapi mencari ilmu adalah sebanyak tarikan nafas kita. Ilmu akan menerangi jalan hidup kita”.

Jadi jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu. Sebab ia akan berlalu tanpa ganti dan takkan kembali.


Renungan
Sedesah nafas yang takkan kembali ....................

“Tahun itu ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan di dalamnya adalah cabang-cabangnya. Adapun hari-hari ibarat ranting-rantingnya. Nafas-nafas itu ibarat buahnya. Barangsiapa yang sedesah nafasnya dalam ketaatan maka buah dari pohonnya adalah manis. Sebaliknya jika desahan nafas itu dalam kemaksiatan maka buahnya adalah pahit. Dan hari panennya adalah hari pertemuan denganNya. Dan hari panen itulah yang akan merasakan manis dan pahitnya”. (Ibnu Qoyyim al Jauziyah).

Saudaraku..., sesungguhnya Mizan waktu yang dihisab di sisi Allah adalah detik-detik yang kita lalui di dunia ini dan semua itu adalah penggalan-penggalan kisah yang akan bersaksi di sisi Ilahi. Hari-hari kita adalah durasi untuk kita memotret diri dalam dunia yang singkat ini. Semua nanti akan ditampakkan dari hari-hari yang kita lalui tanpa tercecer walau sedikit.

Hari itu saudaraku, mata-mata terbelalak dan mulut membisu seribu bahasa, wajah manis-pun bermuram durja dan bibir bergincu tak lagi bicara. Adapun tangan dan kaki menjadi saksi atas apa yang kita lalui.

Hari itu semua berangan untuk kembali ke bumi walau sedetik. Ingin rasanya mereka kembali mengukir detik-detik mereka penuh pahala. Namun semua itu tinggal harapan. Bahkan mereka ada yang berandai jika menjadi debu saja ketika di dunia.

Saudaraku..., selalu bertanya, bertanya dan bertanyalah pada dirimu akan masa mudamu, untuk apa ia digunakan? Begitu juga dengan waktu sehat, kaya, lapang dan hidupmu, di jalan apakah ia dihabiskan? Jika tak ada sedetik pun di jalan Allah, maka gembirakanlah dirimu dengan azab yang pedih dan dahsyatnya penyesalan di batas masa yang tak terhingga.

Saudaraku..., sesungguhnya kehidupan sejati kita bukan banyaknya umur kita, melainkan detik-detik kita yang kita leburkan di jalan Allah. Apakah artinya hidup seribu tahun jika tak sedikitpun beribadah di jalan Allah? Begitu juga harta sejati kita, bukan harta yang bermilyaran dan bertumpuk di bank-bank, melainkan berapa banyak yang kita kucurkan di jalan Allah. Lantas mengapa masih ada keluh kesah dan rasa bimbang dengan waktu dan harta yang kita infakkan di jalan Allah?

Saudaraku..., sedetik waktu yang terus berlalu, sepenggal hari yang selalu berganti, sedenyut jantung dan nadi yang selalu berlomba tiada henti, akankah kita sia-siakan?

Ingatlah saudaraku, sedesah nafas ini takkan kembali, ya, takkan kembali selama lamanya.

Buletin Nurul Haq
(No. NH / 032 / 08 / 18 April 2008 M / 11 Rabi’ul Akhir 1429 H)

Referensi :

  1. Waktu fi Hayaatil Muslim, Yusuf Qordowi.
  2. Efesiensi Waktu dalam Islam, Jaslem M. Badr.
  3. Buletin Al-Fityah, Edisi: 002 Th I Juni 2006 M- Jumadil Ula 1427 H.
  4. Majalah UMMATie, edisi 05/ th.I /Desember 2007/ Dzulqo’dah 1428.

22 Oktober 2009

Syahwat dan Syubuhat

“Katakanlah: “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. {Qs. Al-Kahfi (18) : 103-104}.

Secara sederhana ada dua bahaya yang mengancam keselamatan manusia yaitu bahaya akibat fitnah Syahwat dan bahaya akibat fitnah Syubuhat. Akibat fitnah yang pertama orang akan terperosok dalam lembah kehinaan dan kemaksiatan, sedang akibat fitnah yang kedua, orang akan tersesat karena menggunakan dalih istihsan (menganggap baik/benar pada suatu masalah) berdasar kepada kemampuan logika/akal pikiran dan perasaan semata. Dan keduanya akan mencampakkan pelakukanya ke dalam siksa api neraka.

1. Bahaya Fitnah Syahwat

Syahwat secara etimologi berarti “keinginan”. Menurut istilah berarti; “Segala bentuk keinginan yang bersifat duniawiyah, seperti ingin wanita, harta, anak dan lain-lain”. {lihat Qs. Ali-Imran (3):14}. Semua dapat disebut “cinta dunia”.

Tidak diingkari bahwa orang hidup perlu “dunia”. Namun cinta dunia akan menimbulkan petaka. Kalau tidak dunianya ya akhiratnya atau kedua-duanya.

Dr. Ahmad Faried dalam “Tazkiyatun-Nufuus” menulis bahwa “cinta dunia menjadikan neraka ramai dihuni orang, sedang Zuhud terhadap dunia menjadikan ahlinya masuk surga”.

Mabuk minuman keras kerugiannya tidaklah seberat mabuk dunia. Karena orang yang mabuk dunia ia tidak akan sadar kecuali setelah barada dalam kegelapan kubur.

Yahya bin Mu’adz berkata: “Dunia itu araknya syaithan. Barangsiapa yang mabuk karenanya, ia tidak akan segera sadar kecuali setelah berada di tanah kumpulan orang-orang mati dalam keadaan menyesal di antara orang-orang yang merugi”.

Terhadap orang yang cinta dunia Allah mengancam:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. {Qs. Huud (11) :15-16}.

Kerugian yang terberat berdasar ayat di atas ialah kesia-siaan amal mereka dan disiksanya mereka di akhirat kelak. Sedang bahaya yang paling ringan akibat cinta dunia ialah; lalai dari cinta dan dzikir kepada Allah. Tetapi jika qalbu lalai dari dzikrulloh ia akan dihuni syaithon dan akan disetir sesuai dengan kehendaknya.

Para Ulama berkata: Cinta dunia itu sumber segala kesalahan agama karena beberapa hal antara lain:
  1. Cinta dunia menuntut manusia untuk mengagungkan dan mementingkannya, sedang di mata Allah itu rendah. Mengagungkan sesuatu yang dipandang rendah oleh Allah termasuk dosa-besar.
  2. Allah mengutuk dunia, memurkai dan membencinya kecuali jika kehidupan dunia tersebut hanya ditujukan untuk mencari keridhaan-Nya.
  3. Mencintai dunia, berarti menjadikannya sebagai tujuan dan citanya. Sehingga amal shalehpun yang dijadikan Allah sebagai jembatan untuk mencapai ridha-Nya, justeru ia jadikan jembatan untuk mencari kehidupan dunia. Jadi hikmahnya terbalik.
  4. Cinta dunia itu menjadi penghambat bagi si hamba untuk beramal shaleh, sebab ia sibuk dengannya.

2. Bahaya Fitnah Syubuhat

Syubuhat artinya “ketidakjelasan”. Yang dimaksud disini adalah; hasil ajaran yang diakibatkan oleh kerancuan berfikir.

Kita orang Islam yakin, bahwa teks Al-Qur-an akan tetap terjaga kemurniannya karena Allah telah menjamin terpeliharanya sampai hari qiyamat {lihat Qs. Al-Hijr (15): 9}. Akan tetapi penyelewengan makna Al-Qur-an kini sudah banyak terjadi di mana-mana, sehingga menimbulkan berbagai macam ajaran yang diwarnai oleh ketidakjelasan. Di sinilah muncul bermacam-macam kerancuan yang lazimnya disebut “syubuhat”. Akibatnya orang Islam banyak yang sulit untuk menemukan originalitas ajaran Islam, baik di bidang aqidah atau syari’ah.

Penyelewengan makna ini dapat diakibatkan antara lain karena: kejahilan (sedikitnya ilmu agama), mengenyampingkan dalil yang lain (yang benar yaitu dengan mengumpulkan dalil-dalil untuk dijadikan rujukan), menafsirkan ayat dengan tafsirannya sendiri, kesengajaan “fikrah”, cara berfikir yang salah, dimana kebenaran banyak bergantung kepada kemampuan rasionalitasnya.

Penyelewengan yang diakibatkan oleh “fikrah” mempunyai jalan pikiran bahwa “Islam adalah sebuah agama yang memberikan kebebasan berfikir kepada umatnya”.

Disisi lain “Islam adalah agama rasional”. Bila ada ajaran-ajaran agama yang tidak masuk akal (mereka), maka harus ditafsirkan dengan penafsiran yang logis dan rasional. Kemudian “Islam adalah agama yang aktual (selalu sesuai dengan kondisi tempat dan zaman)”, maka ajaran-ajarannya harus di sesuaikan dengan kondisi tempat dan zaman yang ada. Hingga muncul istilah “reaktualisasi” ajaran agama. Jadi agama yang dimaksud “Islam selalu sesuai dengan kondisi tempat dan zaman” adalah; “berpegang kepada ajaran islam secara murni dan konsekwen, tidak akan menafikan maslahatul-ummah di setiap zaman dan persada, bahwa ia akan terus memperbaiki keadaan umat yang ada”. (Syaikh ‘Utsaimin, Nubdzah fil Aqidah, hal. 5).

Demikianlah pandangan orang-orang yang menyelewengkan fikrah Islam. Dan jika kita amati secara kritis, maka terlihatlah, bahwa yang menjadi standar kebenaran terakhir (bagi mereka) adalah akal pikiran, hal ini sesuai dengan prinsip “kebebasan berpikir bagi mereka”.

Itulah benih-benih syubuhat yang dihembuskan oleh barat kepada kita sehingga terjadilah krisis pergeseran nilai dari yang islami kepada yang non islami.

Lalu benarkah hanya dengan dalih kebebasan berfikir manusia mampu menjangkau segala kebenaran (agama) yang ada?

Berkenaan dengan ini Imam Syaathibi pernah menegaskan bahwa; “akal tidak merdeka sama sekali... Akal tidak akan mampu menjangkau kemaslahatan dirinya tanpa wahyu”. (Al-I’tisham, I. Hal, 36). Hal ini didukung oleh sebuah ayat yang menyatakan, bahwa sebelum Allah menugaskan Adam menjadi Khalifah-Nya di muka bumi, Allah mengajarkan “nama-nama kepadanya {lihat Qs. Al-Baqarah (2) : 30-31}. Ini berarti manusia membutuhkan pengajaran, tuntunan, wahyu. Ternyata Allah tidak membiarkan akal pikirannya bebas mencari jawaban-jawaban yang ada. Yang berarti pula bahwa akal harus tunduk kepada syari’at atau wahyu.

Akal yang tidak tunduk kepada syari’at atau wahyu, berarti ia tunduk kepada “hawa”. Mengikuti hawa nafsu berarti memilih jalan sesat. {lihat Qs. Shaad (38) : 26}.

Berdasarkan ayat diatas, bagi akal hanya ada dua alternatif dalam menentukan kepastian hukum; “haq” atau “sesat/batil”. Yang “haq” harus ikut syari’at atau wahyu, yang bathil berarti ikut kepada “hawa”.

Di dalam surat Al-Kahfi (18) : 28, “hawa” dipertentangkan dengan “dzikir”, di surat Al-Qashash (28) : 50, “hawa” dipertentangkan dengan “hudan (petunjuk)” dan di surat An-Najm (53) : 3-4, “hawa” dipertentangkan dengan kata “wahyu’. Berarti ‘hawa’ selalu berada pada posisi sesat. Maka jika akal tidak tunduk kepada syari’at/wahyu, berarti ia ikut kepada “hawa” sedang “hawa” pasti tersesat, maka akal pun (yang tunduk kepada “hawa”) pasti tersesat pula.


Lalu apa bahayanya?

Allah berfirman yang artinya :
“... Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, ia akan mendapat azab yang berat”... {Qs. Shaad (38) : 26}.

Bila kesesatan ini dalam soal ushul/aqidah yang mengantarkan kepada dosa syirik akbar, pelakunya akan kekal di dalam api neraka {lihat Qs. An-Nisa (4) : 116}.

Bila kesesatan ini hanya dalam soal ‘furu’ yang pelakunya terjerumus dalam amalan-amalan bid’ah syar’iyah, ia tergolong para pelaku dosa yang ada harapan (pada saatnya) akan keluar dari api neraka. Kedua-duanya akan menyengsarakan.

Tingkat bahaya di antara keduanya

Tingkat bahaya akibat fitnah syahwat, biasanya dikategorikan lebih ringan dibanding yang diakibatkan oleh fitnah syubuhat. Karena para pengikut syahwat, pezina umpamanya, tentu di dalam hatinya ada kesadaran bahwa dirinya sebenarnya telah melakukan kesalahan besar, sehingga pada suatu saat (kemungkinan besar) ia akan bertaubat.

Tetapi bagi yang terkena penyakit syubuhat, karena mereka mempunyai keyakinan (dengan dasar akal pikiran dan perasaannya) bahwa itu semua adalah baik, maka hal itu terus dilakukan. Bahkan terus diperjuangkan agar diikuti oleh yang lain. Yang lainpun mau menerimanya dengan anggapan yang sama. Begitu seterusnya, sehingga banyak orang-orang yang tersesat dengan tidak disadari-nya. Kalau hal itu dilakukan sampai meninggal dunia, berarti selama hidupnya terus menumpuk-numpuk dosa akibat kerancuan berfikir itu.
Wallahu A’lam bi-shawab.

Referensi :
Buletin Dakwah, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, No. 30 Thn.ke-XXII, Syafar 1416 H (Juli 1995).

25 September 2009

Mengungkap Hikmah Bulan Shiyam

Saudaraku, Alloh swt berfirman, yang artinya:
“...Tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia...” {Qs. Ali Imran (3) : 191}.

Terciptanya gugusan angkasa luar yang luas, membentang dan terhamparnya langit dan bumi. Semua itu tercipta dan diciptakan bukan karena kebetulan adanya. Di balik itu semua terdapat kekuatan maha dahsyat yang mengaturnya, Dialah Alloh ‘azza wa jalla Yang Maha Perkasa.

Saudaraku, bulan Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita, dan kita pun tidak tahu apakah umur kita akan sampai pada ramadhan tahun berikutnya atau tidak. Mari kita bermuhasabah (introspeksi diri) dan merasa harap-harap cemas apakah puasa kita diterima Alloh atau kita hanya mendapatkan rasa haus dan lapar saja tanpa ada hikmah yang dapat kita ambil selama kita menjalani ibadah puasa di bulan ramadhan.

Saudaraku, dalam seluruh desah nafas kehidupan akan selalu ada hikmah yang tersimpan. Pun demikian halnya ketika Alloh swt memerintahkan kepada hamba-hambaNya agar beribadah kepadaNya.

Setiap ibadah dalam Islam mempunyai satu atau beberapa hikmah yang sebagiannya tampak dengan nash (pemahaman ayat-ayat) atau dengan cara berfikir yang paling sederhana. Adakalanya sebagiannya tidak terlihat kecuali oleh orang-orang yang merenungkan dan mendalaminya serta orang-orang yang diberi taufik (pertolongan) untuk bisa menggali dan mengenalinya.

Inti hikmah dalam peribadatan-peribadatan seluruhnya adalah untuk menyucikan jiwa, menyucikannya dari seluruh kekurangannya, menjernihkannya dari segala kekeruhan dan menyiapkannya kepada kesempurnaan insani, mendekatkannya kepada tingkatan malaikat, mengurangi naluriah kebinatangan yang menyertainya dari asal penciptaan, dan memberinya ‘santapan’ dengan makna-makna samawiyah yang suci. Sebab, Islam memandang manusia sebagai makhluk pertengahan yang mempunyai potensi untuk menjadi suci seperti malaikat dan menjadi kotor seperti hewan, memiliki anatomi yang menggabungkan lumpur bumi dan cahaya langit. Ia juga diberi akal, kehendak serta kemampuan untuk membedakan (yang baik dan yang buruk), agar ia berbahagia di dua kehidupan: dunia dan akhirat, atau celaka di keduanya.

Setiap ibadah dalam Islam yang dilaksanakan dengan cara yang disyari’atkan atau dengan maknanya yang hakiki akan berpengaruh dalam jiwa, yang pengaruhnya berbeda - beda sesuai perbedaan para hamba (Abidin) dalam hal shidqut tawajjuh (kejujuran niat), konsentrasi hati, dan menghayati hubungan dengan Dzat yang disembah.

Apabila berbagai macam peribadatan itu tidak berpengaruh dalam berbagai aktifitas lahir manusia, hal itu adalah ibadah yang kosong, atau jasad tanpa ruh.

Hati umat Islam menjadi keras dan mereka bermalas-malasan untuk menjalankan kewajiban mereka sehigga mereka menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuh mereka di berbagai bidang, tidak lain karena mereka jauh dari petunjuk agama mereka dan mereka kurang menghayati apa yang mereka ucapkan dan kerjakan berulang-ulang berupa rukun-rukun Islam dan syiar-syiarnya. Akibatnya, peribadatan-peribadatan tersebut bagi banyak orang hanya sekedar kebiasaan belaka. Seandainya mereka menghayati apa yang mereka ucapkan dan yang mereka perbuat dengan penghayatan yang benar, niscaya wajah bumi ini telah berubah, dan muka bumi ini penuh dengan indahnya kebenaran, menggantikan buruknya kebatilan.

Begitulah,.. puasa memang memiliki hikmah-hikmah yang nyata, rahasia-rahasia yang indah, dan berbagai pengaruh yang sangat besar terhadap pribadi dan masyarakat.

Cukup sudah untuk menganjurkan berpuasa dan mengajak kepadanya, bila dikatakan kepada seorang muslim, “Sesungguhnya Alloh memerintahkan kepadamu untuk berpuasa.” Tanpa menyebutkan manfaat-manfaat puasa, pengaruh-pengaruh, hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya. Karena puasa adalah syariat rabbani ilahi, yang berasal dari rabb sebagai konsekuensi rububiyah dan ilahiyah-Nya. Alloh swt berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya dan mereka wajib mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Tetapi kebutuhanlah yang mendorong untuk menjelaskan sebagian rahasia, hikmah, faidah dan pengaruh yang dihasilkan bulan puasa. Allah swt memberitahukan kepada kita dalam banyak ayat dari kitab-Nya tentang rahasia-rahasia syariat-Nya dan faidah-faidahnya, untuk mengasah akal agar berpikir dan beramal serta memahami bahwa syariat Ilahi yang abadi ini tidaklah ditetapkan melainkan untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia atau menghilangkan kemudharatan dari mereka, dan agar sambutan jiwa terhadap agama ini semakin menguat.

Perhatikanlah firman Allah swt, ketika mengajarkan kepada kita adab meminta izin untuk memasuki rumah, bagaimana Dia menutup hal itu dengan firmanNya, “... itu lebih suci bagi hatimu...”{Qs. Al-Ahzab (33) : 53}.

Bahkan ketika memerintahkan kepada kita supaya berpuasa, Allah SWT menyebutkan hikmah dan manfaatnya yang dihimpun dengan satu kata dari firman-Nya yang merupakan mukjizat.

Alloh berfirman, yang artinya: “Hai orang -orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang (umat) sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” {Qs. Al-Baqarah (2) : 183}.

Taqwa adalah inti hikmah dari disyariatkannya berpuasa.

Bahkan perhatikan sabda Rasulullah saw tentang adab berpuasa. “Puasa adalah perisai, maka jika pada hari salah seorang kalian sedang berpuasa, janganlah ia berkata keji / janganlah berbuat keributan, dan jangan pula berbuat bodoh.” (Muttafaq Allaih).

Beliau terlebih dahulu mengemukakan hikmah berpuasa, kemudian menerangkan adab-adabnya, agar lebih mendalam pengaruhnya.

Selama Islam tidak mengingkari akal, tidak berbicara kepada manusia kecuali dengan apa yang selaras dengan pikiran yang sehat, dan tidak memerintahkan suatu syariat pun melainkan apabila kemaslahatannya meliputi amal tersebut, maka wajarlah apabila kita memperhatikan rahasia-rahasia tasyri dan menjelaskan faidah-faidahnya.

Jika Allah SWT memberikan taufik seperti dalam pembicaraan ini supaya dada orang-orang yang beriman terbuka untuk mengerjakan kewajiban berpuasa, dan mereka diberi ketenangan tentang suatu hikmah-hikmah berpuasa, rahasia-rahasianya dan pengaruhnya, maka itu menjadi faktor terbesar untuk mengerjakan berpuasa menurut rencana yang lebih sempurna.

Puasa berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Karena puasa mampu menahan dari memperturutkan hawa nafsu yang merupakan akar bencana yamg menimpa ruh dan badan, serta memutuskan induk anggota tubuh dari pokok kesenangan.

Tidak ada pendidik manusia sepeti halnya menahan gejolaknya naluri dalam dirinya dan membatasi kekuasaan hawa nafsu padanya.

Bahkan itu pada hakikatnya adalah kemenangan baginya dalam menghadapi faktor-faktor yang memperdayakan dirinya dan menjauhkannya dari kesempurnaan.

Sebagaimana halnya dalam pendidikan seorang anak kecil yang sewaktu-waktu harus ditindak tegas dan diberi sanksi dengan larangan pada hal-hal yang disenanginya, maka sudah seharusnya pula dalam pendidikan agama bagi orang-orang dewasa agar mereka ditindak dengan tegas, baik dalam waktu-waktu yang berdekatan, seperti waktu-waktu shalat. “Dan sesungguhnya itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. {Qs. Al-Baqoroh (2) : 45}.

Atau berjauhan, seperti bulan Ramadhan. Sebab satu bagian dari 12 bagian dalam hukum perbandingan kuantitas adalah sedikit. Tetapi itu adalah kemudahan Islam yang tiada kemudahan sesudahnya, dan kemurahan Islam, yang tiada kemurahan sesuatu darinya.

Puasa membuat perut lapar tapi membuat ruh kenyang, melemahkan badan tapi menguatkan hati, menurunkan kelezatan tapi menaikkan jiwa. Dalam ibadah puasa, seorang mukmin menemukan kesempatan untuk bermunajat kepada Tuhan-Nya, berkomunikasi dengan-Nya, datang kepada-Nya, senang mengingat-Nya dan membaca kitab-Nya.

Ini sebagian rahasia dan pegaruh berpuasa, serta inilah yang dipahami oleh As-Salafus Shalih tentang makna puasa. Dengan itulah mereka menjadi “Mukjizat Islam” dalam berakhlak dengannya. Sehingga manusia tidak pernah melihat orang yang menyamai ketinggian jiwa mereka, kemuliaan tujuan mereka, ketinggian cita-cita mereka, kecemerlangan jiwa mereka, kelurusan hati mereka dan keluhuran akhlak mereka.

Bukankah manusia pada hari ini sangat membutuhkan semisal generasi ini atau yang mendekatinya? Bahkan bukankah masyarakat muslim sangat membutuhkan kepada jiwa-jiwa seperti itu?

Tentu, tentu dan tentu saja.

Referensi : Bulletin Dakwah Indah, Edisi: 03, 22 Sya’ban 1427 H.


- Peringatan

Sebagian orang apabila datang bulan Ramadhan, mereka bertaubat, mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah puasa. Namun jika Ramadhan lewat mereka kembali meninggalkan shalat dan melakukan perbuatan maksiat. Mereka inilah seburuk-seburuk manusia, karena mereka tidak mengenal Alloh kecuali dibulan Ramadhan saja. Tidakkah mereka tahu bahwa pemilik bulan-bulan itu adalah Satu, berbagai bentuk kemaksiatan adalah haram di setiap waktu dan Alloh Maha Mengetahui setiap gerak-gerik mereka dimana saja dan kapan saja. Maka sebaiknya mereka cepat-cepat bertaubat nashuha, yakni dengan meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang, sehingga taubatnya diterima Alloh dan diampuni segala dosanya. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya : “... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.;’ {Qs. An-Nur (24) : 31}.

Dan dalam ayat yang lain Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. ...” {Qs. At-Tahrim (66) : 8}.

Barangsiapa mohon ampunan kepada Alloh dengan lisannya, tetapi hatinya tetap terpaut dengan kemaksiatan dan bertekad untuk kembali melakukannya selepas Ramadhan, lalu dia benar-benar melaksanakan niatnya tersebut, maka puasanya tertolak dan tidak diterima.

(Risalah Ramadhan, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al Jarullah, Yayasan Al-Sofwa).

05 September 2009

Adab-Adab Berpuasa

Ketahuilah bahwa puasa itu mempunyai banyak sekali adab, di mana puasa akan menjadi sempurna dan utuh apabila adab-adab tersebut dilaksanakan. Adab-adab itu terbagi menjadi dua; ada yang bersifat wajib yang memang harus dijaga oleh orang-orang yang berpuasa, dan ada adab-adab yang bersifat disukai (sunnah) yang sebaiknya dijaga dan dipelihara oleh orang yang berpuasa.

Adab-adab yang wajib itu di antaranya adalah:

1. Menjalankan Shalat Fardhu.

Seorang yang berpuasa harus benar-benar melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah atasnya, baik ibadah ucapan (Qouliah) maupun perbuatan (fi’liyah). Yang terpenting di dalamnya adalah shalat fardhu lima kali, yang merupakan rukun Islam yang paling ditekankan sesudah syahadatain. Ia wajib menjaganya, melaksanakan setiap rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya. Ia harus melaksanakan tepat pada waktunya dengan berjamaáh di masjid bagi laki-laki. Mengabaikan shalat berarti menafikan taqwa dan mengharuskan diterimanya sanksi dari Allah, sebagaimana firman-Nya, (yang artinya): “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, Maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun” {Qs. Maryam (19) : 59-60}.

Di antara orang yang berpuasa itu ada yang mengabaikan sholat berjamaáh, padahal ini menjadi kewajibannya. Allah telah memerintahkannya dalam kitab-Nya dengan berfirman, (yang artinya): “Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. ....” {Qs. An-nisa’(4) : 102}.

Allah menyuruh kita untuk mengerjakan shalat secara berjamaáh dalam keadaan perang dan ketakutan sekalipun. Maka dalam keadaan tenang dan aman, perintah ini lebih tegas lagi tentunya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa ada seorang lelaki buta berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak punya penuntun yang bisa membawaku ke masjid. “beliau kemudian memberikan keringanan (rukhshah) kepadanya. Namun ketika orang itu berpaling, beliau pun memanggilnya dan bertanya: “apakah kamu mendengar panggilan (adzan) untuk shalat? Ia menjawab: “Ya.”Nabi lalu bersabda, “kalau begitu, penuhi panggilan itu”. [HR. Muslim].

Rasulullah tidak memberikan keringanan/rukhshah kepadanya untuk meninggalkan shalat berjamaáh, padahal ia adalah seorang lelaki yang buta, dan ia pun tidak punya penuntun yang bisa membawanya ke masjid.

2. Menjauhi Semua Larangan Yang Diharamkan Oleh Allah Dan Rasul-Nya.

Di antara hal yang harus dijauhi oleh orang yang berpuasa adalah:

a. Perbuatan Dusta.

Yaitu menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Yang paling besar dosanya adalah berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti menisbahkan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya mengenai penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal tanpa dasar ilmu. Allah berfirman, (yang artinya) “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih”. {Qs. an-Nahl (16) : 116-117}.

Dalam Shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra. dan lainnya bahwa Nabi saw bersabda,
“Siapa yang dengan sengaja berdusta dengan mengatas namakan kami, maka silahkan ia memasang tempat duduknya di neraka”.

b. Ghibah.

Yaitu mengatakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaranya manakala ia tidak ada di hadapannya, apakah yang disebut itu berkenaan dengan cacat fisiknya, seperti pincang, buta sebelah matanya atau buta semua matanya dalam bentuk mencacatkan dan mencela, atau berkenaan dengan sifat perilakunya seperti tolol, bodoh, fasik dan semisalnya; apakah yang dikatakan memang sesuai dengan yang ada maupun tidak. Sebab, Nabi ketika ditanya tentang ghibah, maka beliau menjawab, “Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci. “ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana pendapat baginda jika apa yang saya katakan memang ada pada diri saudaraku? Beliau menjawab “Jika apa yang engkau katakan itu ada pada dirinya, maka engkau meng-ghibahnya, dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya, maka engkau telah berbuat kebohongan terhadapnya”. [HR. Muslim].

Allah swt sendiri juga melarang perbuatan ghibah ini dalam al-Qur’an serta menyerupakannya dengan bentuk yang sangat buruk: yaitu menyerupakannya dengan seseorang yang rela memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman, (yang artinya): “... Janganlah sebagian kalian menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. ...” {Qs. Al-Hujurat (49) : 12}.

c. Namimah

Namimah ialah mengadu domba atau menyebar fitnah, yaitu mengutip perkataan seseorang terhadap orang lain untuk merusak hubungan antara keduanya. Ini merupakan bagian dari dosa-dosa besar. Rasulullah pernah bersabda:
“Tidak akan masuk syurga orang yang suka namimah". [Mutafaq ‘alaih]

Dalam shohihain disebutkan hadist dari Ibnu Abbas ra. bahwa suatu ketika Nabi saw melewati sebuah kuburan lalu berkata: “Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang diadzab, namun keduanya tidaklah diadzab karena sesuatu yang memberatkan mereka. Salah satunya diadzab karena tidak membersihkan diri dari air kencing, sedangkan yang satunya lagi suka berjalan kian kemari dengan menyebarkan fitnah dan adu domba.”

Namimah merupakan kerusakan bagi individu maupun masyarakat, membuat terpecahnya kaum muslimin, serta membuat saling bermusuhan. Allah berfirman, (yang artinya): “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah”. {Qs. Al-Qalam (68) :10-11}.

d. Al-Ghisy.

Al-Ghisy ialah perbuatan menipu dan curang dalam segala macam muamalah, baik dalam berdagang, sewa-menyewa, membuat sesuatu, memberikan jaminan, serta dalam hal saling menasihati dan musyawarah. Rasulullah berlepas diri dari perbuatan menipu dan curang.

Rasulullah bersabda:
“Siapa yang berbuat curang dan menipu kami, maka bukan bagian dari kami”. [HR. Muslim].

e. Alat-Alat Musik.

Selanjutnya ia harus juga menjauhi alat-alat musik, yang merupakan alat permainan dan dan hiburan dengan segala macam jenisnya, seperti kecapi, rebab, gitar, biola, piano, dan sebagainya.
Nabi telah memperingatkan agar menjauhi alat-alat musik serta menyandingkannya dengan zina. Beliau bersabda, “Akan ada dari kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan ‘kemaluan’ (zina) dan sutera serta menghalalkan khomr dan alat-alat musik”. [HR. Bukhari].
-----------------
Ya Allah, peliharalah agama kami, dan halangi anggota badan kami dari perbuatan yang membuat-Mu murka. Ampunilah kami, kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai pemberi rahmat yang terbaik. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan para sahabat seluruhnya.
-----------------

Stop Press ...

Enam Perkara Penyempurna Puasa

  1. Menundukkan pandangan serta menahannya dari pandangan-pandangan liar yang tercela dan dibenci Alloh swt.
  2. Menjaga lisan dari berbicara tidak karuan, menggunjing, mengadu domba dan berdusta.
  3. Menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang haram atau tercela.
  4. Menjaga anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
  5. Hendaknya tidak memperbanyak makan.
  6. Setelah berbuka, hendakya hatinya antara takut dan harap. Sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima, sehingga ia termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah swt, ataukah ditolak sehingga ia termasuk orang-orang yang dimurkai. Hal yang sama hendaknya ia lakukan pada setiap selesai melakukan ibadah.

Referensi :
  1. Buletin Al- Huda.
  2. Digital Quran ver 3.2, http://www.geocities.com/sonysugema2000/

22 Agustus 2009

Ramadhan Telah Tiba ...

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, {Qs. Al-Baqarah (2) : 183}.

Tak terasa..., kita semua telah berjumpa kembali dengan bulan yang penuh dengan keberkahan, yaitu bulan ramadhan dimana setiap amal akan dibalas dengan berlipat ganda. Bulan yang khusus diberikan untuk ummat Rasulullah saw. Bulan yang diwajibkan untuk berpuasa bagi seluruh kaum muslimin.

Sebelas bulan lamanya kita menanti bulan ini dengan kerinduan layaknya ketika akan kedatangan saudara yang sudah bertahun-tahun tak bersua, betapa besar rasa rindu kita kepada saudara kita. Apalagi dengan tamu yang satu ini, merupakan tamu spesial selain akan menghantarkan diri kita kepada derajat ketaqwaan, juga kedatangannya sangat langka dan jarang, dalam satu tahun hanya satu kali. Itu pun kalau kita panjang umur.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Ada beberapa keutamaan yang menjadi kekhususan dan keistimewaan ramadhan, tamu yang kita nanti ini yang harus kita buru, juga di dalamnya kita harus mendulang pahala amal shalih sebanyak-banyaknya, diantaranya:

  1. Shaum adalah rukun keempat dalam Islam. Ibadah shaum merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai taqwa. Dan salah satu sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan dan pengangkatan derajat.
  2. Pada bulan ramadhan diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi ummat manusia dan berisi keterangan-keterangan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Membaca ayat-ayat al Qur’an adalah ibadah yang paling utama di bulan ramadhan. Bersungguh-sungguhlah untuk mengkhatamkan al Qur’an di bulan ramadhan nanti. Rasulullah saw bersabda, “Bacalah al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya”. (HR. Muslim dari Abu Umamah).
  3. Pada bulan ini disunahkan shalat tarawih, yakni shalat malam pada bulan ramadhan, untuk mengikuti jejak Nabi dan para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan shalat malam ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Mutafaqun ‘alaihi).
  4. Meningkatkan kualitas shaum kita. Karena didalamnya terkandung pahala yang besar. Nabi bersabda, “Barangsiapa yang shaum satu hari di jalan Allah Azza wa Jalla maka Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejak hari tersebut selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  5. Memperbanyak sedekah di bulan ramadhan. Diriwayatkan dalam shahih al Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Nabi adalah orang yang amat dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan ramadhan Rasulullah ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang menghembus.” Diriwayatkan dalam hadits Zaid bin Khalid ra dari Nabi, beliau pernah bersabda, “Barangsiapa memberi makan kepada orang yang bershaum maka baginya seperti pahala orang bershaum itu tanpa mengurangi sedikitpun dari pahalanya.” (HR. Ahmad dan At -Tirmidzi).
  6. Bertaubat dan beristighfar meminta ampun dari segala dosa-dosa. Bulan ramadhan merupakan bulan dimana Allah memberikan keutamaan dan mengabulkan semua do’a. Nabi bersabda, “Ada tiga macam orang yang tidak ditolak do’anya diantaranya, orang yang bershaum hingga berbuka.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, Nasa’i , Ibnu Majah).
  7. Bertahan untuk melakukan i’tikaf di-dalam masjid. I’tikaf adalah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah saw pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. Bahkan pada kurun terakhir ketika beliau wafat, Rasulullah melakukan I’tikaf selama 20 hari. I’tikaf adalah tinggal di dalam masjid untuk melakukan ibadah, meninggalkan urusan dunia dan kesibukannya.
  8. Terdapat pada bulan ini Lailatul Qadar (malam mulia), yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan atau sama dengan 83 tahun 4 bulan. Malam dimana pintu-pintu langit dibukakan, do’a dikabulkan, dan segala taqdir yang terjadi pada tahun tersebut ditetapkan. Nabi bersabda, “Barang siapa mendirikan shalat pada Lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(Muttafaqun ‘Alaihi).
  9. Dibelenggunya syaitan dan ditutupnya pintu-pintu neraka serta dibukanya pintu-pintu surga. Rasulullah pernah bersabda, “Jika bulan Ramadhan tiba maka pintu-pintu surga dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, dan syaitan pun dibelenggu.” [HR. Bukhari].

Ramadhan dan Gaya Hidup Islami


Ramadhan sebagai bulan penuh berkahpun tidak luput dari kepentingan duniawi ini. Jangan heran jika masyarakat kita akan selalu antusias untuk menyambut bulan mulia ini, namun apa yang menjadi orientasinya? Tidak pelak lagi keuntungan duniawi yang selalu berada di pelupuk mata mereka.

Sebenarnya sah-sah saja ketika ummat Islam ingin mendapatkan keuntungan dari bulan mulia ini, namun yang menjadi permasalahan adalah kenapa mereka justru menjadikan momen mulia ini sebagai sarana untuk menyebarkan gaya hidup yang bukan dari ajaran Islam.

Contoh yang paling ringan adalah betapa pusingnya kaum bapak ketika ramadhan semakin dekat, yang ada dalam benak mereka adalah bisa nggak ya beli kebutuhan selama ramadhan dan persiapan hari raya? Hal ini karena ketika ramadhan tiba tentu anggaran rumah tangga dengan sendirinya akan meningkat. Hitung-hitung dengan shoum akan lebih menghemat justru malah sebaliknya anggaran rumah tangga membengkak dua kali lipat.

Sementara kaum ibu lebih sibuk lagi, kalau pada hari-hari biasa menu makan bisa dengan lauk sederhana maka di ramadhan menu yang disediakan harus “wah” minimal ada kolak, daging, es campur dan lain-lain.

Ditengah kesibukan itu masih ada juga sebagian masyarat yang memanfaatkan bulan mulia ini menambah penghasilan keluarga dengan berdagang musiman, atau ketika menjelang lebaran yang seharusnya disibukkan dengan berbagai ketaatan justru mendapat order pekerjaan yang menumpuk, pesanan kue lebaran, baju, paket lebaran dan lain-lain.

Lalu dimana sebenarnya letak keberkahan ramadhan ini? Apakah hanya keuntungan duniawi?

Pada dasarnya gaya hidup seorang muslim tidaklah berbeda, baik di dalam maupun di luar ramadhan. Kita harus tetap berpegang teguh pada gaya hidup Islami, tidak ada pemborosan, kesibukan yang melalaikan akhirat, makan yang berlebihan dan aktifitas yang membawa pada membuang-buang watu, uang dan nikmat yang telah diberikan Allah Ta`ala.

Perbedaan yang seharusnya menjadi nilai plus adalah bahwa pada bulan mubarok ini kita harus lebih bisa memanfaatkan momen ramadhan untuk beribadah kepada-Nya. Terutama di akhir-akhir bulan ini. Sehingga kesibukan-kesibukan dunia tidak sampai melalaikan kita dari mengisi bulan yang penuh berkah ini.

Sekali lagi jangan sampai gaya hidup kita berubah dan disesuaikan dengan zaman.

Referensi :
  • Risalah Romadhon, Abd. bin Jarulloh Ibrohim al Jarulloh, Al-Sofwa.
  • Buletin Al-Huda.


Stop Press ...........


Ramadhan dan Budaya Kita

Setiap kali bertemu Ramadhan, ada yang khas dinegeri kita ini: kenaikan harga bahan pokok sehari-hari. Tidak kita pungkiri, kenaikan BBM menjadi salah satu pemicunya. Namun, Ramadhan-Ramadhan sebelumnya pun, budaya kenaikan harga bahan pokok ini juga tetap menjadi menu langganan di negeri kita, dengan atau tanpa kenaikan BBM.

Ada hal menarik dari sini, ketika Ramadhan diidentikkan dengan aneka kebutuhan makanan yang meningkat. Bangsa ini ternyata memang cukup konsumerisme (suka membeli barang yang tidak diperlukan) dan konsumtif terhadap urusan perut. Ketika sebagian orang ramai-ramai mempersiapkan Ramadhan dengan bekal ilmu dan latihan implementasi amalan-amalan terbaik, sebagian masyarakat kita masih melihat Ramadhan sebagai sebuah ritual puasa (baca: pengorbanan) yang harus dibayar dengan kenikmatan-kenikmatan sesudahnya sebagai kompensasi berpuasa. Salah satunya yakni memanjakan diri dengan hidangan berbuka dan sahur yang spesial, berbeda dari menu makan hari-hari biasanya. Maka tidak heran jika kemudian kenaikan harga bahan pokok ini pun menjadi fokus perhatian masyarakat kita saat ini.

Tidak kita pungkiri makin banyak masyarakat miskin dinegeri ini. Puasa Ramadhan pun sudah keluar dari esensinya sebagai latihan tepa selira (tenggang rasa) terhadap saudara-saudara kita yang dhuafa. Jika melihat perilaku konsumtif yang ternyata menempatkan Ramadhan sebagai sebuah momen memindahkan waktu makan. Tidak mengherankan memang jika kemudian masyarakat kita menganggap puasa sebagai sebuah kondisi untuk berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Berlapar-lapar dahulu, berkenyang-kenyang kemudian. Lalu, latihan tepa selira mana yang sedang kita lakukan?

Semoga setiap bertemunya kita dengan Ramadhan makin terus memantapkan diri kita tentang makna esensial Ramadhan, bukan sekadar ritual berpuasa, tarawih, berzakat, berbelanja, berlebaran, setelah itu kembali pada rutinitas semula tanpa hikmah atau kesan apapun yang tertinggal.

Semoga kita dijauhkan dari ketumpulan batin dan ketebalan hijab dengan Dzat pemberi Rahmat dibulan yang mulia ini. Amin. *****

(Buletin Nurul Haq No. NH / 07 / 002 / September 2007 M / Ramadhan 1428 H).

19 Agustus 2009

Hakekat Mensyukuri Nikmat

Di setiap tanggal 17 Agustus, hampir seluruh rakyat Indonesia mulai dari kalangan para pejabat pemerintah hingga rakyat jelata, tepatnya di pagi hari, mereka pergi ke lapangan untuk melaksanakan upacara dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka merayakan kemerdekaan dengan perasaan gembira. Ungkapan kegembiraan pun beragam caranya, dimulai dengan perlombaan-perlombaan dan biasanya ditutup dengan pementasan-pementasan musik.

Begitu semangat dan gembiranya mereka dalam merayakan hari yang ditunggu-tunggu itu, karena mereka beranggapan bahwa di hari inilah hakekat kemerdekaan bisa dirasakan sampai sekarang.

Benarkah ?

Saudaraku....
Sekian lama kaum Quraisy bertindak sewenang-wenang terhadap Rasulullah SAW dan pengikutnya. Terakhir, Quraisy telah melanggar salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah dengan menyerang sekutu Rasulullah bani Khuza`ah. Berangkat dari peristiwa itu Nabi Muhammad SAW yang ma`shum memutuskan tidak akan lagi memberikan toleransi kepada kaum Quraisy. Beliau memerintahkan agar semua orang mempersiapkan diri dan memberitahukan mereka bahwa sasarannya adalah Makkah.

Lewat sepuluh hari pada bulan Ramadhan 8 H, Rasulullah SAW meninggalkan Madinah, beranjak menuju Makkah bersama 10 ribu sahabatnya.

Rombongan melaju memasuki Makkah tanpa ada perlawanan yang berarti dari pihak Quraisy. Selanjutnya Rasulullah bersama kaum Muhajirin dan Anshor berjalan memasuki Masjidil Haram. beliau berthawaf disekeliling Ka`bah sambil memegang busur sementara disekitar ka`bah bertebaran 360 berhala. Beliau mengarahkan busurnya kearah berhala-berhala tersebut sambil mengucapkan; “...Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” {Qs. Al-Israa` (17): 81}. Seketika itu pula berhala-berhala itu roboh dihadapan beliau SAW.

Pada akhirnya, beliau berdiri di pintu Ka`bah dan orang-orang Quraisy berkumpul di bawahnya, sambil menunggu keputusan yang akan beliau ambil. Dengan berpegang pada kedua kusen pintu, beliau SAW bersab-da, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian apa kira-kira yang akan aku lakukan terhadap kalian?” mereka membayangkan Rasulullah SAW akan menghabisi mereka semua. Dibenak mereka, kematian adalah harga yang pantas yang harus dibayar atas kedzaliman yang dahulu mereka lakukan terhadap nabi Muhammad SAW. Namun mereka masih mengharapkan terbetiknya rasa belas kasihan dihati Rasulullah SAW, maka mereka menjawab, “Kamu akan memperlakukan kami dengan baik, karena engkau adalah saudara kami yang mulia dan anak saudara kami yang mulia.” beliau SAW pun bersabda: “Sesungguhnya aku akan katakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan Yusuf as kepada saudara-saudaranya; Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu). Pergilah, kalian semua bebas!”. Ya, Rasulullah memaafkan mereka.

Tatkala misi penaklukan Makkah berhasil, orang-orang tersadar bahwa kemenangan berada ditangan Rasulullah SAW dan para Sahabatnya, maka mereka pun berbondong-bondong masuk kedalam Islam. Jika sebelumnya yang masuk Islam orang-perorang, itu pun sering kali dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, kini utusan dari kabilah-kabilah datang secara terang-terangan kepada Beliau dan menyatakan bahwa dirinya beserta kaumnya ingin masuk Islam.

Ini adalah penaklukan terbesar yang dengannya Allah memuliakan agama, Rasul-Nya, para prajurit dan pasukan-Nya yang dapat dipercaya, yang dengan ini pula Dia menyelamatkan negeri dan Rumah-Nya, yang telah dijadikan sebagai petunjuk bagi semesta alam, menyelamatkannya dari cengkraman orang-orang kafir dan musyrik. Ini merupakan penaklukan dan sekaligus kemenangan yang telah di khabarkan penduduk langit, yang kemudian semua manusia masuk kedalam Islam secara berbondong-bondong, sehingga wajah bumi berseri-seri memancarkan cahaya dan keceriaan.

Pada awalnya kaum muslimin menerima berbagai intimidasi dan penyiksaan lantaran mengkampanyekan ideologi tauhid, yakni penyembahan kepada Allah semata. Satu hal yang asing dan tidak bisa diterima oleh akal orang-orang jahiliyah saat itu.

Renugkanlah sirah atau sejarah diatas, niscaya kita akan menemukan satu paradigma baru tentang kemerdekaan. Sejarah tersebut menyampaikan pesan bahwa kemerdekaan dalam kacamata Islam adalah tegaknya kedaulatan Allah di muka bumi. Rasulullah tak mungkin sudi jika harus hidup dibawah aturan selain Islam, karena beliau diutus untuk menyeru manusia agar menyembah Allah saja, “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan); `sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” {Qs. An-Nahl (16) : 36}.

Jadi apapun bentuk aturan yang bukan produk Islam, kemudian diterapkan kepada ummat Islam, walaupun dianggap baik serta hasilnya dipandang positif, maka pada hakekatnya itu tetaplah sebuah tirani.

Seorang muslim tentu yakin bahwa Allah menciptakan bani Adam hanya untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” {Qs. Adzariyaat (51) : 56}.

Ayat ini menjadi tolok ukur merdeka atau tidaknya seorang muslim. Tatkala seorang muslim benar-benar menjadikan Allah sebagai sesembahannya, termasuk bentuk penyembahan-Nya yaitu dengan menjadikan aturannya sebagai pedoman hidup, maka sungguh ia telah merdeka. Ia menjadi orang yang tertindas, ketika menyimpangkan atau dipaksa menyimpangkan penyembahannya kepada selain Allah.
Itulah arti kemerdekaan dalam versi Islam, yaitu:

“Terbebasnya manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan kepada Allah SWT semata.”

Saat hal itu terjadi barulah label merdeka tersematkan.

Jadi, sudahkah kita merdeka?
Jawabannya tentu belum, kaum muslimin masih terjajah oleh Iblis yang dijalankan oleh antek-anteknya dari orang-orang kafir yang merupakan musuh-musuh Islam. Mereka terus bekerja keras untuk menghancurkan generasi-generasi Islam. sehingga kita bisa menyaksikan kebanyakan kaum muslimin mengikuti seruan mereka, mulai dari mengikuti cara berpakaian, bahkan mengikuti cara beragamanya mereka.

Saudaraku....
Coba anda lihat di kuburan-kuburan yang dikeramatkan; mereka berdo`a, meminta pertolongan, meminta jodoh, meminta rizki kepada ahli mayit, mereka menyerahkan segala urusannya kepada selain Allah. Bukankah itu belum merdeka?

Belum lagi, masih banyak yang mengaku muslim yang belum terbebas dari benda-benda keramat, isim, jimat-jimat dan lain sebagainya. Mereka takut jika benda-benda tersebut dilenyapkan maka akan terjadi sesuatu yang menimpa mereka berupa hal-hal yang tidak diinginkan; seperti kesempitan rizki, kecelakaan, sakit, bangkrut dagangannya dan lain sebagainya. Itu artinya mereka belum merdeka.

Saudaraku....
Kaum muslimin sekarang ini belum merdeka menjalankan sunnah dengan sempurna, belum bebas menghancurkan kebid`ahan, kesyirikan, kemaksiatan. Selalu saja ada penghalangnya dari musuh-musuh yang tidak suka kepada orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan negara Islam dimuka bumi ini.

Walaupun demikian, orang-orang yang beriman, mereka tetap bersabar dengan perjuangannya, mereka yakin apa yang dijanjikan Allah itu berupa kemenangan pasti akan datang. Sebagaimana firmannya,

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” {Qs. Muhammad (47) : 7}.

Dengan kemenangan tersebut Islam terbebas dari jajahan kaum kafir dan antek-anteknya. Dalam kata lain Islam telah mendapatkan kemerdekaan yang hakiki sehingga mereka hanya beribadah hanya kepada Allah semata dengan perasaan tenang; tanpa gangguan, mereka menyerahkan seluruh perkaranya hanya kepada Allah semata, mereka ridha dengan ketetapan-Nya yang baik maupun yang buruk. Mereka tidak resah dengan kehidupan yang dijalaninya, mereka hidup dengan damai, penuh dengan kasih sayang, persaudaraan karena keimanan, dengan begitulah terciptalah masyarakat Islami yang kita damba-dambakan, masyarakat yang hidup dibawah naungan wahyu Ilahi.

Referensi : Buletin Al-Huda.

13 Agustus 2009

Bagaimana Menyambut Bulan Romadhon?

Saudaraku muslimin dan muslimah…!

Bagaimana perasaan anda ketika seorang tamu yang anda cintai dan ditunggu-tunggu kehadirannya akan datang dan akan tinggal bersama anda beberapa hari, kira-kira apa yang harus anda lakukan?

Yang pasti anda akan berbahagia dan penuh suka cita menyambutnya dan bersiap-siap dalam penyambutannya dengan yang terbaik, baik itu dari tempatnya yang harus bersih selalu, jamuannya pun harus yang menarik agar sang tamu itu tidak kecewa ketika berada dirumahnya.

Begitupula saat ini wahai saudaraku…
Kita akan kedatangan tamu yang sangat mulia melebihi tamu-tamu yang kita muliakan karena tamu ini bukan hanya anda yang harus cintai dan memuliakannya akan tetapi Alloh swt, Rosululloh saw dan kaum muslimin yang lainnya mencintai dan memuliakan bulan ini yaitu bulan suci Romadhon yang didalamnya penuh keberkahan kasih-sayang dan ampunan dari Robb semesta alam, dan tamu anda ini akan tinggal dengan anda selama 1 bulan penuh dengan membawa kebaikan dan keberkahan.

Tahukah anda apa itu bulan Romadhon? Bulan Romadhon adalah bulan diturunkannya al-Qur’an, bulan ampunan, bulan dibukanya pintu-pintu surga dan dikuncinya pintu-pintu neraka dan dibelenggunya para syetan, dan bulan didalamnya ada satu hari lebih baik dari pada seribu bulan.

Kalau anda tahu akan datangnya bulan suci Romadhon ini apa yang harus kita lakukan?
Bagi kita sebagian orang yang beriman yang siap menerima panggilan dari Robb kita hendaknya melakukan hal berikut ini:

1. Berdo’a

Kita berdo’a, semoga Alloh swt memperpanjang umur kita sehingga bisa bertemu dengan bulan Romadhon dan meminta pertolongan kepada Alloh swt agar memberikan taufik dan hidayah agar dapat melakukan segala peribadatan yang ada di bulan mulia ini baik itu qiyamul lail-nya, qiroh al-Quran-nya dan amalan-amalan shalih lainnya yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh swt.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. {Qs. Al-Fatihah (1) : 5}.

Dan berdoa seperti yang diajarkan Rosululloh saw, (yang artinya):
“Ya Alloh pertemukanlah aku dengan Romadhon dan pertemukanlah Romadhon kepadaku..”

2. Bertaubat dan Banyak Beristighfar

Banyak-banyak bertaubat dan beristighfar atas kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan dengan hati yang tulus dan penuh keikhlasan, dan kembali kepada Alloh swt dengan melakukan ketaatan - ketaatan seperti shalat lima waktu harus kita jaga betul-betul, dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan haram, sebab bagaimana mungkin anda mengharapkan pahala dan ampunan dari Alloh swt dibulan mulia ini kalau shalat lima waktu yang menjadi dasar pokok Islam banyak dilalaikan atau mungkin ditinggalkan sama sekali dan makanan yang haram masih senantiasa mengisi perut-perut kita dan anak-anak kita.

Sebab barangsiapa yang meninggalkan kemaksiatan yang disenanginya karena mengharapkan balasan dari Alloh swt, maka Alloh swt akan menyediakan pahala dan balasan yang sangat besar, dan taubat sangat berpengaruh pada psikologi dan batin seseorang dimana orang yang senantiasa bertaubat maka hati dan jalan pikirannya akan menjadi bersih dari hal-hal yang menjurus kepada keburukan, yang manfaatnya seseorang mampu melakukan perintah Alloh swt dengan hati yang khusu’.

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya dari makan dan minum.” (HR. al-Bukhari).

Maka bertobatlah dengan tobat yang tulus dan sebenar-benar tobat. Pintu tobat alhamdulillah masih terbuka, dan tobat itu bukanlah sekedar meninggalkan perbuatan dosa, akan tetapi dengan mengembalikan hati dan hawa nafsu Anda kepada Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib: “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah ...” {Qs. Adz-Dzariat (51) : 50}.

3. Mendalami Ilmu Dinul Islam

Mendalami ilmu agama khususnya ilmu yang berkaitan dengan bulan Romadhon, baik ilmu aqidah sebagai landasan dasar seseorang menjadi muslim yang ikhlas dalam ketaatan, fiqh ibadah-nya, amalan-amalan sunnah-nya dan seluruh cabang ilmu yang dapat memberikan suatu pemahaman berpuasa dengan benar sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rosululloh saw, sebab karena kejahilan dalam memahami agama dan menjadikan kejahilan sebagai landasan dalam beramal, menyebabkan seseorang seharusnya mendapatkan pahala dan ampunan dari Alloh swt akan tetapi justru mendapatkan dosa dan laknat dari Alloh swt. Kenyataannya banyak saudara-saudara kita ketika berpuasa masih melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan bahkan mendatangkan dosa, dan hal ini kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang ikut-ikutan saja dalam berpuasa tanpa mendasari ibadahnya dengan ilmu yang benar, yang akhirnya puasa yang dilakukannya dari pagi buta sampai waktu berbuka tiba tidak mendapatkan apa-apa kecuali kehausan dan rasa lapar saja, hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh saw:

“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.” (Diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ibnu Majah).

Agar anda tidak termasuk kedalam golongan yang merugi alangkah baiknya kalau dari saat ini mengikuti kajian-kajian agama atau membaca buku-buku tuntunan berpuasa yang benar yang sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rosululloh saw terlebih kalau hal itu berkaitan dengan etika berpuasa, pembatal-pembatal puasa dan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dibulan suci ini.

4. Mempersiapkan Materi

Persiapan ini bukan dimaksudkan untuk membeli baju baru ketika lebaran sudah tiba, atau mengumpulkan ongkos dan bekal untuk pulang kampung, tapi hal itu untuk infaq, shodaqoh dan zakat sebab nilai ibadah ini di bulan Romadhon Alloh swt lipat gandakan sampai tak seorangpun mengetahui berapa lipatan yang akan Alloh swt balas, karena Allah swt-lah yang langsung membalasnya.

Rosululloh saw pernah ditanya sedekah apakah yang paling utama? Beliau menjawab, “Seutama-utamanya sedekah adalah bersedekah di bulan Romadhon.” (HR.Tirmidzi).

Dan harus kita tanamkan juga bahwasannya bulan Romadhon harus menjadi bulan muwasah (bulan santunan) semaksimal mungkin kita bersedekah berapapun jumlahnya walaupun dengan sebutir kurma atau seteguk air, terlebih memberikan makan orang yang sedang berpuasa, menyantuni fakir miskin dan lain sebagainya.

Diceritakan bahwa Rosululloh saw kalau bulan Romadhon tiba maka beliau menjadi orang yang paling dermawan, sampai santunan beliau merata keseluruh lapisan masyarakat, hal ini sesuai dengan hadits yang diceritakan oleh Ibnu Abbas ra, “Nabi saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi dibulan Romadhon, saat beliau ditemui Jibril as untuk membacakan kepadanya al-Qur’an, Jibril menemui Nabi saw setiap malam pada bulan Romadhon, lalu membacakan kepadanya al-Qur-an. Rosululloh saw ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Dan hal ini barang tentu tidak mungkin bisa dilakukan kecuali jauh hari sebelum Romadhon kita persiapkan, dan termasuk kedalam persiapan harta adalah mempersiapkan dana agar dapat beri’tikaf dengan tenang tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

5. Persiapan Fisik

Maksudnya selama bulan Romadhon ini kita berusaha agar tubuh kita prima karena bulan Romadhon bulan penggemblengan dan tarbiyah, baik jiwa maupun batin, maka seyogyanya anda tampil prima.

Kita berdo’a semoga Allah berkenan memberi taufiq dan hidayahNya kepada kita agar dapat beramal shalih pada bulan Romadhon.

Kebenaran yang ada dalam risalah ini, semata-mata datangnya dari Allah. Sedangkan kesalahan, kekurangan, atau penyimpangan dalam bentuk apa saja, semuanya itu datang dari kami dan dari setan. Alloh dan RosulNya terlepas dari semua itu, semoga Alloh merahmati mereka yang berkenan menunjukkan kesalahan dan kekurangan kami.

“Ya Allah, pertemukan kami dengan bulan Ramadhan dan berilah kami pertolongan untuk dapat menunaikan shiyam, qiyam dan amal shalih di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya. Teguhkanlah kami pada keta’atan sampai kami menemuiMu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan segala do’a.” Amin...

Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

Referensi :
  1. Buletin Al-Huda.
  2. Abu Mush’ab Riyadh bin Abdur Rahman al-Haqiil - Yayasan al-Sofwa Po. Box 7805/ 13708 JATCC JAKARTA 13340.
  3. Buletin Nurul Haq No. NH / 051 / 08 / 29 Agustus 2008 M / 27 Sya’ban 1429 H.
  4. Buletin Nurul Haq No. NH / 07 / 003 / September 2007 M / Ramadhan 1428 H.

07 Agustus 2009

Ada Apa di Bulan Sya’ban?

Jika kita perhatikan, di setiap tanggal 15 Sya`ban, kita akan melihat banyak orang yang berbondong-bondong ke masjid-masjid yang berada ditempat masing-masing, mereka membawa satu buku yang didalamnya berisi surat Yasin dan surat-surat tertentu lainnya sambil membawa air dalam botol, kendi bahkan ada juga yang membawa air dalam galon. Apa yang akan mereka lakukan di masjid dan untuk apa mereka membawa air? Tentunya kita sudah faham bahwa mereka akan mengadakan ritual “Malam Nishfu Sya`ban”.

Malam Nishfu Sya`ban adalah malam yang mereka yakini memiliki kedudukan khusus disisi Allah sehingga mereka menghidupkannya dengan berkumpul untuk dzikir, berdo`a, membaca surat tertentu, biasanya Yasin. Mereka berkumpul di masjid setelah shalat Maghrib untuk melaksanakan shalat khusus (Shalat Nishfu Sya`ban) kemudian membaca surat Yasin dengan suara keras kemudian mereka membaca do`a Nishfu Sya`ban (meskipun dengan tidak benar bacaannya) mereka mengulang-ulang hal itu tiga kali. Pertama meminta dengan niat panjang umur, yang kedua dengan niat tolak bala, yang ketiga dengan niat merasa cukup dari orang lain (untuk kaya), mereka meyakini bahwa orang yang tidak ikut, dia diancam pendek umurnya, banyak musibah yang menimpanya dan akan selalu membutuhkan orang lain, dalam artian selalu miskin. Adapun air yang mereka bawa diletakkan ditengah-tengah para jama`ah untuk mendapatkan khasiat atau keberkahan dari apa yang dibaca oleh para jama`ah terutama dari para kyainya.

Diantara isi do`a mereka itu adalah meminta kepada Allah agar menghapus semua nasib jeleknya yang termaktub di dalam ummul kitab dan menggantikannya dengan nasib yang baik, mereka beralasan dengan firman Allah, yang artinya :
“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh mahfuzh)”. {Qs. Ar-Ra`du (13) : 39}.

Ini merupakan pemalingan dan penyelewengan dari makna ayat yang sebenarnya, karena sebenarnya ayat ini menjelaskan bahwa Allah menghapus hukum-hukum syariat ummat terdahulu yang tidak sesuai dengan kemampuan ummat sesudahnya (umat Rasulullah), dan menjelaskan bahwa pokok-pokok ajaran yang selalu pasti dibutuhkan oleh semua umat (seperti tauhid, kebangkitan, kerasulan, pengharaman hal-hal yang keji) tidak dirubah dan itu disebut ummul kitab Al Ilahy yang tidak mungkin ada perubahan atau perombakan. Jadi ayat itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal atau nasib yang terjadi di alam ini. Oleh sebab itu do`a ini bukan pada tempatnya, bahkan termasuk dalam hal yang melampaui batas dalam berdo`a, dan ini dilarang. Sebagaimana firmannya, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (dalam berdo`a). {Qs. Al-A`raf (7) : 55}.

Adapun sebab kenapa mereka menganggap lailah Nisfi Sya’ban (malam Nishfu Sya’ban) sesuatu yang istimewa adalah karena salah pemahaman dari ayat pertama surat ad Dukhan, Juga karena berpegang pada hadits palsu.

Adapun ayat surat ad-Dukhan adalah firman-Nya, (yang artinya) :“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabb-mu, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. {Qs. Ad Dukhan (44) : 3-6}.

Mereka beranggapan bahwa Lailah Mubarakah (malam yang penuh berkah) itu adalah malam Nishfu Sya’ban, sehingga mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Dan anggapan itu sangat salah sekali, bertentangan dengan konteks ayat dan juga bertentangan dengan ayat-ayat lain. Yang benar menurut konteks ayat dan sesuai dengan ayat-ayat lain adalah bahwa Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Ayat-ayat itu adalah salah satu dari tiga ayat yang berbicara tentang turunnya Al Qur’an juga tentang waktunya. Adapun ayat yang kedua adalah, (yang artinya) : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an dimalam (Lailatul Qadar). {Qs. Al Qadr (97) : 1} dan ayat ketiga menjelaskan bahwa itu di bulan Ramadhan: artinya, “Adalah bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an”. {Qs. Al Baqa-rah (2) : 185}. Jadi Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadr yang ada di bulan Ramadhan, malam itu disebut malam yang penuh berkah (Lailah Mubarakah) sebagaimana kitab suci Al Qur’an dinamai atau disifati Kitab yang diberkahi (Mubarak). Artinya: “Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi”. {Qs. Al An’am (6) : 92}. Jadi bukan pada tempatnya menjadikan ayat itu sebagai dalil untuk mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah tertentu.

Ibnu Katsir Asy Syafi’i, berkata: “Dan orang yang mengatakan bahwa itu adalah malam nishfu Sya’ban sungguh telah terlalu jauh (menyimpang dari kebenaran)” [Tafsir Ibnu Katsir 4/167]. Dan adapun hadits yang mereka jadikan dalil adalah:

Hadits ini adalah hadits maudhu (palsu) diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abdurrazaq dari Abu Bakar Ibnu Abdillah Ibnu Abi Sabrah, Ibnu Main dan Imam Ahmad mengatakan: Dia (Abu Bakar ibnu Abdillah...) suka membuat “Hadits Palsu”. An Nasa’i mengatakan dia itu matruk. [lihat ta’liq Al-‘Itisham oleh Rasyid Ridha 1/39].

Jadi jelas sekali apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin di Nishfu Sya’ban adalah Bid’ah Munkarah yang tak punya dasar. Imam Asy Syathiby Al-Andalusy mengatakan, “Dan diantara hal yang bid’ah adalah rutin melakukan ibadah tertentu diwaktu tertentu yang tidak pernah ada penentuan (waktu atau malam) nya dari syari’ah seperti (mengkhususkan puasa dipertengahan bulan Sya’ban dan beribadah dimalamnya”. [Al ‘Itisham 1/39].

Adakah Shalat Nishfu Sya’ban?
Syaikh Mahmud Syaltut (Rektor Al Azhar), mengatakan: “Adapun khusus malam Nishfu Sya’ban dan kumpul-kumpul untuk menghidupkannya dan mengadakan shalat khusus di malam itu serta berdo’a dengan do’a (khusus) semuanya tidak bersumber sedikitpun dari Nabi. Dan tak pernah dikatakan (dan dikenal) oleh seorangpun di masa-masa awal (Islam)” (Al -Fatawa: 191).

Yang ada dari Rasulullah adalah banyak berpuasa di bulan itu untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan tanpa membedakan hari-hari tertentu.

Ini adalah hal yang berkaitan dengan apa yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita yang mengaku bermadzhab Syafi’i, namun amalan dan perbuatan mereka sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka anut, bahkan para kiyai dan orang yang mengaku tokoh sekalipun.

Dalam kaitan ini dirasa perlu mendudukkan ulang keberadaan Shalat Nishfu Sya’ban, yang oleh sementara orang masih diyakini sebagai amalan istimewa dibulan Sya’ban.

A. Raka’at dan sifatnya
Dari riwayat-riwayat yang ditemukan yang masih harus kita lihat keabsahannya dapat disimpulkan bahwa jumlah raka’at dan sifat Shalat Nishfu Sya’ban adalah sebagai berikut: Pertama: 12 raka’at, pada setiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali.; Kedua: 13 raka’at, pada setiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali.; Ketiga: 100 raka’at, dengan membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas 10 kali setiap raka’at.

B. Riwayat-riwayat yang mendasari Shalat Nishfu Sya’ban

“Barangsiapa shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban sebanyak 12 raka’at, yang pada tiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas 30 kali (al-Jauzaqanie, Kitabul Maudhu’at II:129).

“Barangsiapa shalat pada malam Nishfu Sya’ban 13 raka’at dengan membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali pada setiap raka’atnya, niscaya ia akan disyafa’ati (Al-Asrar al-Marfu’ah fil-Akhbar al-Maudhu’ah 462).

“Wahai Ali, barangsiapa shalat pada malam Nishfu Sya’ban 100 raka’at dengan membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas 10 kali pada setiap raka’at, tidak lain melainkan Allah akan memenuhi semua hajat keperluannya (Al-Fawaid al-Majmu’ah 51, al-Maudhu’at II:129).
Tiga riwayat ini yang sering dibawa-bawa untuk mendasari amalan-amalan yang dianggapnya benar itu.

C. Keabsahan riwayat-riwayatnya
Riwayat pertama : ini masuk dalam kategori Maudhu’ (palsu), sedang rawi-rawinya disamping banyak yang majhul, ada pula yang Dha’if yaitu Baqiyyah bin al-Walid bin Shaid bin Ka’ab al-Kala’i dan Laits bin Abi Sulaim (al-Maudhu’at II:129).

Sebab kelemahan keduanya:
a. Baqiyyah bin al-Walid bin Shaid bin Ka’ab al-Kala’i; Dia memang orang yang Shaduq, hanya saja ia banyak Tadlis dari orang-orang Dha’if.
b. Laits bin Sulaim; Dia orang yang Shaduq, hanya saja dia sangat kacau sehingga tidak dapat dibedakan haditsnya, maka akhirnya dia ditinggalkan. Imam Ahmad menyatakan bahwa dia termasuk orang yang goncang haditsnya. Kata Yahya dan Nasa’i : Dia adalah Dha’if (Mizanul I’tidal III:420, dan Taqribut Tahdzib 464).

Riwayat kedua : ini juga maudhu’. Dalam Al-Asrar al-Marfu’ah fil Akhbar al-Maudhu’ah 462 dinyatakan bahwa Shalat Nishfu Sya’ban ini diada-adakan setelah 400 tahun dan berkembang dari Baitul Maqdis, baru kemudian dibuat beberapa hadits tentang shalat Nishfu Sya’ban, yang diantaranya adalah riwayat ini.

Riwayat ketiga : ini juga Maudhu’. Dalam al-Fawaid al-Majmu’ah 51,52, dikomentari bahwa hadits (riwayat) tentang Shalat Nishfu Sya’ban adalah bathil semua. Didalam sanad riwayat ini disamping banyak rawinya Majhul, ada juga rawi-rawinya yang dhaif. (Kitabul Maudhu’at II:129, dan al-Fawaid 51,52).

Melihat keterangan diatas nyata bagi kita bahwa riwayat-riwayat yang mendasari adanya Shalat Nishfu Sya’ban adalah Maudhu’ alias Palsu.

D. Kesimpulan dan Hukum
Semua riwayatnya Maudhu’, karena itu melaksanakan Shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang tercela (Baca I’anatuth Thalibin 1:270).
An-Nawawi menegaskan: Shalat Rajab dan Nishfu Sya’ban adalah dua hal yang bid’ah, yang munkar lagi jelek (buruk) (as-Sunan wal-Mubtada’at 93).
Sebagai penutup dari pembahasan ini, mungkin diantara pembaca ada yang merasa tersinggung bahkan kesal dengan adanya tulisan ini, namun perlu diketahui kami hanya bisa menyampaikan apa yang kami ketahui berupa kebenaran, terlepas dari menerima atau tidaknya para pembaca semuanya.

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling Sesungguhnya kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” {Qs. At Taghabun (64) : 12}.

Dan kami hanya bisa berdo`a semoga Allah SWT memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada kita semua; yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia serta semoga Allah memberikan kemampuan untuk mengamalkannya. Aamiin.....

Referensi :
  1. Buletin Al-Huda;
  2. Fiqh Ibadat, Ibnu Arham.

30 Juli 2009

Menuntut Ilmu ( Tholabul ‘Ilmi )

Wahai saudaraku muslim dan muslimah [semoga Allah merahmati Anda]. Ketahuilah, bahwa kita wajib mempelajari empat hal:

Pertama: Ilmu: Yaitu mengenal Allah, mengenal NabiNya saw, dan mengenal agama Islam, karena tidak boleh beribadah kepada Allah tanpa dasar ilmu. Siapa saja melakukan hal demikian, maka akan terjerumus ke dalam kesesatan, dan telah menyerupai orang-orang Nasrani dalam perbuatannya ini.

Kedua: Amal: Siapa saja berilmu tanpa mengamalkannya, maka ia telah menyerupai orang-orang Yahudi. Sebab mereka itu berilmu, namun tidak mau mengamalkannya. Diantara tipu muslihat setan, ia memperdaya manusia agar tidak senang terhadap ilmu, dengan anggapan bahwa ia akan dimaafkan dihadapan Allah karena kebodohannya. Ia tidak tahu, bahwa siapa yang memiliki kesempatan untuk belajar namun ia tidak melakukannya, maka telah tegak hujjah terhadap dirinya. Inilah dalih yang dikemukakan oleh kaum Nuh ketika:
“..... Mereka memasukkan jari jemari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya ke mukannya.....”.{Qs. Nuh (71) : 7}; agar hujjah tidak tegak terhadap mereka.

Ketiga: Dakwah kepadanya. Karena para ulama dan da’i adalah pewaris para Nabi. Allah telah melaknat Bani Israil; karena:
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” {Qs. Al-Maidah (5) : 79}.
Sedangkan dakwah dan ta’lim (pengajaran) merupakan fardhu kifayah, jika ada sejumlah orang yang mengerjakannya, maka yang lain tak berdosa, namun jika semua orang mengabaikannya maka berdosalah mereka.

Keempat: Sabar atas penderitaan baik dalam menuntut ilmu, mengamalkan, dan mendakwahkannya.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci keberhasilan dalam kesuksesan hidup di dunia dan hidup selamat diakhirat dan akhirnya menjadi penghuni surga.

Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengelola, memanfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran, kesejahteraan manusia. Sekaligus dia (Ilmu) juga dapat menaklukan ruang angkasa sebagai tempat alternatif bagi kehidupan manusia, sebagaimana firman Allah swt:
“Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan).” {Qs. Ar-Rahman (55) : 33}.

Dalam agama Islam orang yang berilmu mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi di sisi Allah swt. Bahkan Allah swt akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu sebagaimana diterangkan oleh Allah swt dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Qs. Al-Mujaadilah (58) : 11}.

Dan dalam ayat lain dijelaskan tentang perbedaannya orang yang berilmu dengan tidak mempunyai ilmu, sebagaimana di jelaskan dalam firman Allah swt:
“.... Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” {Qs. Az-Zumar (39) : 9}.

Bagi seorang muslim, menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban sejak kecil hingga dewasa, bahkan sampai ke liang lahat. Jadi sepanjang masa, seorang muslim harus menambah ilmu pengetahuan, bahkan Rasulullah saw menyamakan orang yang menuntut ilmu itu sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah swt, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:

“Barangsiapa yang keluar dalam menuntut ilmu, maka dia termasuk orang yang (berjalan) dijalan Allah SWT sampai dia pulang.” (HR.Turmudzi).

Orang yang menuntut ilmu pengetahuan, baik itu ilmu yang berkaitan dengan alam seisinya, maupun hanya ilmu khusus yang berkaitan dengan agama saja, maka dia akan memperoleh kebaikan disisi Allah swt, akan tetapi sebelum seseorang mempelajari Furu’iyah (cabang ilmu), seharusnya dia mempelajari ilmu pokok terlebih dahulu, yaitu ilmu agama. Karena hal itu merupakan suatu kewajiban yang pertama dan menjadi dasar atau fondasi bagi kehidupan seseorang di kemudian hari. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan difahamkan dalam agama.” (H.R. Muttafaq Alaih).

Bahkan dalam hadist lain dijelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan dimudahkan jalannya masuk surga, sebagaimana dalam sebuah hadist:
“Barangsiapa yang merambah pada suatu jalan dan mengharapkan didalamnya suatu ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

Untuk itu setiap orang islam baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu pengetahuan agar bisa menjadi Khalifahtullah dibumi ini. Tanpa ilmu pengetahuan tidak akan bisa mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam ini untuk kesejahteraan manusia.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw besabda:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat.”

Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentu berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan (yang tidak berpengetahuan). Nabi Muhammad saw memberikan gambaran tentang keutamaan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Keutamaan orang alim atas hamba bagaikan keutamaanku atas orang yang paling rendah diantara kamu. Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai semut di tempat lubangnya dan sampai kepada ikan di laut benar-benar mendo’akan baik kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. At-Tirmidzi).

Dan bahkan orang berilmu mendapat hak istimewa dari Allah seperti sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadist. Rasulullah saw bersabda:
“Apabila anak adam telah mati, maka putuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendo’akannya” (HR. Muslim).

Ilmu adalah salah satu syarat akan diterimanya ibadah kita, karena tanpa ilmu ibadah kita sia-sia (tidak diterima). Maka dari itu marilah kita menuntut ilmu yang sesungguhnya hingga akhir hayat kita, karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya dan termasuk jihad fiisabilillah. Dan bila kita mengajarkan pada manusia dan bermanfaat untuk semua orang, maka jalan kesurga di mudahkan oleh Allah swt. Akan tetapi ilmu yang kita cari dan pelajari harus sesuai dengan syari’at Islam, agar kita tidak menyimpang dan tidak membuat kerugian di dunia dan Akhirat.
------------------------------------

Referensi:
  1. 25 Calon penghuni surga oleh: Drs. Imam Bashori As Sayuthi, Mitra Ummat, Surabaya.
  2. Tafsir Sepersepuluh dari Al-Qur’an Al-Karim, Jam’iyah Al- Wafa’ Al-Islamiyah, Bogor.

25 Juli 2009

Murnikan Aqidah mu

Kehidupan beragama kaum muslimin yang telah banyak mengalami penambahan-penambahan, tentunya butuh kepada pemurnian. Sehingga agama mereka kembali sebagaimana diturunkannya pertama kali.

Melalui sejarah kita bisa melihat, tidak ada suatu kaum yang lebih mulia dari pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Hal itu karena mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran Nabi mereka yang masih murni tanpa tercampuri perkara-perkara baru. Mereka sangat jauh dari perkara baru yang diada-adakan di dalam agama. Mereka paham bahwa perkara-perkara baru itu bukan dari islam dan hanya akan membawa kehinaan dan kerugian kepada pelakunya.

BID’AH SEBAB KEHINAAN DAN KERUGIAN

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini padahal bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih).

”Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-penj.) kami padanya maka ia tertolak.” (Riwayat Muslim no. 1718)

Tidak hanya tertolak, bahkan perkara baru itu adalah merupakan kesesatan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama -penj.), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Ash-Shahihah no. 2735)

Maka adakah orang yang lebih hina dari pada orang yang berada di dalam kesesatan dan ditolak amal perbuatannya?

Allah ta’ala berfirman, (yang artinya) :
”Katakanlah : Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 103-105).

Tentang makna ayat ini Ali radhiallahu’anhu berkata, “Dan sesungguhnya ayat ini umum (mencakup) setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan jalan yang tidak diridhai. Dia menyangka bahwa jalan itu benar dan amalnya diterima padahal dia telah salah dan tertolak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

KENYATAAN YANG ADA

Namun sayang, apa yang telah diwanti-wanti oleh Al-Quran dan As-Sunnah terjadi pula dikalangan kaum muslimin. Alangkah banyaknya kaum muslimin yang menganggap suatu perkara termasuk dalam agama padahal agama islam berlepas diri darinya. Dalam segala hal!
Sebagai contoh, dalam aqidah (keyakinan) sebagian orang menyangka, termasuk penghormatan kepada para Nabi dan orang-orang shalih, kita berdoa kepada Allah dengan perantara (kedudukan) mereka di sisi Allah. Padahal kalimat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk berdoa hanya kepada Allah semata secara langsung, tanpa menjadikan orang yang telah wafat atau kedudukan mereka sebagai perantara.

Sesungguhnya Allah telah menunjukkan hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meminta tolong kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.

Firman-Nya, (yang artinya) :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)

Rasulullah saw. telah berwasiat kepada Abdullah ibnu Abbas ra. untuk hanya memohon pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Sabdanya,
“Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidji dan menshahihkannya dalam kitab Al-Qiyamah :59)
-------
Sebagian orang menyangka bahwa kubur para Nabi, wali dan orang-orang shalih memiliki keutamaan, sehingga mereka berduyun-duyun untuk beribadah di sana. Sedangkan syariat islam yang sempurna melarang kita menjadikan kubur sebagai tempat peribadahan.

Dalam Shahih Muslim tercantum riwayat dari Abdullah Bajli, katanya : “Saya dengar Rasulullah saw. bersabda lima hari sebelum beliau wafat :
“... dan orang-orang sebelum kamu biasa mengambil kuburan Nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai mesjid. Ingatlah, janganlah kamu mengambil kuburan untuk menjadi mesjid. Saya melarangmu dari demikian!”.
-------
Sebagian orang menyangka, cukup dengan ikhlas dalam ibadah maka ibadah akan diterima oleh Allah. Padahal islam tidak akan tegak kecuali dengan dua kalimat syahadat, Laa ilaaha illallah yang menuntut keikhlasan dan Muhammad rasulullah yang menuntut agar amal ibadah sesuai dengan yang beliau ajarkan.

Firman Allah (yang artinya) :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah...!” (QS. Ali Imran : 110)
“Sungguh pada diri Rasulullah (saw.) itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS.Al-Ahzab : 21)
-------
Dan masih banyak hal lain dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, ekonomi dan berbagai sisi kehidupan manusia, yang dianggap dari islam padahal agama ini berlepas diri darinya.

KEWAJIBAN KITA

Bila demikian keadaannya, maka sungguh kita harus benar-benar membersihkan aqidah, ibadah, muamalah dan seluruh sisi kehidupan kita dari seluruh noda-noda yang mengotori agama kita. Sehingga kita benar-benar akan kembali kepada islam yang murni, sesuai dengan yang dianut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Hal itu kita mulai dari diri kita, kita pelajari bagaimana cara beragama umat terbaik dan termulia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya. Kita teladani mereka dan kita tinggalkan segala hal yang bertentangan dengannya. Kemudian, kita dakwahkan agama yang telah murni dan bersih itu kepada masyarakat, kita didik anak cucu kita dengan berlandaskan kepadanya, kita dorong umat ini kepada kebaikan-kebaikan dan kita peringatkan mereka dari keburukan-keburukan yang ada, sebagaimana dahulu para rasul diutus sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.

Akhirnya, hanya kepada Allah kita memohon agar mengembalikan kemuliaan kaum muslimin sebagaimana dahulu mereka telah mulia.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan:
  1. Perpustakaan-Islam.Com, Abu_ubaidillah, ©copyleft 2001-2006.
  2. Akidah Mukmin, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2002.
  3. Fikih Sunnah Jilid 4, Sayyid Sabiq, Alma’arif Bandung, 1978.
  4. Menuju Generasi Ahli Zikir, Ahli Pikir, dan Ahli Ikhtiar, Abdullah Gymnastiar, Daarut Tauhiid Press Bandung, 1999.
  5. Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, Abdullah Gymnastiar, Gema Insani Press Jakarta, 2002.