16 April 2011

BID’AH MERUSAK KESEMPURNAAN ISLAM

Penyebab rusaknya agama samawi sebelum diutusnya Nabi Muhammad- shalallahu‘alaihi wassallam- adalah karena bid’ah yang dilakukan oleh umat sepeninggal Nabi atau Rasul mereka. Dimana mereka menambah atau mengubah sebagian pada ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka sehingga keaslian agama tersebut sudah tidak murni lagi. Oleh dari itulah para ulama dalam rangka menjaga kemurnian agama Islam menetapkan sebuah kaidah yang diambil dari intisari Alqur’an dan As-Sunnah yaitu “pada dasarnya ibadah itu haram sampai datang dalil yang menjelaskan”.

Islam agama yang sempurna, itu adalah salah satu cabang dari aqidah umat Islam. Hal ini telah ditetapkan dalam Alqur’an dan As-Sunnah, didalam Alqur’an Allah telah menjelaskan akan hal itu di dalam surat Al-Maidah [5] : 3, yang berbunyi :

“…pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agamamu…”

Imam Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsirnya : “Ini adalah nikmat Allah terbesar yang diberikan kepada ummat ini, sehingga tatkala Allah menyempurnakan agama me-reka, sehingga mereka tidak memerlukan agama yang lain, tidak pula Nabi yang lain selain Nabi mereka yaitu Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah menjadikan Beliau sebagai penutup para nabi dan mengutusnya untuk seluruh manusia dan jin. Sehingga tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, dan tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau syari’atkan”.

Dan perlu kita ketahui kesempurnaan Islam itu meliputi ushul dan furu’nya, jadi tidak boleh membuat suatu hukum di dalam agama baik itu menyangkut aqidah, ibadah atau tentang halal dan haram, kecuali dengan dalil baik itu dari Alqur’an ataupun dari AsSunnah. Jadi secara ringkasnya, tidak boleh seseorang berbicara tentang agama kecuali ia membawakan dalil yang jelas. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi :

“Tidaklah aku tinggalkan sesuatupun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitupula tidaklah aku tinggalkan se-suatupun dari larangan-larangan Allah kepada kalian, melainkan telah aku larang kalian darinya” (H.S.R Imam Asy-Syafi’i di dalam Ar-Risalah & Al Baihaqi).

Akan tetapi kesempurnaan Islam ini dapat menjadi tercemar bila para pemeluknya melakukan suatu tambahan yang diada-adakan terhadap agama ini. Oleh karena itu Nabi menyatakan bahwa tiap bid’ah itu sesat. Di dalam bahasa Arab kata (kullu) menunjukkan tiap jenis bukan sebagian, jadi ini membantah keyakinan sebagian umat Islam yang membenarkan adanya pembagian bid’ah, yaitu bid’ah hasanah dan sayyi’ah. Sungguh ini adalah tafsiran yang sangat jauh dari maksud perkataan Nabi, karena tidak ada riwayat dari para sahabat yang menafsirkan akan pembagian bid’ah tersebut. Nabi bersabda :

“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam agama kami ini yang tidak ada ke-terangannya, maka ia tertolak” (H.S.R Imam Bukhary & Imam Muslim dari Aisyah).

dan dalam riwayat Muslim :
Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak”.

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (H.S.R. An-Nasa-i).

Perlu kita ketahui juga, bahwa bid’ah yang dicela adalah dalam urusan agama bukan dalam masalah keduniaan. Oleh dari itu penyusunan mushaf Alqur’an dan munculnya cabang ilmu-ilmu agama bukan termasuk bid’ah yang dicela. Justru ini pada dasarnya adalah masalah keduniaan, karena tujuannya adalah menjaga keutuhan Alqur’an dan menjadi sebuah kunci bagi orang-orang awam untuk mengetahui Islam (dengan munculnya disiplin ilmu-ilmu Islam). Jadi, ini tidak menetapkan sebuah syari’at yang baru atau sebuah hukum. Adapun bid’ah yang dicela adalah ia pada hakikatnya seperti agama atau menye-rupai syari’at tetapi tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi dan tidak diamalkan oleh para shahabat beliau. Contohnya munculnya thariqat-thariqat yang ada di dalam sufi yang mana di sana terdapat ritual-ritual agama seperti zikir, puasa, shalat yang mana kesemuanya itu tidak dicontohkan Nabi. Se-perti maulid Nabi, ziarah secara berjamaah ke makam orang-orang shalih, mengadakan tahlilan dan lain sebagainya. Yang kesemua-nya itu tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi di masa hidupnya.

Sehingga para ulama mengatakan bahwa bid’ah itu pada hakikatnya mematikan sunnah Nabi, makin banyak bid’ah yang muncul maka makin banyak sunah-sunnah yang hilang. Oleh dari itu kita jarang sekali mendengar para pelaku bid’ah membawakan dalil secara jelas (yaitu hadits yang memiliki derajat shahih atau hasan) bahwa apa yang dibawakannya itu berdasarkan perintah dan pernah dicontohkan oleh Nabi. Makanya kita jarang sekali mendengar sunnah Nabi dalam hal kematian, kecuali pasti ditanggapi dengan tahlilan. Bila ditanya apakah ini merupakan sunnah Nabi, biasanya mereka akan menjawab inikan peninggalan wali songo jadi tidak mungkinlah mereka akan menyelisihi Nabi. Bila dasar ini menjadi sebuah jawaban, maka sungguh kita telah mengutamakan selain Nabi. Karena bila benar mereka tidak menyelisihi Nabi, lalu kenapa tidak kita dapati hadits yang shahih yang meriwayatkan tentang ritual tahlilan, sehingga kita dapat yakin bahwa Nabi juga pernah melakukannya. Apakah mungkin Nabi menyembunyikan sebagian syari’at Islam dan para shahabat beliau tidak mengetahui, lalu dengan berlalunya waktu para wali songo dapat mengetahui ?. Bukankah kita ini se-bagai pengikut Nabi, maka sepantasnyalah kita mengutamakan Belliau baik perkataan maupun perbuatan. Allah berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)


“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali Imran [3] : 31).

Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. Al Hujurat [49] :1).

Di sini saya akan membawakan perkataan para ulama salaf yang memberikan nasehat agar menjauhi bid’ah dan para pelakunya :

1. Abdullah bin Umar berkata : “Setiap bid’ah itu sesat meskipun manusia memandangnya baik”.

2. Abdullah bin Mas’ud berkata : “Hendaklah kalian mengikuti sunnah dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.

3. Imam Al-Auza-Iy berkata : “Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah tegak (istiqomah) sebagaimana para shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan salafus shalih karena akan mncukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka”.

4. Muhammad bin Sirin berkata : “Mereka berkata : jika ada seorang di atas sunnah, maka sesungguhnya dia berada di atas jalan yang lurus”.

5. Imam Ahmad berkata : “Prinisp Ahlus Sunnah berpegang dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat dan mengikuti jejak mereka, meninggalakan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Sebenarnya masih banyak perkataan para ulama salaf yang mengingatkan kita untuk selalu mengikuti sunnah dan meninggalkan bid’ah. Tapi ini sudah mencukupi. Yang penting bagi kita seberapa besar motivasi kita untuk mengamalkan sunnah Nabi kita dan menjauhi bid’ah dan para pelakunya yang menyeru kepada perbuatan bid’ah.

Sebab-Sebab Timbulnya Bid’ah :

Pada intinya kita sebagai umat Islam ha-nya menerima apa-apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, selama diperoleh dari dalil yang jelas lagi muhkam. Dan kita tidak boleh memberikan tambahan apapun pada apa yang telah ditetapkan syari’at. Sebagai contoh mudah. Shalat, adalah ibadah yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, ini adalah definisi yang diberikan Nabi Dari sini dapat kita ketahui bahwa bagi siapa yang ketika dia berdiri menghadap kiblat lalu ia bertakbir untuk shalat, maka ia sudah masuk dalam wilayah shalat. Lalu, kenapa ada sebagian dari umat Islam yang mengawali shalat dengan memulai bacaan ushalli atau nawaitu sebelum takbiratul ihram. Bukankah ini merupakan suatu tambahan yang tidak berasal dari Nabi. Oleh dari itu marilah kita renungkan, apakah selama ini kita beragama berdasarkan sunnah Nabi atau malah tidak. Karena sebagus apapun ibadah kita, tapi bila tidak se-suai sunnah maka ia tertolak, artinya ibadah kita tidak diterima oleh Allah. Sekali lagi kita tegaskan, intinya agama ini adalah taufiqiyah. Artinya kita tidak dapat menetapakan sesuatu dari agama ini, baik masalah aqidah, ibadah atau halal dan haram kecuali dengan ketetapan dalil.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai bahayanya bid’ah pada agama kita ini. Tulisan ini hanya sebagai moqaddimah saja untuk mengetahui akan bahaya bid’ah bagi agama kita (walaupun orang yang melakukannya mempunyai niat yang baik. Akan tetapi niat yang baik itu tidaklah cukup, harus di-iringi dengan perintah dan contoh dari Nabi). Dan tentunya pembahasan didalamnya tidak-lah mencukupi. Jika Anda ingin mengetahui akan seluk beluk bid’ah secara mendalam, maka saya menyarankan Anda untuk membaca kitab Al I’tisham karya Imam Asy-Syatibi.

Dan kepada suadara sekalian, marilah kita berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Nabi dengan terus mempelajari hadist-hadist Nabi yang shahih dan hasan serta menjauhi hadits-hadits yang dlaif, karena banyaknya bid’ah terkadang berasal dari hadits-hadits yang lemah. Ini adalah tugas dan kewajiban kita sebagai Thalabul Ilmi Syar’iy.

Sipengirim: Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar