Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk mencari ilmu, dimanapun berada, dan sampai kapanpun dia masih diberikan umur, karena ilmu adalah sebagai kunci membuka segala sesuatu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa yang melalui suatu jalan guna mencari ilmu pengetahuan, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke Jannah (surga),” (HR. Muslim).
“Barangsiapa yang melalui suatu jalan guna mencari ilmu pengetahuan, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke Jannah (surga),” (HR. Muslim).
Karena itu, menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun yang muda, baik ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain, maupun ilmu-ilmu yang menyangkut kemaslahatan umum yang hukumnya fardhu kifayah.
Jelaslah, bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib. Namun kadang-kadang kita tidak menyadari betapa pentingnya kedudukan ilmu. Kadang kita lebih mengutamakan harta ketimbang ilmu. Padahal, harta bisa habis bahkan dapat menjadi malapetaka bagi pemiliknya. Sebaliknya, ilmu akan bertambah terus. Pemilik harta harus terus menjaga hartanya. Sedangkan ilmu akan menjaga pemiliknya. Karenanya, ketika diminta memilih antara ilmu, kerajaan dan harta, Nabi Sulaiman menentukan pilihannya terhadap ilmu. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Nabi Sulaiman pernah diminta untuk memilih antara harta, kerajaan dan ilmu. Dia memilih ilmu, akhirnya dia diberi pula kerajaan dan harta benda.” (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad saw menyatakan, “Barangsiapa yang ingin sukses dalam kehidupan dunianya, hendaklah (dicapai) dengan ilmu. Barangsiapa yang ingin sukses (selamat) di akhirat, hendaklah dengan ilmu. Dan barangsiapa yang ingin sukses dalam kedua-keduanya (dunia dan akhirat), maka hendaklah pula dicapai de-ngan ilmu,” (HR. Muslim).
Wahai saudaraku kaum Muslimin! ja-nganlah kita menjadi orang yang jumud (enggan menuntut ilmu), atau merasa sudah cukup dengan ilmu yang telah didapatkan, kita harus sadar, bahwa setiap manusia diberikan jatah usia yang tidak diberi tahu sedikitpun berapa lama kita bertahan hidup di dunia ini. Ini berarti kita harus pandai memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Untuk itu, marilah kita menuntut ilmu sebanyak mungkin, dengan banyak belajar (membaca, menggali, memahami dan lebih-lebih bisa mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari), terutama terhadap ilmu-ilmu agama (ilmu tentang Dinul Islam), karena ilmu-ilmu ini sebagai dasar membina jiwa, membentengi diri dari sifat-sifat tercela, serta ilmu yang dapat mengantarkan kita ke Jannah (surga) dengan rahmat Allah SWT.
Ilmu adalah sarana paling kuat untuk memantapkan keber-agama-an seseorang, khususnya ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah swt berfirman:
“...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. ...” {QS Fathir (35) : 28}.
Ibnu Abbas RA berkata: “Ilmu adalah takut kepada Allah, sedangkan kebodohan tidak bisa diusir kecuali dengan ilmu, dan manusia adalah musuh bagi sesuatu yang tidak ia ketahui.”
Kebodohan terkadang dapat menjerumuskan manusia pada kesesatan yang tidak ia sadari, dan orang yang berilmu lebih ditakuti oleh setan daripada seratus orang ahli ibadah, maka bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu untuk menuntut ilmu, karena hal itu membantumu dalam menjalankan perintah Allah swt dan dalam berpegang teguh pada agama.
Islam memberikan pilihan kepada kaum Muslimin dalam perihal menuntut dan me-ngamalkan ilmu, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Jadilah kamu seorang pengajar atau yang belajar, atau yang suka mendengarkan (ilmu), atau mencintai ilmu, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, kamu pasti menjadi orang yang celaka,” (HR. Imam Baihaqi).
Yang dimaksud orang kelima dalam hadits tersebut adalah janganlah menjadi orang bodoh, yang akan celaka di dunia dan di akhirat kelak, karena kebodohan (jahil) itu adalah asal pokok segala keburukan, sehingga dapat menjerumuskan kepada kesesatan dan kejahatan. ‘Wal ‘iyadzu Billah.
Islam sangat menghargai ilmu. Sebaik-baiknya ibadah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah menuntut ilmu, Allah swt berfirman dalam al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. {QS. al-Mujadilah (58) : 11}.
Dalam surat Ali Imron ditegaskan, Allah swt memulai dengan diri-Nya lalu malaikat-Nya, dan kemudian orang-orang yang berilmu. Ini membuktikan bahwa Allah swt menghargai orang-orang yang berilmu.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu*) (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” {QS. Ali Imran (3) : 18}.
*) Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.
Rasulullah saw juga sangat menghargai orang yang berilmu. Bahkan Nabi saw lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah (satu suku).
“Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim,” (HR. Thabrani).
Seorang ‘alim juga lebih tinggi kedudukannya dari seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa tersesat karena kurangnya ilmu. Maka menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan, memiliki kedudukan tinggi serta merupakan ibadah yang istimewa. Berbicara tentang menuntut ilmu maka sesungguhnya hal itu tidak ada habisnya, dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim, karena ilmu pengetahuan dapat melenyapkan kebodohan serta kedzaliman dari dalam dirinya.
Wajib bagi seorang muslim untuk me-ngetahui tentang perkara-perkara agamanya agar ia dapat menyembah Allah swt dengan berdasarkan argumentasi (pendapat) dan ilmu, hendaklah ia memiliki keistimewaan mencintai ilmu dan mencintai orang-orang berilmu, mengerahkan segala kemampuan dan hartanya untuk mencapai ilmu, menjadikan orang-orang salafus shaleh (terdahulu yang shaleh) sebagai rujukan bagi dirinya untuk meneladani kecintaan mereka terhadap ilmu.
Agar ilmu bernilai pahala dan bermanfaat bagi pemiliknya, ia harus dicari dengan adab dan kesopanan. Ilmu ibarat pisau. Ia bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan.
Karenanya, bagi seorang muslim ketika hendak menuntut ilmu harus melandasinya dengan niat tulus karena Allah swt.
Dengan demikian, semua ilmu yang di dapat akan bernilai pahala. Niat yang tulus dalam menuntut ilmu juga bisa menjadi pemandu yang akan mengarahkan kemana si pemilik ilmu bergerak. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Ilmu itu harus bermanfaat bagi pemilik ilmu dan orang lain. Hal ini akan berpengaruh pada niat seseorang saat menuntut ilmu. Orang yang menuntut ilmu dengan harapan ilmunya akan bermanfaat bagi orang lain akan berusaha untuk mencari ilmu kebaikan.
2. Ilmu hanya akan memberikan manfaat kalau ia diajarkan pada orang lain. Inilah diantara makna sabda Rasulullah saw yang menyebutkan, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat,” (HR. Muslim). Karenanya, diantara tiga hal yang tetap mengalirkan pahala meski pelakunya sudah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat.
3. Selain itu, ilmu juga harus digunakan untuk membela syari’at Allah SWT, bukan untuk mengacak-acaknya seraya menuhankan akal. Harus dipahami bahwa akal itu ciptaan Allah SWT. Karenanya, akal itu terbatas dan harus tunduk dibawah “perintah” Sang Penciptanya.
Manusia hanyalah unsur kecil dari makhluk Allah SWT yang mempunyai beragam keterbatasan. Untuk itu, para penuntut ilmu tak layak menganggap dirinya dan akalnya berada di atas segalanya. Bahkan ia harus siap menerima perbedaan dan pendapat dari orang lain khususnya yang termasuk dalam area ijtihad, bukan pada persoalan aqidah.
4. Termasuk juga adab paling penting bagi penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang didapatnya atau lebih dikenal dengan tabayyun. Inilah tradisi yang diwariskan para ulama. Mereka tak mau begitu saja menerima ilmu yang mereka dapat. Bahkan, ada di antara mereka yang rela melakukan perjalanan panjang berbulan-bulan hanya untuk meneliti kebenaran suatu hadits. Dalam hal ini diperlukan kesabaran, tidak cepat bosan dan keluh kesah.
Referensi : Buletin al-Huda, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar