19 April 2011

Tugas Para Pendidik

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (٣٨)


Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. {Qs. Al-Muddatsir (74) : 38}.

Tanggungjawab Pendidikan.

Dalam pandangan Islam, Orang Tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Setiap orang tua memiliki tanggungjawab pendidikan. Tanggungjawab pendidikan itu sangat besar dan amanah yang dipikulkan di pundak ahlinya itu adalah besar pula. Jalan yang ditempuh para pendidik itu tidaklah mudah dan tugas ini tidaklah ringan.

Wahai para pendidik! Anda sekalian bekerja dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaan anda. Kemudian akan diberi penghargaan, karena pekerjaan itu dari –Allah, dari umat, dari sejarah dan dari generasi yang anda didik dengan baik. Jika anda berbuat baik, berarti anda berbuat baik untuk diri anda sendiri dan berhak mendapat anugerah yang besar dari Allah serta mendapat pujian dari sejarah dan ummat.

Sebaliknya, jika anda tidak memenuhi kewajiban anda, berarti anda telah berbuat buruk untuk diri anda dan umat. Dan mereka yang tidak memenuhi kewajibannya akan pulang dengan membawa penyesalan dan kepahitan yang dapat menghancurkan dirinya sendiri.

Itulah keadaan yang mana kita memohon perlindungan kepada Allah dari faktor-faktor yang menyebabkan dan mendekatkan sarana-sarana yang mengarah kepada keadaan yang buruk tersebut.

Sesungguhnya tugas mendidik anak-anak itu adalah amanah yang sangat berat, yang bila disia-siakan dapat menyebabkan kerugian tidak hanya di dunia ini tetapi kerugian hingga di akhirat kelak. Allah swt berfirman, yang artinya:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya....” {Qs. An-Nisa (4) : 58}. (Lihat pula Qs. Al-Ahzab (33) : 72}.

Pendidikan adalah pembentukan awal untuk anak-anak yang sedang tumbuh, yang pada prinsipnya ialah membangun masa depan mereka dalam kehidupan ini. Jika pembentukan ini berjalan baik, maka mereka layak buat umatnya dan untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, jika rusak, cacat, dan menyimpang, maka kehidupan generasi seluruhnya dibangun di atas pondasi yang rusak dan pengaruhnya sangat buruk pada umat ini. Dalam hal ini, keadaan primitif (ummiyah) lebih baik bagi umat tersebut dan lebih selamat akibatnya. Seorang bijak mengatakan: “apabila operasi membawa kerusakan, maka jelas itu kelalaian dokter. Jika pendidik melakukan kesalahan sekejap saja, akan datang lantaran tangannya, orang yang picik pandangan.

Tanggung jawab tersebut dipikulkan di pundak para pendidik yang mulia. Karena itu, hendaklah mereka melihat, sikap apakah yang dapat mereka perbuat secara maksimal di dalamnya, dan mengeratkan tali pinggangnya untuk menunaikan amanah itu secara benar. Mereka harus mengetahui bahwa para pendidik itu tidak lain adalah sedang membangun umat ini sebuah bangunan yang kokoh bagi generasi yang akan datang. Bangunan itu akan kuat, tidak akan rusak, tidak goyah oleh gempa dan sebagainya apabila pondasinya kuat dan kokoh. Oleh karena itu, maka tidak pantas bagi kita untuk lari dari tanggungjawab tersebut atau melemparkan tanggung jawab itu kepada selain kita.

Allamah Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi, dalam wasiatnya kepada para pendidik, mengatakan:

“Anda sekalian duduk dari singgasana pengajaran ke atas singgasana para raja. Rakyatnya adalah anak-anak umat. Karena itu, perlakukanlah mereka dengan kelemahlembutan dan kebaikan, dan naiklah bersama mereka dari fase kesempurnaan hingga ke fase yang lebih sempurna lagi dalam pendidikan. (Lihat Ad-Din Ash-Shahih yahullu jami’ al-Masyakil, Syaikh Ibnu Sa’di, hal. 20).

Dari yang diutarakan di atas, hal yang perlu diingatkan bagi kita adalah, bahwa tanggungjawab pendidikan dan pengajaran tidak hanya berada di atas pundak pengajar (guru) saja. Akan tetapi meliputi seluruh pendidik, orang tua, guru, orang dewasa dan para pendidik.

Senantiasa Bertaqwa dalam setiap keadaan.

Taqwa adalah bekal yang sangat berguna, bekal ini akan menjadi penolong bagi pelakunya di saat-saat kritis dan di kala terjadi musibah.

Ketaqwaan adalah tempat mendapatkan kegembiraan dan ketentraman, mendapatkan kesabaran dan ketenangan. Taqwalah yang meneguhkan hati dalam menghadapi berbagai ujian.
Betapa perlunya kita menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi segala tindak tanduk kita, baik ucapan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi atau yang nyata.

Keteladanan

Seorang pendidik harus senantiasa memiliki karakter yang mulia, yaitu akhlak dan amal perbuatan yang baik.

Seorang pendidik dapat mendidik murid-muridnya dengan sifat-sifat utama, jika diamalkan, maka ia akan berkembang, semakin kokoh dan banyak berkahnya. Jika amal ditinggalkan, maka hilanglah keberkahan ilmu tersebut, bahkan mungkin akan menjadi malapetaka bagi pemiliknya. Ruh, kehidupan dan tegaknya ilmu hanyalah dengan mengamalkannya; sebab kemuliaan ilmu tidak didapatkan melainkan apabila ia telah menumbuhkan hal-hal yang dapat dipuji, memberikan kebahagiaan dan membuahkan amal yang bermanfaat.

Berkaitan dengan hal di atas, Allah SWT berfirman, yang artinya: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. ...” {Qs. Al-Jumu’ah (62) : 5}.

Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT –dengan gaya bahasa yang mendalam—mencela orangorang yang mempelajari Taurat dan membacanya tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka diperumpamakan seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal dalam hal kekosongan mereka dari keistimewaan dan ketiadaan hak mereka untuk masuk dalam rombongan para ulama; sebab ternyata tidak ada bedanya antara mereka yang membawa kitab-kitab hikmah di atas pundaknya dengan mereka yang meletakkannya di dalam hatinya atau otaknya, apabila mereka memalingkan wajahnya dari mengamalkannya.

Celaan itu juga berlaku bagi setiap orang yang menghafal suatu ilmu tetapi tidak menyelaraskannya dalam bentuk pengamalan yang selaras dengannya.

Senada dengan yang dikemukakan di atas, Khatib al-Baghdady mengatakan: “ilmu itu ibarat pohon dan amal itu buahnya. Bukanlah termasuk alim orang yang tidak mengamalkan ilmunya.” (Iqtidha’ al-Ilm al-Amal, Khatib al- Baghdadi, hal.14).

Syaikh Muhammad al-Basyir al-Ibrahim mengatakan:
Jadilah kalian sebagai tauladan yang baik bagi murid-muridmu dalam perbuatan dan perkataan. Mereka tidak melihat dari kalian kecuali amal yang shalih dan mereka tidak mendengar dari kalian kecuali perkataan yang benar. Sesungguhnya dusta dalam amal perbuatan itu lebih berbahaya bagi pelakunya dan umatnya daripada berdusta dalam ucapan; sebab ucapan yang dusta adakalanya dapat ditutupi, adapun perbuatan yang dusta tidak mungkin dapat ditutupi.”(Atsar asy-Syaikh Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi, 3/163).

Allah swt senantiasa mengancam orang-orang yang mengetahui tetapi tidak pernah mengamalkannya.

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kebencian di sisi Allah, bila kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” {Qs. Ash-Shaff (61) : 2-3}.

Ibnu Hazm berkata: “Wajib atas manusia belajar kebajikan dan mengamalkannya. Barangsiapa yang telah menghimpun keduanya, maka ia memperoleh dua keutamaan sekalitgus. Barangsiapa yang mengetahuinya tapi tidak mengamalkannya, maka ia telah berbuat baik dalam hal mengajarkan dan berbuat buruk dalam hal tidak mengamalkannya, tapi ia mencampur-adukkan antara amalan yang baik dengan amalan yang buruk”. Lebih jauh beliau menuturkan; ”Seandainya yang boleh mencegah keburukan hanyalah orang yang tidak mempunyai keburukan dan yang boleh memerintahkan kepada kebaikan hanyalah orang yang telah mengamalkannya, niscaya tidak ada seorangpun yang mencegah keburukan dan tidak ada yang menyuruh berbuat kebajikan sepeninggal Nabi.

Cukuplah anda menilai orang yang berpendapat seperti ini sebagai orang yang rusak, buruk tabiatnya dan buruk perbuatannya.” (Akhlak wa as-Siyar, hal. 92).

Amanah Ilmiah

Amanah ilmiah adalah perhiasan ilmu dan ruhnya yang membuatnya bersih dan rasa buahnya lezat. Tugas seorang pendidik adalah mengajar, membimbing dan mengarahkan kepada kedewasaan, kesadaran dan peningkatan keilmuannya.

Karena itu, seorang pendidik harus memegang teguh amanah ilmiah. Jika ia ditanya tentang apa yang diketahuinya, maka ia harus menjawab, menjelaskan dengan benar serta penuh amanah. Dan apabila ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, maka ia tidak ada salahnya berterus terang dengan menjawabnya; “Saya tidak tahu” atau “Saya akan mempelajarinya dahulu”. Hal ini tidak akan mengurangi kehormatan dirinya di hadapan murid-muridnya, daripada dia menjelaskan permasalahan yang dia sendiri belum mengetahui ilmunya. Hal ini lebih selamat dan tidak menyesatkan bagi penanya.

Seorang pendidik adakalanya mengalami suatu keadaan yang ia lihat bahwa mengakui ketidaktahuan dapat menghilangkan sikap hormat penanyanya kepadanya, sehingga ia berada diantara kebimbangan dan dorongan. Keutamaan amanah yang mengajaknya untuk mengatakan “Saya tidak tahu” dan keinginannya supaya sikap hormat kepadanya masih tetap ada dalam jiwa orang yang menanyakannya, tidak berkurang, yang mendorongnya untuk memberikan jawaban secara tidak benar.

Dalam keadaan seperti itu, akan nampak jelas sejauh mana kadar hubungan pendidik dengan amanah ilmiah. Jika hubungan tersebut kuat dan tidak goyah diterpa badai maka ia memenuhi panggilan amanah itu dan ia yakin bahwa pengormatan sejati terletak pada sikap berhenti pada batas-batas yang wajar dan logis.

Demikianlah, dan sikap diam manusia mengenai apa yang tidak diketahuinya serta kembali kepada kebenaran, apabila Nampak jelas terdapat banyak faedah. Tentang hal ini Allah
SWT berfirman, yang artinya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” {Qs. Al-Isra’ (17) : 36}.

Oleh karena itulah, amanah ilmiah yang membawa para pembesar ahli ilmu untuk memaklumkan kepada khalayak tentang ruju’ mereka dari banyak ijtihad dan penuh kehati-hatiannya dalam memutuskan suatu masalah.

Demikianlah ahli ilmu yang bermoral apabila ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, maka ia tidak segan untuk mengatakan “Saya tidak tahu”. Inilah salah satu sikap mulia ahli ilmu.

Referensi :

  1. Bulletin AHSANAH, edisi: april 2006 (No. 32/ Rabi’ul Awal / 1427 H).
  2. Ad-Din Ash-Shahih yahullu jami’ al-Masyakil, Syaikh Ibnu Sa’di, hal. 20.
  3. Iqtidha’ al-Ilm al-Amal, Khatib al-Baghdadi, hal.14.
  4. Atsar asy-Syaikh Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi, 3/163.
  5. Akhlak wa as-Siyar, hal. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar