31 Oktober 2013

Perbuatan Yang Dimakruhkan Dalam Shalat


1.   Melakukan gerakan pada pakaian atau badan tanpa hajat.
Dari Mu'aiqib bahwa Nabi bersabda tentang seorang sahabat (yang) meratakan tanah (tempat sujudnya) ketika sujud, "Jika engkau (terpaksa) rnelakukannya, rnaka cukup satu kali saja." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 79 no: 1207, Muslim I: 388 no: 49 dan 546, ‘Aunul Ma'bud III: 223 no: 934, Tirmidzi 1: 235 no: 377 Ibnu Majah I: 327 no: 1026, dan Nasa'i III: 7) 

2. Berkacak pinggang, yaitu mushalli meletakkan tangannya di pinggang (‘malangkerik')
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Telah dilarang seseorang shalat dengan berkacak pinggang." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 88 no: 1220, Muslim 1: 387 no: 545, ‘Aunul Ma'bud III: 223 no: 94, Tirmidzi 1: 237 no: 381, dan Nasa'i II: 127). 

3.   Mengangkat pandangan ke langit
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Hendaklah benar-benar berhenti kaum-kaum yang sering mengarahkan penglihatan ketika berdoa dalam shalat ke arah langit, atau (jika tidak berhenti) penglihatan mereka benar-benar akan disambar (petir)." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:343, Muslim I:321 no:429, Nasa'i III:39). 

4.   Menoleh tanpa keperluan 
Dari Aisyah r.a. berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. menoleh dalam shalat, maka beliau bersabda, "Itu adalah penipuan/ pencopetan yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:7047, Fathul Bari II:234 no:751, ‘Aunul Ma'bud III: 178 no:897, Dan Nasa'i III:8). 

5.   Melihat ke Sesuatu yang Melakukan
Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah shalat dengan memakai pakaian bergaris-garis, lalu beliau berkata, "Gambar-gambar ini telah membuat (pikiran) ku terganggu. Hendaklah kalian bawa pergi pakaian ini kepada Abu Jahm dan datangkanlah untukku Anbi janiyah (jenis pakaian)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:2066, Fathul Bari II: 234 no:752, Muslim I:391 no:556, ‘Aunul Ma'bud III:182 no:901, Nasa'i II:72, dan Ibnu Majah II: 1172 no:3550). 

Anbijaniyah adalah pakaian tebal yang tidak bergambar, polos. Orang Arab mengatakan "Kabsy Anbija-i adalah kambing yang berbulu tebal, maka pakaian anbija-i juga demikian adalah pakaian yang tebal. Lihat Al-Fathur Rabbani I:482." 

6. Melabuhkan Pakaian dan Menutup Mulut
"Dan Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. telah mencegah (umatnya) mengulurkan pakaian hingga menyapu tanah dan melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat ‘(dengan sesuatu)." (Hasan: Halaman 215 Shahih Ibnu Majah 966, ‘Aunul Ma'bud II: 347 no: 629 danTirmidzi I: 234 no: 376 kalimat pertama saja, dan Ibnu Majah I: 310 no: 966 kalimat kedua saja)  

Dalam ‘Aunul Ma'bud Syamsul Haqq II: 347 menulis bahwa al-Khaththabi menegaskan, "as-Sadl" ialah mengulurkan pakaian hingga menyapu tanah."  

Dalam Nailul authar asy-Syaukani mengatakan bahwa Abu Ubaidah dalam kitab Gharibnya berkata, as-Sadl ialah seorang lelaki yang melabuhkan pakaiannya tanpa menumpukkan kedua bagian sampingnya di hadapannya. Jika menumpukkan keduanya, Tidak disebut as-sadl." Penulis An-Nihayah menegaskan "As-Sadl ialah seorang yang berselimut dengan jubahnya dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam, lalu ia ruku' dan sujud dalam kondisi jubahnya dikenakan seperti itu. Dan ini biasanya dilakukan pada gamis dan lainnya yang termasuk jubah. Ada yang berpendapat, yaitu seseorang meletakkan bagian tengah dan kain di atas kepalanya dan mengulurkan dua ujungnya kesebelah kanannya dan ke sebelah kirinya tanpa meletakkan keduanya di atas bahunya." Al-Jauhari berkata, "SADALA TSAUBAHU YASDULUHU BIDHAMMI SADLAN, yaitu menurunkan (mengulurkan) pakaian. Dan, tiada halangan untuk mengartikan hadits ini dengan seluruh arti-arti ini, karena kata as-Sadl memiliki beberapa arti tersebut, dan mengartikan lafadz musytarak (mempunyai lebih dan satu ma'na, edt.) dengan semua ma'na adalah pendapat yang kuat." Selesai. 

7.   Menguap
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Menguap dalam shalat dari syaitan; karena itu, bila seseorang diantara kamu menguap, maka tahanlah semampunya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 3031, ‘Firmidzi I: 230 no: 368 dan Shahih Ibnu Khuzaimah II: 61 no: 920).  

8.   Meludah ke arah Kiblat atau ke sebelah Kanan, ini juga makruh/ dibenci oleh Alloh swt
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya apabila seseorang di antara kamu mengerjakan shalat, maka sejatinya Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi berada di hadapannya, karena itu janganlah sekali-kali meludah ke hadapannya dan jangan (pula) ke sebelah kanannya. Dan hendaklah meludah ke sebelah kirinya. Kalau itu terjadi dengan mendadak, maka tahanlah dengan pakaiannya begini!" Kemudian beliau melipat pakaiannya sebagian atas sebagian yang lain." (Shahih: Muslim IV no: 2303 dan 3008 dan ‘Aunul Ma'bud II: 144 no: 477). 

9.   Saling mencengkeram kedua tangan hingga menyatu:
Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seseorang di antara kamu berwudhu' di rumahnya, lalu datang ke masjid. Maka ia dianggap dalam shalat hingga pulang (dan masjid). Oleh karena itu, janganlah ia berbuat begini. Dan, beliau saling mencengkeram kedua jari-jari tangannya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 445 dan Mustadrak Hakim I: 206). 

10. Menyingkirkan Rambut dan Pakaian. 
Dari Ibnu Abbas r.a.  berkata, "Saya diperintah sujud di atas tujuh anggota (badan), dan saya dilarang menyingkirkan rambut dan pakaian (dan dahi)." (Shahih: FathulBarill: 297 no: 812, Musliml: 354no: 23Odan 490, dan Nasa'i II: 209) 

11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika hendak sujud.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw., "Apabila seorang di antara kamu sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya unta; namun letakkanlah kedua tangannya sebelum kedua lututnya!" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 746, ‘Aunul Ma'bud III: 70 no: 825, Nasa'i II: 207, dan Al-Fathur Rabbani III: 276 no: 656). 

12. Merenggangkan kedua tangan dalam sujud.
Dari Anas r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, "Bertindak tepat dalam sujud dan janganlah seseorang di antara kamu menghamparkan (merenggangkan) kedua hastanya seperti yang dilakukan anjing." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 301 no 822, Muslim I: 355 no: 493, Tirmidzi I: 172 no: 275, ‘Aunul Ma'bud III: 166 no: 883, Ibnu Majah I: 288 no: 892 dan Nasa'I II: 212 sema'na) 

13. Shalat di dekat hidangan makanan, atau menahan kencing atau buang air besar:
Dari Aisyah r.a., ia berkata saya mendengar Nabi saw. bersabda, "Tidak (sempurna) shalat didekat hidangan makan dan tidak (pula sempurna shalat) orang yang didorong oleh ingin kencing dan ingin buang air besar." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:7509, Muslim I:393 no: 560 dan ‘Aunul Ma'bud I:160 no:89) 

14. Mendahului gerakan Imam:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Tidakkah seorang di antara kamu merasa khawatir bila mengangkat kepalanya sebelum imam (mengangkatnya) Allah akan menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai atau Allah membentuk raut wajahnya sebagai wajah keledai." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II:182 no:691 dan ini Lafadz baginya, Muslim I:320 no:427, ‘Aunul Ma'bud II:330 no:609, Nasa'i II:69 dan Ibnu Majah I:308 no:961).  


Sumber:       
-  http://alislamu.com Sabtu, 03 Maret 2007 07:00, Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 172 - 225. Dan Kitab Shifatus Shalatin Nabi saw. oleh Syaikh al-Albani


Bagaimana Hukumnya Shalat Di Masjid Yang Di Dalamnya Ada Kuburan?


Jawaban:
Shalat di masjid di dalamnya ada kuburan dibagi menjadi dua macam:

Pertama, kuburan itu lebih dulu ada daripada masjid, sehingga masjid itu dibangun di atas kuburan, maka yang harus dilakukan adalah menjauhi masjid itu dan tidak shalat di dalamnya. Disarankan kepada orang yang membangunnya agar segera menghancurkannya kembali (menghancurkan masjid itu dan memindahkannya ketempat lain). Jika tidak mau melakukannya, maka pemerintah bertanggung jawab untuk menghancurkannya.

Kedua, masjid itu lebih dulu adanya daripada kuburan, sehingga mayat itu dikubur di dalamnya setelah masjid dibangun. Maka yang harus dilakukan adalah menggali kuburan itu dan mengeluarkan mayat itu dari masjid, lalu dipindahkan atau dikubur bersama manusia lainnya, (inilah fungsi dari diadakannya pemakaman umum. Catatan: pemakaman orang islam tidak boleh dicampur dengan kuburan orang kafir-red)

Sedangkan mengenai masjidnya, boleh shalat di dalamnya dengan syarat kuburan itu tidak ada di depan orang yang shalat (tidak terlihat-red), karena Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam melarang shalat yang menghadap ke kuburan. (dan kuburan itu berada diluar pekarangan masjid dan ada pembatasnya dibatasi dengan tembok, pagar, atau jalan raya, maka diperbolehkan sholat di dalam masjid tersebut- red)

Sedangkan kuburan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam yang ada di dalam masjid An-Nabawi (karena mengalami perluasan masjid -red), diketahui bersama bahwa Masjid An-Nabawi dibangun lebih dahulu sebelum beliau meninggal dan masjid itu tidak dibangun di atas kuburan. (sedangkan setiap para nabi dan rosul, jika mereka meninggal dunia, maka jasad mereka dikuburkan ditempat mereka wafat). Kita ketahui bersama bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak dikubur di dalam masjid, tetapi dikubur di rumahnya yang terpisah dari masjid. 

Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, dia mengirimkan perintah kepada amirnya di Madinah, yaitu Umar bin Abdul Aziz pada tahun 88 Hijriyah, agar menghancurkan Masjid An-Nabawi dan menambahkan kepadanya kamar isteri-isteri Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Lalu Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan manusia dan para fuqaha' serta membacakan surat Amirul Mukminin Al-Walid kepada mereka. Tetapi hal itu berat bagi mereka hingga mereka berkata, "Kita biarkan kamar itu apa adanya sebagai pelajaran." Diceritakan bahwa Sa'id bin Al-Musib menolak memasukkan kamar Aisyah itu ke dalam masjid, seakan-akan beliau takut, jangan-jangan kuburan itu dijadikan masjid. Lalu Umar mengirim jawaban kepada Al-Walid dan Al-Walid memerintahkan agar usulan itu dilaksakan. Maka tidak ada jalan lain bagi Umar kecuali melaksanakannya. Maka Anda melihat sendiri bahwa kuburan Nabi tidak diletakkan di dalam masjid dan tidak pula dibangun masjid di atasnya, sehingga tidak ada hujjah di dalamnya untuk menyatakan bolehnya mengubur mayit di dalam masjid atau membangun masjid di atas kuburan. Telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda,

"Allah telah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat untuk beribadah." (Diriwayatkan Al-Bukhori) Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Masajid, bab "Ash-Shalah fi Al-Bai'ah", dan Muslim kitab Al-Masajid, bab "An-Nahyu 'An Binai Al-Masajid 'Ala Al-Qubur".

Beliau mengucapkan sabdanya itu ketika menjelang ajalnya untuk mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap apa yang dilakukan oleh mereka. Ketika Ummu Salmah Radhiyallahu Anha menceritakan kepada beliau tentang gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah, yang di dalamnya ada gambar-gambar, beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka yaitu penduduk Ethiopia mempunyai kebiasaan apabila ada salah seorang lelaki yang shalih dari kalangan mereka meninggal dunia, maka mereka akan mendirikan sebuah masjid di atas kuburnya dan mereka juga membuat beberapa gambar. Mereka adalah sejahat-jahat makhluk di sisi Allah pada Hari Kiamat kelak." (Diriwayatkan Muttafaq 'Alaihi). Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Janaiz, bab "Binau Al-Masjid 'Ala Al-Qabr, dan Muslim, kitab Al-Masajid, bab "An-Nahyu 'An Binai Al-Masajid 'Ala Al-Qubur".

Dalam riwayat lain disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya sejahat-jahat manusia yang kalian ketahui pada saat ini dan mereka masih hidup adalah orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah." (Diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad jayyid, I, 405, 435)

Seorang Mukmin tidak rela menempuh jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta menjadi sejahat-jahat makhluk. 

 ( Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Dikeluarkan pada tanggal 7/4/1414 H )


Sumber
-          www.hasmi.org , Posted on 10 Maret 2011 in Budaya Munkar
-          http://alislamu.com/ibadah/.... Rabu, 08 April 2009, 08:11, (Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Oleh: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 318 ) 


Ketika Kuburan Dikeramatkan


“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur-kubur sebagai masjid… Ingatlah janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal ini.”
(HR. Muslim, an-Nasai, Ibnu Hibban, dan Abu 'Awanah dari Jundub bin Junadah).

Dalam fakta sejarah, paganisme merupakan agama sesat pertama yang dianut oleh manusia, hal itu bermula saat mereka mengkultuskan para tokoh yang sudah wafat. Mereka mengangkat orang-orang sholeh untuk dijadikan panutan, yang kemudian dicintai, diikuti dan dihormati. Karena jauhnya mereka dari tuntunan yang benar, penghormatan dan kecintaan yang sangat tersebut tidak terbatas pada saat mereka hidup saja, tetapi terus berlanjut ketika para tokoh itu meninggal. Melalui hembusan setan, mereka membuat lukisan yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai pengenang jasa-jasa yang telah mereka lakukan, namun beberapa abad selanjutnya, setelah generasi demi generasi berganti, setan mulai menggiring mereka untuk membuat patung para tokoh tersebut dan membisikkan kepada generasi baru tersebut bahwa, “Dahulu, nenek moyang kalian menyembah patung-patung ini”. Maka lahirlah agama paganisme itu… hingga saat ini.

Kini, seiring bertambah majunya teknologi, pengetahuan dan eksplorasi akal yang sedemikian rupa, bukannya semakin hilang agama paganis, namun justu semakin bertambah dan bahkan semakin banyak bentuk dan coraknya.

Hal itu bisa kita lihat dari salah satu fenomena, dimana sebagian ummat manusia sudah tidak membuat patung sesembahan lagi, mereka mengganti bentuknya dengan mengeramatkan (memuliakan) makam orang-orang tertentu yang mereka anggap wali atau orang suci lainnya. Tragisnya, hal itu banyak menimpa mereka yang mengaku beragama Islam. Mereka menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai tempat beribadah, seperti sholat, berdo'a, bernadzar, shodaqoh, i'tikaf, thowaf dan lain sebagainya. Bahkan seorang kuburiy -sebutan untuk penyembah kuburan- berkeyakinan bahwa mengunjungi makam wali sama dengan mendapatkan kenikmatan dunia dan akhirat. Selain itu mereka juga menyamakan makam wali dengan Baitullah al-Haram (Ka’bah). Ini semua jelas bertentangan dengan syari'at Islam dan kalau kita lihat hadits-hadits Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam, dapat diketahui bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat keras sikapnya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Alloh di sisi kuburan orang sholeh.

Kalau beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala di sisi kubur saja, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut. Diantara hadits yang menyebutkan hal tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, dari 'Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu Anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) menceritakan kepada Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang gereja dengan berbagai lukisan di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

“Mereka itu, apabila ada orang yang sholih -atau hamba yang sholih- meninggal di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah, dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di sisi Alloh.”

Para ulama telah bersepakat bahwa shalat di masyahid (masjid yang berada di atas kubur) tidaklah diperintahkan sama sekali baik dengan perintah wajib atau pun sunnah.

Barangsiapa meyakini bahwa ibadah di sisi kuburan lebih memiliki keutamaan dari tempat lainnya atau lebih utama, maka dia telah menyelisihi jama’ah kaum muslimin dan telah menyelisihi agama ini. Bahkan yang diyakini oleh umat ini bahwa sholat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah sesuatu yang terlarang dengan larangan haram. Larangan ini terjadi karena di sana terdapat tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang musyrik dan inilah asal penyembahan berhala.

Ini adalah awal petaka yang menimpa ummat-ummat terdahulu. Dan hal inilah yang sekarang menimpa ummat ini, serta yang paling urgen bahwa ini adalah suatu bencana yang tidak boleh didiamkan terutama oleh para da’i yang tahu betul akan kerusakan ummat ini. Tentunya kita sebagai ummat terbaik yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang munkar, seyogyanya tidak berpangku tangan dan acuh tak acuh terhadap realita ummat ini. Ingatlah firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala dalam surat al-Anfal ayat 25:

"Dan peliharalah diri kalian dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zholim saja di antara kalian, dan ketahuilah bahwa Alloh amat keras siksaan-Nya". (Hasan Abu Zaid). ( www.hasmi.org )

30 Oktober 2013

Air Salamun dalam "Rebo Wekasan"


 “Astagfirullah wa natubu ilaihi”. Kejahilan dan hawa nafsu sungguh telah mendominasi akal sehat sebagian penduduk Negeri Pertiwi ini. Sehingga kesyirikan dan kesalahan dalam ta’abbudi seorang hamba telah berada di jurang kenistaan jahannam.

Ritual “Rebo Wekasan”, telah menjadi ritual besar yang dikemas dalam bentuk kirab budaya dan diakhiri dengan pembagian air salamun (Air Keselamatan). Sehingga ada warga desa menggelar acara tersebut pada Selasa sore, Pertanda bahwa hari itu adalah hari “Rabu” terakhir di bulan Safar dengan membagi-bagikan (memperebutkan) air Salamun tersebut.

Kirab berlangsung sejauh 2 kilometer dari lapangan dan berakhir di Masjid. Kirab itu mengusung aneka potensi Desa, terutama hasil pertanian dan kerajinan bambu. (ini kata mereka)

Parahnya, mereka berpandangan bahwa ritual seperti ini merupakan pelestarian tradisi syiar Islam yang dilakukan seorang ulama bernama Ndoro Ali pada 1925. Dalam syiarnya, Ndoro Ali membagi-bagikan air salamun yang bersumber dari sumur kuno Masjid Al Makmur, Kudus

Konon, sumur itu muncul setelah Sunan Kudus menancapkan tongkat di sekitar masjid. Hal itu terjadi bersamaan ketika Aryo Penangsang membangun Masjid Al Makmur.

“Disebut air salamun karena air itu diyakini bertuah dan menjadi sarana menangkal bala atau ancaman marabahaya. Salamun berasal dari kata ‘salam’ yang berarti ‘selamat’,” jelas Kepala Seksi Promosi Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Mutrikah. 

Hal ini menjadi suatu bentuk kesyirikan, sebab mereka mengkramatkan (‘memuliakan’) air tersebut dan meyakini Bahwa air Salamun tersebut dapat menjadi sarana menangkal bala atau ancaman marabahaya. (Admin-HASMI/kom).