23 April 2011

Menanamkan Pondasi Aqidah yang Kokoh Sejak Usia Dini

Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam bahwa Rosululloh Muhammad saw adalah figur guru/pengajar yang terbaik. Sehingga metode Rosululloh saw dalam menanamkan keyakinan aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.

Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral anaknya, para pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta didiknya, patut-lah kita menengok kembali bagaimana Rosululloh saw memberikan contoh peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu beliau yang masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas ra.

Bukti sejarah memaparkan keunggulan metode pengajaran Rosululloh saw tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan berilmu seperti Ibnu Abbas ra. Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama’ di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli tafsir, sekaligus seorang panutan yang menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara’, taqwa, dan perasaan takut hanya kepada Alloh swt semata.

Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas ra yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari. Beliau adalah seseorang yang dido’akan oleh Rosululloh saw:

“Wahai Alloh, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta’wil (ilmu tafsir Al Quran)”. Beliau pula yang dua kali dido’akan Rosululloh saw supaya dianugerahi hikmah oleh Alloh swt. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya do’a Rosululloh saw, manusia yang paling bertaqwa di sisi Alloh swt.

Mari kitak simak salah satu metode pe-ngajaran agung itu, untuk selanjutnya kita gunakan pula dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan bimbingan Alloh swt. Disebutkan dalam suatu hadits:

Dari Ibnu Abbas ra: “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Alloh, niscaya Alloh akan menjagamu… Jagalah Alloh, niscaya engkau akan dapati Alloh di hadapanmu… Jika engkau memohon, mohonlah kepada Alloh… Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Alloh… Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Alloh (akan bermanfaat bagimu)… Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Alloh (akan sampai dan mencelakakanmu)… Pena telah diangkat… dan telah kering lembaran-lembaran…(ha-dits riwayat Tirmidzi, Hasan, shahih).

Inilah salah satu wasiat Rosululloh saw yang mewarnai kalbu Ibnu Abbas ra, menghujam dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Alloh swt. Kita juga melihat bagaimana metode dakwah Rosululloh saw, hal pertama kali yang ditanamkan adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya di hadapan Alloh swt. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya untuk menghamba hanya kepada Alloh swt. Tidaklah Rosululloh saw mendahulukan sesuatu sebelum masalah tauhid diajarkan. Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Alloh swt, maka dia harus ‘menjaga’ Alloh swt. Makna perkataan Rosululloh saw: “Jagalah Alloh, niscaya Alloh akan menjagamu…” dijelaskan oleh seorang Ulama’ bernama Ibnu Daqiqiel ‘Ied: “Jadilah engkau orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari (mengerjakan) larangan-larangan-Nya”. (Syarah al-Arba’in hadits an-nawawiyah).

Kita jaga batasan-batasan Alloh swt dan tidak melampauinya. Batasan-batasan itu adalah syariat Alloh swt, penentuan hukum halal dan haram dari Alloh swt, yang memang hanya Alloh swt sajalah yang berhak menetapkan hukum tersebut, {Lihat Qs.Yusuf (12) : 40}.

Alloh swt mencela orang-orang yang melampaui batasan-batasan-Nya: (Artinya):

“…Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Alloh mereka Itulah orang-orang yang zalim.” {Qs. Al-Baqarah (2) :229}.

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan: “Batasan itu terbagi dua, yaitu: batasan perintah (untuk) dikerjakan dan batasan larangan (untuk) di-tinggalkan. Rosululloh saw dalam hadits ini memberikan sinyalemen bahwa barangsiapa yang senantiasa menjaga batasan-batasan Alloh swt itu maka dia akan senantiasa dalam penjagaan Alloh swt. Maka siapakah lagi yang lebih baik penjagaannya selain Alloh swt? sesungguhnya Alloh swt adalah sebaik-baik penjaga.{lihat Qs. Al-Anfaal (8) : 40}.

Syaikh Abdirrahman bin Naashir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan: “... Alloh-lah yang memelihara hamba-hambanya yang mu’min, dan menyampaikan pada mereka (segala) kebaikan/mashlahat, dan memudahkan bagi mereka manfaat-manfaat Dien maupun kehidupan dunianya, dan Alloh yang menolong dan melindungi mereka dari makar orang-orang fujjar, dan permusuhan secara terang-terangan dari orang-orang yang jelek akhlaq dan Diennya. (Kitab Taisiril Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan).

Makna perkataan Rosul “Jagalah Alloh, niscaya engkau akan dapati Alloh di hadapanmu…”.

Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, menjelaskan makna hadits tersebut:

“Jagalah batasan-batasan Alloh dan perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada”.

“Jika engkau memohon, memohonlah kepada Alloh, jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Alloh”. Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang selalu kita ulang-ulang dalam sholat. {Lihat Qs. Al-Fatihah (1) : 5}.

Kalimat yang sering kita ulang-ulang dalam munajat kita dengan Penguasa seluruh dunia ini, akankah benar-benar membekas dan mewarnai kehidupan kita? Sudahkah kita benar-benar menjiwai makna pernyataan ini sehingga terminal keluhan dan pelarian kita yang terakhir adalah Dia Yang Berkuasa atas segala sesuatu? Demikianlah yang seharusnya.

Di saat kita meyakini ada titik tertentu, sebagai batas semua makhluk siapapun dia, tidak akan mampu mengatasinya, pulanglah kita pada tempat kita berasal dan tempat kita kembali. Apakah dengan penguakan kesadaran yang paling dalam ini kita masih rela berbagi permintaan tolong kita yang sebenarnya hanya Alloh swt saja yang mampu, kepada makhluk selain-Nya?

Sungguh hal itu merupakan bentuk kedzaliman yang paling besar. Alloh swt mengabadikan salah satu bentuk nasihat mulya yang akan senantiasa dikenang :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)


“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Alloh, Sesungguhnya mempersekutukan (Alloh) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” {Qs.Luqman (31) : 13}.

Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Alloh swt saja yang mampu memenuhinya, seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang semisalnya, kepada selain Alloh swt adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta tolong dalam permasalahan yang manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Alloh swt untuk memenuhinya, seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan dan semisalnya. ----

“Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Alloh (akan bermanfaat bagimu)…” Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Alloh (akan sampai dan mencelakakanmu)… Dua bait ucapan Rosululloh saw ini mempertegas dan memberikan argumen yang pasti bahwa Alloh swt sajalah yang berhak dijadikan tempat bergantung, meminta pertolongan, karena hanya Ia saja yang bisa menentukan kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu makhluk.

Rosululloh saw juga mengajarkan kepada kita dzikir seusai sholat yang menguatkan pengakuan itu:

“…Wahai Alloh tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah/ halangi…” (hadits riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim 5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly).

Dalam hadits itu pula terkandung pelajaran penting wajibnya iman terhadap taqdir dari Alloh swt baik maupun buruk. Seandainya seluruh makhluk berkumpul dan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk memberikan sesuatu pada seseorang, tidak akan bisa diterimanya jika tidak ditakdirkan oleh Alloh swt, demikian pula sebaliknya dalam hal usaha untuk mencelakakan. Kesadaran ini pula yang harus ditanamkan sejak dini.

Orang tua hendaknya memberikan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh si anak tentang kekuasaan Alloh swt dan taqdirnya. Anak-anak mulai diajak berpikir secara Islami, bahwa segala sesuatu yang menjadi kepunyaannya itu adalah pemberian dari Alloh  dan telah Alloh  takdirkan sampai padanya. Demikian pula apa yang luput dari usaha anak itu untuk mencapainya, telah Alloh swt takdirkan tidak akan sampai padanya.---

Telah diangkat pena-pena dan telah kering lembaran-lembaran…. maksudnya, segala se-suatu yang terjadi di dunia ini telah tertulis ketentuannya dan hanya Alloh swt saja yang me-ngetahuinya. {Lihat Qs. Al-hadiid (57) : 22-23}.

Sungguh indah rasanya jika teladan pengajaran dari Rosululloh saw ini benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai kalbu mereka yang masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di saat mereka beranjak dewasa, kita akan menuai hasilnya.

Orangtua mana yang takkan bangga melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan ber-ilmu Dien yang mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Alloh swt semata dan siap berjuang untuk menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah.

Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya kepada, dan karena Alloh swt semata. -----

(Penulis : Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Referensi :
  1. Syarah al-Arba’in Hadiitsan an-Nawawiyah, Imam Ibn Daqiiqil ‘Ied.
  2. Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa’di.
  3. Tafsir Al-Qurthuby.
  4. Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
  5. Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-Najdi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar