Wuquf di Arafah merupakan momentum penting yang paling menyentuh dan paling mengesankan dalam hubungan antara hamba dengan Robnya. Di padang Arafah semua manusia berpakaian sama, meng-ingatkan diri kepada kehendak Alloh pada waktu dan tempat yang sama. Tak ada pang-kat dan jabatan, melainkan hanya rasa tunduk dan patuh kepada Alloh. Kepala-kepala manusia menekur pasrah dan tangan-tangan menengadah. Hampir semua mata terpejam basah dalam keheningan yang mengharukan.
Semua manusia yang hadir di Arafah, berdiam diri dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, seraya mengagungkan Asma Alloh, berdzikir dan beristighfar. Matahari yang memancarkan sinar panasnya tanpa penghalang, seolah-olah tidak berpengaruh terhadap jama’ah yang sesenggukan mengenang dosa-dosanya. Mereka menumpahkannya disana dengan harapan untuk membersihkan. Semua itu menghiasi suasana wukuf yang merupakan hari para jamaah haji menerima limpahan Rahmat, Maghfirah, taubat dan keridhaan Alloh swt.
Menyingkirkan rasa sombong
Pada saat itu semua orang menyingkirkan rasa sombong dan angkuhnya, rasa dengki dan sifat jahatnya serta kesukaan membanggakan diri lebih baik dari orang lain. Saat itu terbuka tirai kesadaran lebih tinggi bahwa apa yang selama ini sering dibangga-banggakan dengan rasa sombong, sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan semua itu hanyalah milik Alloh semata dan semuanya terikat dengan qodrat dan iradat Alloh swt.
Suasana wukuf yang hening berakhir menjelang matahari terbenam. Saat itu kita segera menyaksikan fenomena luar biasa tentang tumpahnya manusia dari Arafah menuju Masy’aril Haram (Muzdalifah) bagaikan tumpahnya air dari gelas yang terisi penuh. Fenomena ini dalam al-Qur` an disebutkan dengan istilah al-Faidh atau Ifadhoh, sebagaimana firman-Nya:
“... Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Alloh di Masy`arilharam. ...” {Qs. Al-Baqarah (2) :198}.
Demikianlah hukum Alloh berlaku dalam hal ibadah haji. Semua lembah dan jalur dipenuhi manusia bagaikan gelombang air yang mengalir ke arah yang sama, berhenti berpusar beberapa jam di Muzdalifah dan berulang kembali gelombang manusia mengalir menuju Mina.
Dengan kesadaran jiwa yang tinggi ketika jamaah haji berada di Muzdhalifah, dari ke-ragu-raguan (subhat) menjadi keyakinan yang bulat, dari berlalai-lalai dalam hal menegakkan hukum Alloh menjadi serius dan selalu ingat kepada-Nya, dari riya’ menjadi ikhlas, dari suka dusta menjadi jujur dan amanah, dari sikap membanggakan diri (ujub) menjadi rendah hati (tawadhu’) dan sebagainya.
Dalam hati tak ada lagi ruang bagi suatu keraguan yang dapat menghalangi jalan menuju perintahnya. Jika lalai atau ragu-ragu ia berkata:
“Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Alloh, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Alloh).” {Qs. Az-Zumar (39) : 56}.
Kesadaran kehambaan akan selalu mengingatkan dan seolah-olah berucap: “Ingatlah wahai jiwaku, bantulah aku ini dengan usahamu, merayap di gulita malam ini dan malam-malam selanjutnya ke hadiratNya. Agar engkau kelak sukses dan selamat di hari pembalasan, meraih hidup bahagia di dalam keridhaan Alloh.”
Menurut riwayat, setelah berada di Arafah, Nabiulloh Ibrahim Khalilulloh bertemu dengan Siti Hajar dan Ismail as. Dan di Arafah inilah Ibrahim dalam mimpinya berjumpa de-ngan malaikat Jibril. Dari perjumpaannya itulah sehingga Ibrahim tahu (‘arafa) bagaimana manasik haji yang sebenarnya dan seterusnya, mereka pulang ke Makkah melalui jalan setapak.
Pada saat inilah udara malam membuat mereka keletihan, sehingga mereka berhenti di kawasan yang sekarang ini disebut dengan Muzdhalifah itu, lalu mereka tertidur sejenak Mimpi Ibrahim terulang kembali untuk menyembelih putranya Ismail. Sehingga Ibrahim Khalilulloh semakin yakin bahwa Alloh swt benar memerintahkan kepadanya untuk menyembelih putranya Ismail sebagai korban.
Perjalanan Spiritual
Ibadah haji dan umrah sesungguhnya merupakan sebuah perjalanan spiritual yang suci. Manusia diajak untuk menimba pengalaman spiritual dari Nabi-nabi, rasul-rasul agar tercipta suasana iklim mental dan psikologis yang lebih mendukung untuk bertafakur dan berdzikir kepada Alloh swt. Salah satu cara yang telah ditetapkan dalam islam yakni me-ngunjungi tempat-tempat suci.
Seluruh rangkaian pelaksanaan haji merupakan perjalanan spiritual yang secara simbolik menggambarkan puncak dari pengalaman rohani setiap muslim. Karena itu ibadah ini selalu memiliki pengaruh yang sungguh luar biasa.
Dalam ibadah haji batin kita dibawa untuk mengenali hakekat keimanan yang agung. Kita dibawa untuk mengenal kekuatan iman nabiulloh Ibrahim as, ketika harus melaksanakan tugas untuk mengorbankan putra kesayangannya Ismail. Di sini hakekat keimanan harus dimenangkan melebihi kecintaan kepada anak. Ibrahim sebagai contoh dalam perjuangan ini. Dengan penuh kasih sayang, Ibrahim membimbing anaknya untuk memahami kebenaran.
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!.” {Qs. Ash-Shaaffaat (37): 102}.
Ismail sebagai sosok pemuda yang sabar dan teguh hati. Ia melambangkan generasi muda yang tak pernah kehilangan kepercayaan terhadap integritas dan dedikasi orangtuanya. Ismail selalu siap membantu tugas pengabdian orang tuanya dalam rangka menunaikan pe-rintah Alloh.
Selain itu, kita juga dibawa untuk me-ngenali kekuatan seorang ibu, yaitu Siti Hajar as. Ibu ini dalam semua keadaan, tidak pernah kehilangan kepercayaan atas pertolongan Alloh. Ia tetap menjadi seorang ibu yang lembut, penuh percaya diri dan setia terhadap amanat suaminya. Hajar tak pernah berkeluh kesah dan goyah oleh bujukan dan rayuan syaitan. Ia melambangkan keimanan dan ketakwaan seorang wanita yang tulus dalam mengasuh generasi yang dilahirkannya.
Panggilan ketakwaan
Jadi dalam melaksanakan ibadah haji se-sungguhnya merupakan panggilan ketaqwaan dan diharapkan setelah pulang ketanah air menjadi orang-orang yang semakin taqwa dalam cara hidupnya (adanya perubahan sikap kepada lebih baik)-bukan sekadar menambah identitas haji di depan namanya sehingga akan mengakibatkan adanya unsur riya, kemudian kalau tidak dipanggil haji lalu ia merasa tidak enak. Cara hidup ini dipahami orang saat ini sebagai kebudayaan, khususnya Indonesia. (apabila kita melihat orang-orang yang berhaji, pastilah kita akan mendapati mereka tidak di panggil haji (seperti orang-orang Arab). Kenapa hanya haji saja yang ada julukan/identitasnya? kenapa rukun islam yang lainnya tidak disebutkan? Seperti; pak sholat, pak zakat dsr. namun gelar haji itu mubah (boleh-boleh saja).
Karena itu implikasi taqwa sebagai cara hidup sangat luas sekali. Namun intinya adalah pembudayaan hukum-hukum Alloh dan Sunnah-sunnah Rosululloh saw dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan sendiri dalam al-Qur` an. Jadi bukan sekedar istilah-istilah atau sekedar ingin dihormati orang karena sudah beridentitas haji . Tetapi sesungguhnya lebih dari itu, taqwa dalam pandangan Al-Qur`an adalah sebuah dasar kemanusiaan yang menyatukan berbagai warna kulit, ras atau keturunan didalam satu keluarga (‘iyalulloh). Sebagaimana firman Alloh, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” {Qs. Al-Hujurat (49) : 13}.
Ayat di atas meletakkan kriteria paling objektif dalam hal nilai untuk interaksi sosial, ekonomi dan politik antar bangsa. Juga kriteria hubungan antar individu, ras, suku, maupun golongan. Kriteria dimaksud adalah taqwa. Efek etis dari kriteria ini yakni menjadikan hidup manusia lebih dinamis, karena membuat manusia berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (fastabiqul khairat) bagi kepentingan sesama.
Syekh Imam Muhammad al-Mahdi Abdullah, memberi pengertian taqwa yakni malu dan takut kepada Alloh. Artinya, seseorang yang bertaqwa, ia bersungguh-sungguh me-negakkan hukum-hukum Alloh pada dirinya. Ia malu dan takut berbuat hal-hal yang dilarang oleh Alloh dan RasulNya. Karena sesungguhnya pada seluruh metafisik manusia (dari ujung rambut sampai ujung kaki) ada hukum didalamnya. Orang yang taqwa, maka ia malu dan takut kepada Alloh untuk melanggar hukum- hukum tersebut.
Sebagai contoh, hukum mata misalnya, adalah bagaimana menjaga mata dari pandangan maksiat. Hukum telinga adalah bagaimana menjaga pendengaran dari hal-hal maksiat. Hukum mulut atau lidah adalah menjaga untuk tidak mengatakan hal-hal maksiat. Hukum tangan adalah menjaga agar tidak mengerjakan kemaksiatan. Hukum hati dan pikiran adalah menjaga agar tidak menghayal dan memikirkan sesuatu yang maksiat. Dan seterusnya seluruh metafisik manusia memiliki hukum yang harus ditegakkan dalam kehidupannya.
Karena sesungguhnya, hukum-hukum Alloh tersebut, nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Alloh. Wallohu A’lam Bisshawab.
Referensi : Bulletin TARBIYAH, edisi 062/ Thn II.
Semua manusia yang hadir di Arafah, berdiam diri dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, seraya mengagungkan Asma Alloh, berdzikir dan beristighfar. Matahari yang memancarkan sinar panasnya tanpa penghalang, seolah-olah tidak berpengaruh terhadap jama’ah yang sesenggukan mengenang dosa-dosanya. Mereka menumpahkannya disana dengan harapan untuk membersihkan. Semua itu menghiasi suasana wukuf yang merupakan hari para jamaah haji menerima limpahan Rahmat, Maghfirah, taubat dan keridhaan Alloh swt.
Menyingkirkan rasa sombong
Pada saat itu semua orang menyingkirkan rasa sombong dan angkuhnya, rasa dengki dan sifat jahatnya serta kesukaan membanggakan diri lebih baik dari orang lain. Saat itu terbuka tirai kesadaran lebih tinggi bahwa apa yang selama ini sering dibangga-banggakan dengan rasa sombong, sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan semua itu hanyalah milik Alloh semata dan semuanya terikat dengan qodrat dan iradat Alloh swt.
Suasana wukuf yang hening berakhir menjelang matahari terbenam. Saat itu kita segera menyaksikan fenomena luar biasa tentang tumpahnya manusia dari Arafah menuju Masy’aril Haram (Muzdalifah) bagaikan tumpahnya air dari gelas yang terisi penuh. Fenomena ini dalam al-Qur` an disebutkan dengan istilah al-Faidh atau Ifadhoh, sebagaimana firman-Nya:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (١٩٨)
“... Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Alloh di Masy`arilharam. ...” {Qs. Al-Baqarah (2) :198}.
Demikianlah hukum Alloh berlaku dalam hal ibadah haji. Semua lembah dan jalur dipenuhi manusia bagaikan gelombang air yang mengalir ke arah yang sama, berhenti berpusar beberapa jam di Muzdalifah dan berulang kembali gelombang manusia mengalir menuju Mina.
Dengan kesadaran jiwa yang tinggi ketika jamaah haji berada di Muzdhalifah, dari ke-ragu-raguan (subhat) menjadi keyakinan yang bulat, dari berlalai-lalai dalam hal menegakkan hukum Alloh menjadi serius dan selalu ingat kepada-Nya, dari riya’ menjadi ikhlas, dari suka dusta menjadi jujur dan amanah, dari sikap membanggakan diri (ujub) menjadi rendah hati (tawadhu’) dan sebagainya.
Dalam hati tak ada lagi ruang bagi suatu keraguan yang dapat menghalangi jalan menuju perintahnya. Jika lalai atau ragu-ragu ia berkata:
“Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Alloh, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Alloh).” {Qs. Az-Zumar (39) : 56}.
Kesadaran kehambaan akan selalu mengingatkan dan seolah-olah berucap: “Ingatlah wahai jiwaku, bantulah aku ini dengan usahamu, merayap di gulita malam ini dan malam-malam selanjutnya ke hadiratNya. Agar engkau kelak sukses dan selamat di hari pembalasan, meraih hidup bahagia di dalam keridhaan Alloh.”
Menurut riwayat, setelah berada di Arafah, Nabiulloh Ibrahim Khalilulloh bertemu dengan Siti Hajar dan Ismail as. Dan di Arafah inilah Ibrahim dalam mimpinya berjumpa de-ngan malaikat Jibril. Dari perjumpaannya itulah sehingga Ibrahim tahu (‘arafa) bagaimana manasik haji yang sebenarnya dan seterusnya, mereka pulang ke Makkah melalui jalan setapak.
Pada saat inilah udara malam membuat mereka keletihan, sehingga mereka berhenti di kawasan yang sekarang ini disebut dengan Muzdhalifah itu, lalu mereka tertidur sejenak Mimpi Ibrahim terulang kembali untuk menyembelih putranya Ismail. Sehingga Ibrahim Khalilulloh semakin yakin bahwa Alloh swt benar memerintahkan kepadanya untuk menyembelih putranya Ismail sebagai korban.
Perjalanan Spiritual
Ibadah haji dan umrah sesungguhnya merupakan sebuah perjalanan spiritual yang suci. Manusia diajak untuk menimba pengalaman spiritual dari Nabi-nabi, rasul-rasul agar tercipta suasana iklim mental dan psikologis yang lebih mendukung untuk bertafakur dan berdzikir kepada Alloh swt. Salah satu cara yang telah ditetapkan dalam islam yakni me-ngunjungi tempat-tempat suci.
Seluruh rangkaian pelaksanaan haji merupakan perjalanan spiritual yang secara simbolik menggambarkan puncak dari pengalaman rohani setiap muslim. Karena itu ibadah ini selalu memiliki pengaruh yang sungguh luar biasa.
Dalam ibadah haji batin kita dibawa untuk mengenali hakekat keimanan yang agung. Kita dibawa untuk mengenal kekuatan iman nabiulloh Ibrahim as, ketika harus melaksanakan tugas untuk mengorbankan putra kesayangannya Ismail. Di sini hakekat keimanan harus dimenangkan melebihi kecintaan kepada anak. Ibrahim sebagai contoh dalam perjuangan ini. Dengan penuh kasih sayang, Ibrahim membimbing anaknya untuk memahami kebenaran.
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!.” {Qs. Ash-Shaaffaat (37): 102}.
Ismail sebagai sosok pemuda yang sabar dan teguh hati. Ia melambangkan generasi muda yang tak pernah kehilangan kepercayaan terhadap integritas dan dedikasi orangtuanya. Ismail selalu siap membantu tugas pengabdian orang tuanya dalam rangka menunaikan pe-rintah Alloh.
Selain itu, kita juga dibawa untuk me-ngenali kekuatan seorang ibu, yaitu Siti Hajar as. Ibu ini dalam semua keadaan, tidak pernah kehilangan kepercayaan atas pertolongan Alloh. Ia tetap menjadi seorang ibu yang lembut, penuh percaya diri dan setia terhadap amanat suaminya. Hajar tak pernah berkeluh kesah dan goyah oleh bujukan dan rayuan syaitan. Ia melambangkan keimanan dan ketakwaan seorang wanita yang tulus dalam mengasuh generasi yang dilahirkannya.
Panggilan ketakwaan
Jadi dalam melaksanakan ibadah haji se-sungguhnya merupakan panggilan ketaqwaan dan diharapkan setelah pulang ketanah air menjadi orang-orang yang semakin taqwa dalam cara hidupnya (adanya perubahan sikap kepada lebih baik)-bukan sekadar menambah identitas haji di depan namanya sehingga akan mengakibatkan adanya unsur riya, kemudian kalau tidak dipanggil haji lalu ia merasa tidak enak. Cara hidup ini dipahami orang saat ini sebagai kebudayaan, khususnya Indonesia. (apabila kita melihat orang-orang yang berhaji, pastilah kita akan mendapati mereka tidak di panggil haji (seperti orang-orang Arab). Kenapa hanya haji saja yang ada julukan/identitasnya? kenapa rukun islam yang lainnya tidak disebutkan? Seperti; pak sholat, pak zakat dsr. namun gelar haji itu mubah (boleh-boleh saja).
Karena itu implikasi taqwa sebagai cara hidup sangat luas sekali. Namun intinya adalah pembudayaan hukum-hukum Alloh dan Sunnah-sunnah Rosululloh saw dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan sendiri dalam al-Qur` an. Jadi bukan sekedar istilah-istilah atau sekedar ingin dihormati orang karena sudah beridentitas haji . Tetapi sesungguhnya lebih dari itu, taqwa dalam pandangan Al-Qur`an adalah sebuah dasar kemanusiaan yang menyatukan berbagai warna kulit, ras atau keturunan didalam satu keluarga (‘iyalulloh). Sebagaimana firman Alloh, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” {Qs. Al-Hujurat (49) : 13}.
Ayat di atas meletakkan kriteria paling objektif dalam hal nilai untuk interaksi sosial, ekonomi dan politik antar bangsa. Juga kriteria hubungan antar individu, ras, suku, maupun golongan. Kriteria dimaksud adalah taqwa. Efek etis dari kriteria ini yakni menjadikan hidup manusia lebih dinamis, karena membuat manusia berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (fastabiqul khairat) bagi kepentingan sesama.
Syekh Imam Muhammad al-Mahdi Abdullah, memberi pengertian taqwa yakni malu dan takut kepada Alloh. Artinya, seseorang yang bertaqwa, ia bersungguh-sungguh me-negakkan hukum-hukum Alloh pada dirinya. Ia malu dan takut berbuat hal-hal yang dilarang oleh Alloh dan RasulNya. Karena sesungguhnya pada seluruh metafisik manusia (dari ujung rambut sampai ujung kaki) ada hukum didalamnya. Orang yang taqwa, maka ia malu dan takut kepada Alloh untuk melanggar hukum- hukum tersebut.
Sebagai contoh, hukum mata misalnya, adalah bagaimana menjaga mata dari pandangan maksiat. Hukum telinga adalah bagaimana menjaga pendengaran dari hal-hal maksiat. Hukum mulut atau lidah adalah menjaga untuk tidak mengatakan hal-hal maksiat. Hukum tangan adalah menjaga agar tidak mengerjakan kemaksiatan. Hukum hati dan pikiran adalah menjaga agar tidak menghayal dan memikirkan sesuatu yang maksiat. Dan seterusnya seluruh metafisik manusia memiliki hukum yang harus ditegakkan dalam kehidupannya.
Karena sesungguhnya, hukum-hukum Alloh tersebut, nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Alloh. Wallohu A’lam Bisshawab.
Referensi : Bulletin TARBIYAH, edisi 062/ Thn II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar