Setelah tiga abad lamanya kaum muslimin hidup dalam masa kejayaan. Namun sejak abad XI Masehi, kondisi rohani dan semangat keagamaan mereka kian surut dan bahkan telah menjadi sebuah fenomena masyarakat Islam yang semu. Mereka pun mengalami kebutaan terhadap agamanya sendiri, dan berpegang teguh kepada hal-hal yang justru membuat keyakinan mereka semakin rapuh. Pada saat itulah di Nejed muncul ulama yang bermanhaj / berpaham Salaful Ummah Ahlusunnah wal Jama’ah dan pemberani, yakni asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi. Lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di ‘Uyainah, sebuah kota kecil, lembah Nejed. Meski daerah tersebut telah merupakan wilayah kekuasaan Turki, namun tentara mereka tidak pernah mengawasinya dan bahkan tidak ada satupun lembaga resmi mereka yang sengaja bercokol di wilayahnya. Dengan demikian lembah Nejed ini telah merupakan wilayah yang terkecil dari jangkauan pemerintahan Turki.
Pendidikan dasar Syaikh at-Tamimi di mulai dari ayahnya, seorang alim terkemuka serta qadhi (hakim) dengan bermadzhabkan Hambali. Selain dari ayahnya, beliaupun memiliki garis keturunan dari kakeknya, Sulaiman bin Ali yang juga seorang alim berpengaruh pada masanya. Di negerinya ia merupakan tokoh yang diikuti dan satu-satunya tempat bersandar diri bagi segala persoalan masyarakat.
Setelah hafal al-Qur’an pada usia 9 tahun, beliau melanjutkan pelajarannya dengan mengkaji Fiqh Ahmad bin hambal. Selanjutnya pergi ke Madinah dan berguru kepada Syaikh Muhadist Sulaiman al-Qurdi dan Syaikh al-Faqih Muhammad as-Sindi. Bersama kedua gurunya ini Syaikh at-Tamimi mulai terbuka betapa segala macam bentuk dosa dan maksiat serta kebid’ahan serta Syirik telah merata dikalangan Ummat Islam. Dan menurutnya, mengapa mereka tidak pernah berpikir bahwa semua itu sekali tidak berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah (Hadits) Shahih. Meski demikian, beliau (Syaikh at-Tamimi) tidak menampakkan diri dan bahkan belum berani untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Selanjutnya beliau Syaikh at-Tamimi le-bih memilih memperluas wawasannya dengan mengembara ke beberapa negeri. Diantaranya beliau tinggal di Bashroh 5 tahun, serta Kur-distan 1 tahun. Kemudian sebelum pulang kenegerinya, beliau pernah singgah di Hamadah dan bermukim selama 2 tahun, lalu ke Isfahan serta singgah sebentar di kota Qum, Iran.
Merintis Gerakan Pemurnian Din Alloh (Islam).
setelah sampai dikampung halamannya, barulah Syaikh at-Tamimi mempersiapkan diri guna membangun masyarakat sesuai dengan petunjuk agama yang benar. Di bangkitkannya semangat mereka untuk menuntut ilmu dan digerakkannya pula hati mereka untuk mengubah segala adat dan upacara ibadah untuk kembali kepada tuntunan Alloh Azza wa Jalla, Rosululloh Muhammad Ibnu Abdillah Sholallohu’alaihi wa Sallam serta para Shahabat Rosul dari kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in yang dijamin mendapat Syurga Alloh Tabarokta wa Ta’ala yang mulia.
Perjuangan utama Syaikh at-Tamimi saat itu yang baru berusia 37 tahun ialah mengembalikan Islam kepada sumber yang aslinya, membersihkan tauhid dari segala macam noda syirik, tahayul, khurofat (mistik) serta membersihkan sunnah dari pengaruh noda Bid’ah. Lebih daripada itu beliau pun mengajak kepada semua masyarakat untuk meninggalkan sikap hidup materialis, serta menjauhkan diri dari sikap fanatik kesukuan (nasionalis), dan menganjurkannya untuk hidup secara sederhana dan tolong menolong. Tentu saja usaha dan perjuangan besar ini bukan merupakan keinginan tanpa risiko. Semangat perlawanan dari mereka yang menjadi obyek da’wah kian sengit terutama setelah dipanas-panasi oleh para ketua golongan. Bahkan pamannya sen-diri Bulaiman bin Abdul Wahab ikut menentang perjuangan Syaikh at-Tamimi. Sedemikian kerasnya permusuhan mereka, seorang penguasa ‘Uyainah Amir al-Hassan mengeluarkan perintah untuk membunuh al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi, atas bujukan sebagian ketua yang berpihak kepadanya, maka dengan diam-diam beliaupun meninggalkan ‘Uyainah.
Dari ‘Uyainah beliau menuju az-Zabir. Di sana pun beliau menyerukan “ar-Ruju ‘ila Qur’an wa Sunnah as-Shahihah” yang kemudian bertambah banyak pengikutnya termasuk pangeran Usman bin Muammar. Setelah da’wahnya memasuki kalangan istana, maka dengan mudah setiap ide pemurnian agama mendapat tempat di masyarkat. Sebagai realisasi dari seruan ini bahkan para pembesar pun mengikuti penghancuran berhala-berhala, dengan penebangan sejumlah pohon-pohon besar yang dikeramatkan serta me-ratakan kuburan-kuburan (yang ditinggikan) yang telah lama menjadi tempat pemujaan para penduduk. Selanjutnya Syaikh at-Tamimi melakukan perjalanan da’wah hingga ke wilayah Da’riah, dan diterima oleh keluarga
Gubernur Muhammad bin Su’ud. Bahkan keduanya sepakat untuk menjalin kerjasama di dalam membangunkan ummat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah de-ngan manhaj yang haq serta membangkitkannya dari jurang kebodohan mereka selama berabad-abad. Upaya berikutnya ialah dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus guna menampung para pemuda (Syabab) Islam dengan harapan kelak dapat membim-bing masyarakat di kemudian hari.
Tentang gerakan Syaikh at-Tamimi ini, L. Stoddard menuturkan, “Ketika Amir bin Abdu Daus dapat dikalahkan oleh Muhammad bin Su’ud maka terbukalah jalan yang lebar bagi perjuangan ini (Islam). Nejed dan Hejaz lalu disatukan dengan bendera Wahabi. Dan Muhammad Su’ud pun melakukan perjuangan di tanah airnya sendiri, Makah. Kerajaan Hejaj dipegang oleh Syarif Husain, seorang raja Islam yang masih kolot pendiriannya. Banyak dijumpai khurofat dan bid’ah (yakni yang tidak ada dalam Islam diada-adakan) di daerah kekuasaannya. Bergeraklah Muhammad Su’ud di samping Syaikh at-Tamimi menghantam raja Makkah yang dianggapnya ketinggalan zaman. Perjuangan itu dilakukan dengan memakan waktu yang cukup lama. Akhirnya Muhammad Su’ud berhasil mencapai cita-citanya. Syarif Husain dapat diturunkan, dan naiklah Muhammad Su’ud memimpin tanah Hejaz berkedudukan di Makkah.
Setelah kekuasaan dipegang oleh Wahabi, terjadilah perubahan besar di tanah suci itu, baik di Makkah maupun Madinah. Kuburan para pahlawan di Ba’qi yang sebelumnya mempunyai pagar yang bagus, disamping batu nisannya yang tinggi, semua di robohkan. Kuburan menurut ajaran syari’at Islam tidak boleh dibina lebih tinggi dari tanah. Maka semua tanah-tanah kuburan para pahlawan di Madinah itu menjadi rata, sama ratanya dengan bumi. Sejak Muhammad Su’ud memegang tampuk pemerintahan, berlakulah hukum Islam secara murni di segala bidang. L. Stoddard menambahkan: “Negara Wahabi baru itu amat menyerupai khalifah Makkah yang dahulu. Walaupun memiliki tenaga militer yang besar, Raja Muhammad Su’ud senantiasa bertanggungjawab atas pandangan umum. Ia tidak pernah melecehkan kemerdekaan yang sah dari rakyatnya. Berjalanlah pemerintahan tersebut, meski keras, namun bijaksana dan adil. Hakim-hakim Wahabi cakap dan jujur, perampokan serta tindakan kejahatan lainnya tidak dikenal, karena ketentraman warga dijaga dengan sangat baik, pendidikan berkembang pesat. Tiap-tiap desa mempunyai sekolah/ madrosah sendiri, sedangkan guru-guru dikirim ke kabilah-kabilah di Baduwie.
Karya dan Pemikirannya
Dalam keseluruhan hidup dan pemikirannya al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi mengikuti jejak jalan para Salaful Ummah Ahlusunnah wal Jama’ah. Beliau berpandangan bahwa hanya al-Qur’an dan as-Sunnah shahih saja yang merupakan sumber dalam setiap berhujjah. Apa yang terdapat didalamnya wajib diikuti, sedang selebihnya ialah merupakan bid’ah dan wajib harus ditinggalkan. Beliau Syaikh at-Tamimi pun memandang keliru kepada kaum Mu’tazilah yang banyak menitikberatkan fungsi akal ketimbang wahyu. Pada pemikirannya akal ialah tidak lebih dari sekedar penopang di dalam memahami nash-nash yang dikandung oleh keduanya.
Dalam perkara tauhid, Syaikh at-Tamimi mengecam segala bentuk kaitan yang telah mengotori aqidah sehingga dapat membuat pangkal keimanan dan ketakwaan menjadi berbelit-belit. Dalam karyanya “Kitabu Tauhid” atau “Kasyfu Syubhat”, beliau menguraikan apa yang dimaksud dengan tauhid secara sederhana dan benar. Kepada muridnya beliau menganjurkan untuk mengkaji siroh/ sejarah Rosul, hijrahnya serta hikmah-hikmah yang dikandung dalam mengupayakan sema-ngat budi yang luhur dan bijaksana. Sehingga siapapun dapat menangkap pemikirannya tanpa mengeluarkan emosi. Selanjutnya dalam menempuh da’wahnya, Syaikh at-Tamimi di samping berkeliling mengunjungi sejumlah daerah, berdiskusi dan membuat buku/ kitab juga tidak segan melayangkan surat terbuka kepada siapa saja. Yang merupakan terjemahan dari salah satu suratnya, antara lain:
Dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at Tamimi kepada siapa saja dari kaum Muslimin yang surat ini sampai kepadanya.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Sesungguhnya Alloh yang maha lurus dan Maha Tinggi mengangkat Muhammad Shalallahu’alaihi wa Salam. Sebagai Rosul, diwaktu dunia mengalami kekosongan dari utusan Alloh, kemudian ia diberi petunjuk oleh Alloh, dien yang sempurna dan syari’at yang lengkap, paling agung dan besar serta merupakan inti dalam memurnikan dien dengan hanya beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla, yang tiada sekutu baginya, mencegah bentuk-bentuk kemusyrikan, seperti timbulnya I’tiqad (niat) sesat terhadap para malaikat dan para Nabi, lebih-lebih selain mereka, agar mereka tidak sujud melainkan kepada Alloh, tidak menganggap bahwa ada yang menarik kebaikan selain Dia, tidak melepaskan nadzar melainkan kepadaNya, tidak bersumpah melainkan dengan namaNya, tidak menyembelih melainkan karena Alloh Azza wa Jalla, dan tidak ada ibadah melainkan kepadaNya, yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, inilah kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” serta mengakui Muhammad Rosul Alloh yang mulia dan wajib untuk menjadi panutan serta diikuti oleh umat manusia.
Demikian sekilas perjalanan hidup beliau, seorang Mujadid dan perintis gerakan pemurnian agama pada masanya. Beliau wafat pada tahun 1204 H atau 1792 M. dengan meninggalkan sebuah karya monumental di antaranya: Kitabu Tauhid, Kasyfu Subhat, Ushulu Iman, Fadhlul Islam, Syuruth Shalat wa arkanuhu, Kitabul Kabair, Tafsir Kalimati Tauhid, tafsir Badi Suwaril Qur’an, Mustafid, dll.
Referensi :
Pendidikan dasar Syaikh at-Tamimi di mulai dari ayahnya, seorang alim terkemuka serta qadhi (hakim) dengan bermadzhabkan Hambali. Selain dari ayahnya, beliaupun memiliki garis keturunan dari kakeknya, Sulaiman bin Ali yang juga seorang alim berpengaruh pada masanya. Di negerinya ia merupakan tokoh yang diikuti dan satu-satunya tempat bersandar diri bagi segala persoalan masyarakat.
Setelah hafal al-Qur’an pada usia 9 tahun, beliau melanjutkan pelajarannya dengan mengkaji Fiqh Ahmad bin hambal. Selanjutnya pergi ke Madinah dan berguru kepada Syaikh Muhadist Sulaiman al-Qurdi dan Syaikh al-Faqih Muhammad as-Sindi. Bersama kedua gurunya ini Syaikh at-Tamimi mulai terbuka betapa segala macam bentuk dosa dan maksiat serta kebid’ahan serta Syirik telah merata dikalangan Ummat Islam. Dan menurutnya, mengapa mereka tidak pernah berpikir bahwa semua itu sekali tidak berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah (Hadits) Shahih. Meski demikian, beliau (Syaikh at-Tamimi) tidak menampakkan diri dan bahkan belum berani untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Selanjutnya beliau Syaikh at-Tamimi le-bih memilih memperluas wawasannya dengan mengembara ke beberapa negeri. Diantaranya beliau tinggal di Bashroh 5 tahun, serta Kur-distan 1 tahun. Kemudian sebelum pulang kenegerinya, beliau pernah singgah di Hamadah dan bermukim selama 2 tahun, lalu ke Isfahan serta singgah sebentar di kota Qum, Iran.
Merintis Gerakan Pemurnian Din Alloh (Islam).
setelah sampai dikampung halamannya, barulah Syaikh at-Tamimi mempersiapkan diri guna membangun masyarakat sesuai dengan petunjuk agama yang benar. Di bangkitkannya semangat mereka untuk menuntut ilmu dan digerakkannya pula hati mereka untuk mengubah segala adat dan upacara ibadah untuk kembali kepada tuntunan Alloh Azza wa Jalla, Rosululloh Muhammad Ibnu Abdillah Sholallohu’alaihi wa Sallam serta para Shahabat Rosul dari kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in yang dijamin mendapat Syurga Alloh Tabarokta wa Ta’ala yang mulia.
Perjuangan utama Syaikh at-Tamimi saat itu yang baru berusia 37 tahun ialah mengembalikan Islam kepada sumber yang aslinya, membersihkan tauhid dari segala macam noda syirik, tahayul, khurofat (mistik) serta membersihkan sunnah dari pengaruh noda Bid’ah. Lebih daripada itu beliau pun mengajak kepada semua masyarakat untuk meninggalkan sikap hidup materialis, serta menjauhkan diri dari sikap fanatik kesukuan (nasionalis), dan menganjurkannya untuk hidup secara sederhana dan tolong menolong. Tentu saja usaha dan perjuangan besar ini bukan merupakan keinginan tanpa risiko. Semangat perlawanan dari mereka yang menjadi obyek da’wah kian sengit terutama setelah dipanas-panasi oleh para ketua golongan. Bahkan pamannya sen-diri Bulaiman bin Abdul Wahab ikut menentang perjuangan Syaikh at-Tamimi. Sedemikian kerasnya permusuhan mereka, seorang penguasa ‘Uyainah Amir al-Hassan mengeluarkan perintah untuk membunuh al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi, atas bujukan sebagian ketua yang berpihak kepadanya, maka dengan diam-diam beliaupun meninggalkan ‘Uyainah.
Dari ‘Uyainah beliau menuju az-Zabir. Di sana pun beliau menyerukan “ar-Ruju ‘ila Qur’an wa Sunnah as-Shahihah” yang kemudian bertambah banyak pengikutnya termasuk pangeran Usman bin Muammar. Setelah da’wahnya memasuki kalangan istana, maka dengan mudah setiap ide pemurnian agama mendapat tempat di masyarkat. Sebagai realisasi dari seruan ini bahkan para pembesar pun mengikuti penghancuran berhala-berhala, dengan penebangan sejumlah pohon-pohon besar yang dikeramatkan serta me-ratakan kuburan-kuburan (yang ditinggikan) yang telah lama menjadi tempat pemujaan para penduduk. Selanjutnya Syaikh at-Tamimi melakukan perjalanan da’wah hingga ke wilayah Da’riah, dan diterima oleh keluarga
Gubernur Muhammad bin Su’ud. Bahkan keduanya sepakat untuk menjalin kerjasama di dalam membangunkan ummat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah de-ngan manhaj yang haq serta membangkitkannya dari jurang kebodohan mereka selama berabad-abad. Upaya berikutnya ialah dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus guna menampung para pemuda (Syabab) Islam dengan harapan kelak dapat membim-bing masyarakat di kemudian hari.
Tentang gerakan Syaikh at-Tamimi ini, L. Stoddard menuturkan, “Ketika Amir bin Abdu Daus dapat dikalahkan oleh Muhammad bin Su’ud maka terbukalah jalan yang lebar bagi perjuangan ini (Islam). Nejed dan Hejaz lalu disatukan dengan bendera Wahabi. Dan Muhammad Su’ud pun melakukan perjuangan di tanah airnya sendiri, Makah. Kerajaan Hejaj dipegang oleh Syarif Husain, seorang raja Islam yang masih kolot pendiriannya. Banyak dijumpai khurofat dan bid’ah (yakni yang tidak ada dalam Islam diada-adakan) di daerah kekuasaannya. Bergeraklah Muhammad Su’ud di samping Syaikh at-Tamimi menghantam raja Makkah yang dianggapnya ketinggalan zaman. Perjuangan itu dilakukan dengan memakan waktu yang cukup lama. Akhirnya Muhammad Su’ud berhasil mencapai cita-citanya. Syarif Husain dapat diturunkan, dan naiklah Muhammad Su’ud memimpin tanah Hejaz berkedudukan di Makkah.
Setelah kekuasaan dipegang oleh Wahabi, terjadilah perubahan besar di tanah suci itu, baik di Makkah maupun Madinah. Kuburan para pahlawan di Ba’qi yang sebelumnya mempunyai pagar yang bagus, disamping batu nisannya yang tinggi, semua di robohkan. Kuburan menurut ajaran syari’at Islam tidak boleh dibina lebih tinggi dari tanah. Maka semua tanah-tanah kuburan para pahlawan di Madinah itu menjadi rata, sama ratanya dengan bumi. Sejak Muhammad Su’ud memegang tampuk pemerintahan, berlakulah hukum Islam secara murni di segala bidang. L. Stoddard menambahkan: “Negara Wahabi baru itu amat menyerupai khalifah Makkah yang dahulu. Walaupun memiliki tenaga militer yang besar, Raja Muhammad Su’ud senantiasa bertanggungjawab atas pandangan umum. Ia tidak pernah melecehkan kemerdekaan yang sah dari rakyatnya. Berjalanlah pemerintahan tersebut, meski keras, namun bijaksana dan adil. Hakim-hakim Wahabi cakap dan jujur, perampokan serta tindakan kejahatan lainnya tidak dikenal, karena ketentraman warga dijaga dengan sangat baik, pendidikan berkembang pesat. Tiap-tiap desa mempunyai sekolah/ madrosah sendiri, sedangkan guru-guru dikirim ke kabilah-kabilah di Baduwie.
Karya dan Pemikirannya
Dalam keseluruhan hidup dan pemikirannya al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi mengikuti jejak jalan para Salaful Ummah Ahlusunnah wal Jama’ah. Beliau berpandangan bahwa hanya al-Qur’an dan as-Sunnah shahih saja yang merupakan sumber dalam setiap berhujjah. Apa yang terdapat didalamnya wajib diikuti, sedang selebihnya ialah merupakan bid’ah dan wajib harus ditinggalkan. Beliau Syaikh at-Tamimi pun memandang keliru kepada kaum Mu’tazilah yang banyak menitikberatkan fungsi akal ketimbang wahyu. Pada pemikirannya akal ialah tidak lebih dari sekedar penopang di dalam memahami nash-nash yang dikandung oleh keduanya.
Dalam perkara tauhid, Syaikh at-Tamimi mengecam segala bentuk kaitan yang telah mengotori aqidah sehingga dapat membuat pangkal keimanan dan ketakwaan menjadi berbelit-belit. Dalam karyanya “Kitabu Tauhid” atau “Kasyfu Syubhat”, beliau menguraikan apa yang dimaksud dengan tauhid secara sederhana dan benar. Kepada muridnya beliau menganjurkan untuk mengkaji siroh/ sejarah Rosul, hijrahnya serta hikmah-hikmah yang dikandung dalam mengupayakan sema-ngat budi yang luhur dan bijaksana. Sehingga siapapun dapat menangkap pemikirannya tanpa mengeluarkan emosi. Selanjutnya dalam menempuh da’wahnya, Syaikh at-Tamimi di samping berkeliling mengunjungi sejumlah daerah, berdiskusi dan membuat buku/ kitab juga tidak segan melayangkan surat terbuka kepada siapa saja. Yang merupakan terjemahan dari salah satu suratnya, antara lain:
Dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at Tamimi kepada siapa saja dari kaum Muslimin yang surat ini sampai kepadanya.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Sesungguhnya Alloh yang maha lurus dan Maha Tinggi mengangkat Muhammad Shalallahu’alaihi wa Salam. Sebagai Rosul, diwaktu dunia mengalami kekosongan dari utusan Alloh, kemudian ia diberi petunjuk oleh Alloh, dien yang sempurna dan syari’at yang lengkap, paling agung dan besar serta merupakan inti dalam memurnikan dien dengan hanya beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla, yang tiada sekutu baginya, mencegah bentuk-bentuk kemusyrikan, seperti timbulnya I’tiqad (niat) sesat terhadap para malaikat dan para Nabi, lebih-lebih selain mereka, agar mereka tidak sujud melainkan kepada Alloh, tidak menganggap bahwa ada yang menarik kebaikan selain Dia, tidak melepaskan nadzar melainkan kepadaNya, tidak bersumpah melainkan dengan namaNya, tidak menyembelih melainkan karena Alloh Azza wa Jalla, dan tidak ada ibadah melainkan kepadaNya, yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, inilah kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” serta mengakui Muhammad Rosul Alloh yang mulia dan wajib untuk menjadi panutan serta diikuti oleh umat manusia.
Demikian sekilas perjalanan hidup beliau, seorang Mujadid dan perintis gerakan pemurnian agama pada masanya. Beliau wafat pada tahun 1204 H atau 1792 M. dengan meninggalkan sebuah karya monumental di antaranya: Kitabu Tauhid, Kasyfu Subhat, Ushulu Iman, Fadhlul Islam, Syuruth Shalat wa arkanuhu, Kitabul Kabair, Tafsir Kalimati Tauhid, tafsir Badi Suwaril Qur’an, Mustafid, dll.
Referensi :
- Pro dan Kontra Dakwah Wahhabi, oleh: Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Penerbit: Pustaka ats-Tsauri.
- Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabi oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulloh, Lc, Penerbit: Media Tarbiyah.
- Majalah Dunia Islam, E.-9, Zulhijjah 1427 H, hlm. 48, oleh: Abu Hanifah Muhammad Faishal al-Bantani bin Shalih Abu Ramadhan al-Atsary serta Abu Hafshin at-Teghaly al-atsary-Hafid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar