Hadits tentang Adzan ‘Utsman bin ‘Affan ra.
Al-Imam az-Zuhri -rohimahulloh- berkata, “as-Sa-ib bin Yazid meriwayatkan kepadaku:
“Sesungguhnya adzan [yang diungkapkan oleh Allah di dalam al-Qur-an] pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar [dan jika iqamat shalat telah dikumandangkan] pada hari jum’at [di dekat pintu masjid] pada zaman Nabi saw, Abu Bakar dan ‘Umar. Ketika tiba zaman ke-khi-lafahan ‘Utsman, dan sudah banyak orang [rumah-rumah pun jaraknya berjauhan] ‘Utsman memerintahkan untuk dikumandangkan adzan yang ketiga [di dalam satu riwayat: Awal, dan riwayat yang lain: Adzan kedua] [di atas rumah [milik beliau] didalam pasar yang namanya az-Zauraa’] lalu dikumandangkanlah adzan di az-Zauraa’ [sebelum beliau keluar untuk memberi tahukan orang-orang bahwa waktu (shalat) Jum’at telah tiba], maka berlakulah hal itu, [orang-orang tidak menganggap hal itu sebagai aib, padahal mereka mencelanya ketika beliau melakukan shalat secara sempurna di Mina] (tanpa di Qoshor.-pen)” (HR. al-Bukhari {II/314,316,317}, Abu Dawud {I/171} dengan redaksi beliau, an-Nasa-i {I/207], at-Tirmidzi (II/392} beliau menshahihkannya, Ibnu Majah (I/228) dan lainnya).
Kita telah dan sering menyaksikan di beberapa mesjid dalam melaksanakan adzan. Yaitu, dengan melakukan dua kali adzan. Perlu diketahui bahwasannya beliau(‘Utsman ra.) menambah adzan tersebut karena alasan yang logis, yaitu banyaknya manusia dan rumah mereka yang jauh dari mesjid Nabawi, maka siapa saja yang tidak mempertimbangkan alasan ini, artinya dia tetap melakukan adzan dua kali pada hari jum’at (adzan ‘Uts-man) secara mutlak tanpa batasan, maka sesungguhnya dia tidak mengikuti ‘Utsman ra. Bahkan dia menyalahi aturannya dengan tidak mempertimbangkan alasan yang seandainya alasan itu tidak ada, niscaya beliau tidak akan menambah Sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan kedua khalifah sebelumnya. Jadi untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh beliau ra. dengan benar adalah ketika segala sebab yang mendorong beliau menambah adzan awal terwujud, yaitu
banyaknya orang dan rumah mereka yang jauh dari masjid. Seperti yang telah dijelaskan tadi.Selanjutnya alasan yang diungkapkan oleh ‘Utsman hampir saja tidak terwujud pada zaman kita sekarang ini, kecuali sangat jarang. Contohnya di suatu negeri yang besar yang dipenuhi oleh banyak penduduk seperti kondisi Madinah dahulu kala, di sana hanya ada satu masjid dan semua orang melakukan shalat disana, sedangkan rumah - rumah mereka jauh dari masjid, sehingga suara seorang muadzin yang mengumandangkan adzannya di dekat pintu masjid tidak sampai kepada sebagian dari mereka. Adapun suatu yang memiliki banyak masjid jami’ seperti di kota Damaskus sekarang ini, maka hanya dengan beberapa langkah saja seseorang dapat mendengarkan adzan Jum’at yang dikumandangkan di atas menara, bahkan sebagian mereka menggunakan pengeras suara, dengan semua itu terwujudlah tujuan dari apa yang dilakukan oleh utsman, yaitu memberitahukan orang lain bahwa waktu sholat jum’at telah tiba sebagaimana diungkap didalam hadits terdahulu, ini adalah makna atau tujuan yang dinukil oleh al-Qurthubi di dalam tafsirnya (XVIII/100) dari al-Mawardi: “adapun adzan pertama adalah sesuatu yang baru, dilakukan oleh ‘Utsman agar orang-orang mempersiapkan dirinya untuk mengikuti khutbah, dikarenakan kota Madinah sangat luas sedangkan penduduknya banyak.”
Jika demikian halnya, maka sesungguhnya melakukan adzan yang dilakukan oleh ‘Utsman sekarang ini termasuk di dalam Tahshiilul Haashil (berusaha untuk mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahan atas Sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw tanpa alasan yang membenarkannya.
Karena itu ‘Ali bin Abi Thalib ra ketika berada di Kufah merasa cukup dengan Sunnah Rasulullah saw dan tidak melakukan seperti yang dilakukan leh ‘Utsman, hal ini seperti yang diungkapkan di dalam tafsir al-Qurthubi.
Ibnu ‘Umar ra. berkata:
“Ketika Nabi saw naik ke atas mimbar, Bilal mengumandangkan adzan, lalu ketika Nabi saw selesai khutbah, qamat dikumandangkan sedangkan adzan pertama adalah bid’ah.”(diriwayatkan oleh Abu Thahir al-Mukhlish dalam kitabnya al-Fawaa-id (lembar ke-229/1-2)).
Adzan dilakukan ketika imam masuk, tegasnya ketika ia naik ke atas mimbar. Jadi, hanya mencukupkan saja dengan adzan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hal itu karena tidak adanya alasan untuk menambah adzan seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman, dan sebagai perwujudan dari mengikuti Sunnah Nabi saw yang bersabda:
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk didalam golonganku."(Muttafaqun ‘alaih).
Imam asy Syafi’i mengungkapkan hal senada di dalam kitabnya al-Umm (I/172-173), ungkapan itu adalah: “Aku suka jika adzan pada hari jum’at dilakukan ketika imam masuk kedalam masjid dan duduk di atas mimbar, jika seorang imam telah melakukannya (duduk di atas mimbar), maka seorang muadzin mulai mengumandangkan adzan, lalu jika selesai, maka sang imam berdiri untuk khutbah, tidak lebih dari itu.”
Kemudian beliau mengutarakan hadits as-Saib yang terdahulu, selanjutnya beliau berkata, ”Atha mengingkari bahwa ‘Utsmanlah yang melakukannya, beliau berkata, ‘Yang melakukannya adalah Mu’awiyah, siapapun yang melakukannya, maka sesungguhnya aku lebih menyukai jika ia melakukan sesuai de-ngan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sedangkan jika beberapa muadzin mengumandangkan adzan sedangkan imam berdiri di atas mimbar, dan melakukannya seperti adzan yang berlaku sekarang ini dimana ada satu adzan sebelum dikumandangkan kembali oleh beberapa orang muadzin ketika imam (Khatib) duduk diatas mimbar, maka aku membencinya, akan tetapi tidak menjadikan shalat itu rusak.” Jadi seharusnya, adzan yang dilakukan pada zaman kita yaitu adzan yang sesuai Sunnah Rasulullah saw dan bukannya Sunnah ‘Utsman. Hal itu tidak lain karena dua alasan:
Pertama: sesungguhnya adzan ‘Utsman yang dikumandangkan disana (dimasa sekarang; jika tanpa mikrofon-pen.) tidak terdengar oleh penduduk karena jaraknya yang jauh dari masjid. Bahkan orang yang melewati jalan yang berada setelah komplek dari sebelah selatan dan timur pun tidak akan mendengarnya. Jika demikian halnya, maka melakukan adzan seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman tidak akan bisa mewujudkan tujuan yang diinginkan oleh ‘Utsman, akhir-nya apa yang dilakukan hanya merupakan perbuatan sia-sia di dalam syariat yang semestinya dibersihkan dari berbagai hal yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi pada diri seorang muslim.
Kedua: sesungguhnya orang-orang yang datang ke masjid tersebut hanyalah orang-orang yang sudah bertekat sebelumnya untuk mendatanginya walaupun dari jarak yang sangat jauh, maka mereka -walaupun kita tetapkan bahwa mereka mendengarkan adzan- bukanlah adzan yang mendorong me-reka untuk mendapati shalat berjamaah dan khutbah, karena jarak mereka yang sangat jauh antara rumah mereka dengan masjid, maka mereka harus datang ke masjid se-suai dengan jarak masing-masing agar bisa melakukan shalat dan mendengarkan khutbah di sana, keadaan mereka seperti keadaan orang yang akan melakukan shalat ‘Idul Fithri dan Idul Adha di suatu lapangan (sunnah Rasul) atau masjid (jika ada faktor-faktor tertentu seperti: hujan, pemukiman terlalu padat). Di dalam shalat tersebut tidak disyari’atkan adzan tidak pula iqamat sebagai tanda masuknya waktu shalat.
Tidak ada larangan untuk melakukan adzan ‘Utsman jika adzan tersebut dikumandangkan didekat pintu luar komplek (atau pada tempat yang lebih dibutuhkan dan bermaslahat, dan bukan didekat pintu masjid, karena ia adalah adzan Nabawi) karena adzan tersebut bisa didengar jelas oleh orang banyak. Dengan demikian ia memberitahukan bahwa di dalam komplek ada sebuah masjid yang akan dilaksanakan shalat jum’at didalamnya. Dan hal ini berlaku jika seorang muadzin tidak menyiarkan adzannya yang ia kumandangkan di dekat pintu masjid dengan radio atau mikrofon. Jika tidak demikian, maka tidak boleh hal yang demikian dilakukan karena saat itu akan terjadi Tahshiihul Haashil (berusaha untuk mewujudkan se-suatu yang sudah ada) seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dan kami terangkan kembali bahwa ‘Utsman menambahkan adzan pertama (di Zauraa’) dengan alasan untuk memberitahu kepada penduduk bahwa waktu shalat Jum’at telah tiba, (bukan untuk memberitahu untuk sholat sunnah Qobliyyah Jum’at, karena sholat ini tidak dicontohkan dan tidak diperintahkan oleh Nabi saw, yang ada adalah shalat tahiyyatul masjid dan sholat sunnah semampunya sebelum adzan) artinya jika adzan Muhammady (hanya satu adzan) disiarkan dengan radio, maka tujuan yang diharapkan oleh ‘Utsman sudah terwujud. Kami yakin, seandainya radio ini sudah ada semenjak zaman ‘Utsman, dan beliau berpendapat boleh menggunakannya sebagaimana yang kita yakini, niscaya beliau (‘Utsman ra) akan merasakan cukup dengan adzan yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan memanfaatkan fasilitas radio tersebut tanpa harus menambah adzan.
------------------------------------------------------Disarikan dari kitab:
Apakah adzan 1x atau 2x pada hari jum’at?, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Ibnu Katsir.
ok
BalasHapus