Perbedaan mengenai hakekat iman merupakan perbedaan yang pertama kali muncul di kalangan ahli kitab, sejak golongan khawarij keluar dari kesatuan ummat dengan bid’ah takfirnya dengan nash-nash wa’id/ancaman atas perbuatan maksiat secara mutlak. Dengan fikrah sesatnya itu mereka menghalalkan darah kaum muslimin yang menyelisihi pendapatnya. Mereka adalah kaum yang paling keras memerangi ummat Islam dan mengkafirkannya. Kemudian muncullah se-bagai sebab akibat dari penyimpang khawarij dengan munculnya jahmiyah yang bertindak melampaui batas, membatasi iman hanya sekedar Tashdiq Khobari, yaitu pembenaran terhadap khobar/wahyu dan mengeluarkan amal dengan dua bagiannya yakni amalan hati dan anggota badan dari hakekat iman, atau ditambah lagi dengan kemunculan golongan murji’ah yang memenangkan pendapatnya hanya pada nash-nash yang berisi janji serta mengeluarkan amalan badan secara keseluruhan dari pengertian iman, meskipun mereka masih menetapkan amalan hati di dalamnya. Kemudian perbedaan tersebut diikuti dengan pemisahan dan perpecahan firqoh-firqoh sempalan dari jamaatul muslimin.
Bukankah kita saksikan, bahwa ayat-ayat yang berisi berita gembira itu senantiasa didampingi ayat-ayat yang berisi ancaman, dan ayat-ayat ancaman itu senantiasa didampingi ayat-ayat yang berisi berita gembira. Tujuannya supaya manusia gembira disertai takut. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhadap hal-hal yang tidak diridhoi oleh Alloh, hingga tidak akan gentar dan takut menghadap Allah swt kelak.
Pergolakan pada tubuh amal islami dalam menyongsong “Shohwah Islamiyah” saat ini mengalami pertikaian yang tajam, sehingga hal tersebut sangat melemahkan barisan kaum muslimin untuk dapat menghimpunkan kembali kekuatan ummat dan mempersatukan kembali perpecahan yang ada dalam amal Islami.
Intinya adalah kita harus bersatu diatas landasan yang kokoh tidak saling menghina, melaknat mencela dan perbuatan buruk lainnya.
Sebagaimana Sabda Nabi saw, menurut riwayatnya (at-Tirmidzi) yang lain dalam hadits yang dia marfu’kan dari Ibnu Mas’ud ra, disebutkan,
“Orang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, berperangai jahat dan bukan orang yang berlidah kotor.”
Oleh sebab itulah kewajiban bagi seluruh para aktivis dakwah pada amal Islami agar hendaknya menyeru kepada seluruh kaum muslimin untuk dapat berhimpun diatas landasan yang kokoh; dari perkataan-perkataan yang tsabit di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; saling “Tasamuh” yaitu toleran dalam masalah- masalah ijtihad; dan mewujudkan unsur “Takamul” yaitu saling menyempurnakan dalam rangka mencurahkan segala daya upaya menghadapi kemungkaran besar yang membuat ummat Islam sengsara. Karena sepanjang runtuhnya masa kekhalifahan Islam, banyak negeri-negeri yang terpecah diikuti dengan diberlakukannya Qonun Wadh’i (undang-undang buatan manusia yang dianggap positif oleh mereka), serta munculnya jamaah-jamaah yang dilandaskan kepada kefanatikan/figuritas tokoh serta jamaah yang dilandasi atas dasar kemaksiatan dsb. Itulah fitnah yang melanda dunia Islam saat ini, dimana tidak adanya rasa saling menyempurnakan tetapi saling melemahkan apalagi menuduh sese-orang telah keluar dari jalan salafush sholeh, sehingga bagi kelompok amal islami yang ada telah tergiring mencari alternative-alternative lain dengan bergabung kepada “Sekulerisme”, Nasionalisme”, yang dibungkus dalam produk “Demokrasi” ala baju Yahudi laknatullahi
‘alaih..
-----------------------------------------------------------
1. Iman dan Kufur
Iman dan kufur merupakan lafadz syar’i yang membutuhkan pengertian mendalam dan teliti, maka pertama kali dilakukan haruslah merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar.
Karena iman mencangkup perbuatan hati dan anggota badan serta perkataan hati dan lisan, maka iman pun bisa bertambah dengan ilmu (karena pada hakekatnya ilmu lah sesu-atu yang bisa dijadikan kepercayaan dalam hati) dan amal shaleh, juga bisa berkurang dikarenakan maksiat.
Berkata imam al-Bukhori rohimahulloh: “Saya telah menemui lebih dari seribu orang ulama di berbagai penjuru negeri, dan saya tidak melihat ada salah seorang di antara mereka yang tak sefaham bahwa iman adalah perkataan dan amalan, (bisa) bertambah dan berkurang”. (lihat kitab Fathul baari oleh Ibnu hajar al-Aysqolany: 1/47).
Makna iman seperti ini telah dinukil pula oleh al-Lalika’i dalam kitabnya “Syarhu Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” dari sejumlah besar ahli ilmu, antara lain: Imam asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahaweh, Abu Ubaid, Abu Zur’ah dan lain-lain.(lihat kitab “as-Sunnah”, oleh al-Lalika’i 1/151-186).
2. Hakekat Iman adalah Tashdiq Terhadap Khobar dan Tunduk pada Perintah.
Barangsiapa yang didalam hatinya tidak terdapat tashdiq dan ketundukan, maka dia kafir. Oleh karena itu tatkala sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi saw dan berkata: “Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar seorang Rasul”, maka ucapan mereka itu belum menjadikan mereka sebagai orang-orang muslim. Sebab perkataan itu mereka ucapkan hanya sekedar pemberitahuan apa yang ada pada (kondisi) diri mereka. Yakni, mereka berkata: “kami mengetahui dan merasa pasti bahwa engkau adalah Rasulullah” lantas mereka ditanya oleh Nabi saw: “Kenapa kalian tidak mengikutiku?” Mereka menjawab: “Kami takut dari (kemarahan) kaum kami”. Dari sini dapatlah diketahui bahwa hanya sekedar me-ngetahui dan memberitahukan kerasulan Nabi saw belum bisa disebut sebagai keimanan, sampai orang tersebut berbicara tentang iman dengan penuh keyakinan, mengandung komitmen dan ketundukan, dimana pengkhabaran tersebut mencerminkan sesuatu yang ada pada diri mereka. Orang-orang munafik memberitahukan keimanan mereka dengan dasar kebohongan, padahal sebenarnya batin mereka kafir. Orang-orang yahudi tersebut me-ngatakannya bukan dalam rangka mengiltizami ataupun tunduk, jadi mereka itu kafir baik secara zhahir maupun bathinnya. Demikian pula yang terjadi pada paman Rasulullah saw, Abu Thalib, telah tersiar luas berita tentang dirinya bahwa ia mengetahui kenabian Muhammad saw dan mengatakan lewat sepotong sya’irnya: “Telah kutahu bahwa Dien Muhammad adalah sebaik-baik Dien di muka bumi”. Akan tetapi ia enggan mengikrarkan tauhid serta nubuwwah, lantaran masih memberati agama nenek moyangnya dan takut dicela oleh kaumnya. Karena ilmunya yang ada di dalam batin tidak disertai dengan kecintaan dan ketundukan, yang kecintaan itu mencegah apa yang menjadi lawannya, yakni: kecintaan terhadap yang batil dan kebencian terhadap yang hak, maka ia belum menjadi seorang mu’min. (lihat Majmu’ Fatawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, VII/561).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Sebagaimana telah dimaklumi bahwa iman adalah (dengan) ikrar, bukan sekedar tashdiq. Sedangkan ikrar mencangkup pula perkataan hati yakni tashdiq dan amalan hati yakni ketundukan dan membenarkan atas Rasul terhadap apa yang ia khabarkan, dan tunduk kepadanya atas apa yang ia perintahkan. Sebagaimana ikrar terhadap Allah adalah mengakui-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kufur adalah tiada-nya iman. Baik ketiadaan iman itu disebabkan oleh takzib (pendustaan), atau kesombongan, atau keengganan, atau karena berpaling. Barangsiapa tidak terdapat pembenaran dan ketundukan di dalam hatinya, maka ia kafir.” (lihat Majmu’ Fatawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, VII/638-639).
Jadi ilmu seseorang yang ada didalam batinnya/hatinya wajib disertai dengan kecintaan, kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Allah Ta’ala, yang kecintaaan itu mencegah apa yang menjadi lawannya. Yaitu kebencian terhadap yang bathil dan menye-lisihi perintah Rabbnya dan kecintaan terhadap yang hak diwujudkan oleh amalan, baik lisan maupun anggota badannya.
Demikian pula fitnah yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yaitu tatkala dita-nyakan kepada mereka: “Apakah kalian mencintai agama kalian dan tunduk terhadap perintahNya?” niscaya tanpa ragu merekapun serentak menjawab: “Benar, kami mencintai Islam sebagai Dien kami dan tunduk kepada-Nya”. Kalau jawaban mereka sekedar mengetahui dan membenarkan dimulut saja tanpa diikuti oleh konsekwensi atau komitmen untuk memberlakukan hukum Allah Ta’ala bukan hukum manusia, maka hal tersebut telah menodai keimanan mereka karena ilmu yang sampai dihati mereka tidak disertai pengorbanan untuk memuliakan dan mensucikan hukum Allah Ta’ala sebagai bukti ketundukan hati mereka.
Inilah fitnah keimanan yang melanda dunia Islam dewasa ini. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: Sudahkah kita melihat kondisi umat saat ini? Apakah produk hukum yang dari barat membawa keberkahan pada seluruh umat manusia khususnya negeri kita Indonesia?
Bukankah musibah yang terus terjadi dan pengangguran yang merajalela merupakan bukti teguran Allah bahwa Undang-undang yang mereka jalankan tidak akan pernah sempurna, walaupun gonta-gantinya kepemimpinan bangsa ini?
Apakah kita membiarkan ummat jauh dari tuntunan syari’at Allah Yang Maha Sempurna? Ataukah mereka tidak mengetahui perintah-Nya atau pura-pura tak tahu? Apakah setiap orang memiliki dosa besar sehingga ketika hendak menegakkan syari’at Islam secara kaffah dianggap teroris? Bukankah orang yang membuat tandingan hukum Allah adalah merupakan dosa yang amat besar dan tak terampuni?
Apakah pejuang-pejuang Iraq, Afganistan, Palestin (dan Negara-negara yang mayoritasnya muslim) itu teroris? Sedangkan kita tahu bahwa tidaklah sama orang yang berjihad fi sabilillah itu dengan orang yang duduk-duduk. Apakah orang yang mencita-citakan masyarakat Islami dalam naungan hukum Illahi adalah khawarij. Apakah definisi khawarij menurut anda cirinya seperti itu?
“Wahai pembaca yang budiman…marilah kita galang ummat dan serukan mereka untuk mewujudkan masyarakat Islami dengan Tauhid dan Sunnah bukan dengan Syirik dan bid’ah”. “Wahai saudaraku….menegakkan hukum yang maha sempurna cukup dengan wahyu yaitu al-Qur’an dan Sunnah-sunnah RasulNya bukan dengan sistem yang bathil, demokrasi atau lainnya! Renungkan kembali atas perjuangan yang anda lakukan!! (Jadi Perkataan: “ah hukum Allah!” Apakah yang muncul dari lisannya itu wujud dari amalan hatinya atau bukan?”).
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. {Qs. Al-An’am (6) : 162-163}.
Islam diturunkan untuk jaya selamanya, untuk selalu berada di tingkat tertinggi di atas semua peraturan yang ada di bumi ini. Hal itu dikarenakan Islam adalah haq. Pemeluknya pun akan tetap jaya selama mereka berpegang kepada Islam yang murni. Betapa tidak akan jaya ketika suatu kaum tunduk menyerah pada Ilah yang agung yang ditangan-Nya-lah kejayaan itu sendiri? Dialah yang memberikan kejayaan kepada orang yang dikehendakiNya dan menanggalkannya dari orang-orang yang dikehendaki-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” {QS. Muhammad (47) : 7}.
pengirim: Abdul Hadi
Bukankah kita saksikan, bahwa ayat-ayat yang berisi berita gembira itu senantiasa didampingi ayat-ayat yang berisi ancaman, dan ayat-ayat ancaman itu senantiasa didampingi ayat-ayat yang berisi berita gembira. Tujuannya supaya manusia gembira disertai takut. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhadap hal-hal yang tidak diridhoi oleh Alloh, hingga tidak akan gentar dan takut menghadap Allah swt kelak.
Pergolakan pada tubuh amal islami dalam menyongsong “Shohwah Islamiyah” saat ini mengalami pertikaian yang tajam, sehingga hal tersebut sangat melemahkan barisan kaum muslimin untuk dapat menghimpunkan kembali kekuatan ummat dan mempersatukan kembali perpecahan yang ada dalam amal Islami.
Intinya adalah kita harus bersatu diatas landasan yang kokoh tidak saling menghina, melaknat mencela dan perbuatan buruk lainnya.
Sebagaimana Sabda Nabi saw, menurut riwayatnya (at-Tirmidzi) yang lain dalam hadits yang dia marfu’kan dari Ibnu Mas’ud ra, disebutkan,
“Orang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, berperangai jahat dan bukan orang yang berlidah kotor.”
Oleh sebab itulah kewajiban bagi seluruh para aktivis dakwah pada amal Islami agar hendaknya menyeru kepada seluruh kaum muslimin untuk dapat berhimpun diatas landasan yang kokoh; dari perkataan-perkataan yang tsabit di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; saling “Tasamuh” yaitu toleran dalam masalah- masalah ijtihad; dan mewujudkan unsur “Takamul” yaitu saling menyempurnakan dalam rangka mencurahkan segala daya upaya menghadapi kemungkaran besar yang membuat ummat Islam sengsara. Karena sepanjang runtuhnya masa kekhalifahan Islam, banyak negeri-negeri yang terpecah diikuti dengan diberlakukannya Qonun Wadh’i (undang-undang buatan manusia yang dianggap positif oleh mereka), serta munculnya jamaah-jamaah yang dilandaskan kepada kefanatikan/figuritas tokoh serta jamaah yang dilandasi atas dasar kemaksiatan dsb. Itulah fitnah yang melanda dunia Islam saat ini, dimana tidak adanya rasa saling menyempurnakan tetapi saling melemahkan apalagi menuduh sese-orang telah keluar dari jalan salafush sholeh, sehingga bagi kelompok amal islami yang ada telah tergiring mencari alternative-alternative lain dengan bergabung kepada “Sekulerisme”, Nasionalisme”, yang dibungkus dalam produk “Demokrasi” ala baju Yahudi laknatullahi
‘alaih..
-----------------------------------------------------------
1. Iman dan Kufur
Iman dan kufur merupakan lafadz syar’i yang membutuhkan pengertian mendalam dan teliti, maka pertama kali dilakukan haruslah merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar.
Karena iman mencangkup perbuatan hati dan anggota badan serta perkataan hati dan lisan, maka iman pun bisa bertambah dengan ilmu (karena pada hakekatnya ilmu lah sesu-atu yang bisa dijadikan kepercayaan dalam hati) dan amal shaleh, juga bisa berkurang dikarenakan maksiat.
Berkata imam al-Bukhori rohimahulloh: “Saya telah menemui lebih dari seribu orang ulama di berbagai penjuru negeri, dan saya tidak melihat ada salah seorang di antara mereka yang tak sefaham bahwa iman adalah perkataan dan amalan, (bisa) bertambah dan berkurang”. (lihat kitab Fathul baari oleh Ibnu hajar al-Aysqolany: 1/47).
Makna iman seperti ini telah dinukil pula oleh al-Lalika’i dalam kitabnya “Syarhu Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” dari sejumlah besar ahli ilmu, antara lain: Imam asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahaweh, Abu Ubaid, Abu Zur’ah dan lain-lain.(lihat kitab “as-Sunnah”, oleh al-Lalika’i 1/151-186).
2. Hakekat Iman adalah Tashdiq Terhadap Khobar dan Tunduk pada Perintah.
Barangsiapa yang didalam hatinya tidak terdapat tashdiq dan ketundukan, maka dia kafir. Oleh karena itu tatkala sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi saw dan berkata: “Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar seorang Rasul”, maka ucapan mereka itu belum menjadikan mereka sebagai orang-orang muslim. Sebab perkataan itu mereka ucapkan hanya sekedar pemberitahuan apa yang ada pada (kondisi) diri mereka. Yakni, mereka berkata: “kami mengetahui dan merasa pasti bahwa engkau adalah Rasulullah” lantas mereka ditanya oleh Nabi saw: “Kenapa kalian tidak mengikutiku?” Mereka menjawab: “Kami takut dari (kemarahan) kaum kami”. Dari sini dapatlah diketahui bahwa hanya sekedar me-ngetahui dan memberitahukan kerasulan Nabi saw belum bisa disebut sebagai keimanan, sampai orang tersebut berbicara tentang iman dengan penuh keyakinan, mengandung komitmen dan ketundukan, dimana pengkhabaran tersebut mencerminkan sesuatu yang ada pada diri mereka. Orang-orang munafik memberitahukan keimanan mereka dengan dasar kebohongan, padahal sebenarnya batin mereka kafir. Orang-orang yahudi tersebut me-ngatakannya bukan dalam rangka mengiltizami ataupun tunduk, jadi mereka itu kafir baik secara zhahir maupun bathinnya. Demikian pula yang terjadi pada paman Rasulullah saw, Abu Thalib, telah tersiar luas berita tentang dirinya bahwa ia mengetahui kenabian Muhammad saw dan mengatakan lewat sepotong sya’irnya: “Telah kutahu bahwa Dien Muhammad adalah sebaik-baik Dien di muka bumi”. Akan tetapi ia enggan mengikrarkan tauhid serta nubuwwah, lantaran masih memberati agama nenek moyangnya dan takut dicela oleh kaumnya. Karena ilmunya yang ada di dalam batin tidak disertai dengan kecintaan dan ketundukan, yang kecintaan itu mencegah apa yang menjadi lawannya, yakni: kecintaan terhadap yang batil dan kebencian terhadap yang hak, maka ia belum menjadi seorang mu’min. (lihat Majmu’ Fatawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, VII/561).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Sebagaimana telah dimaklumi bahwa iman adalah (dengan) ikrar, bukan sekedar tashdiq. Sedangkan ikrar mencangkup pula perkataan hati yakni tashdiq dan amalan hati yakni ketundukan dan membenarkan atas Rasul terhadap apa yang ia khabarkan, dan tunduk kepadanya atas apa yang ia perintahkan. Sebagaimana ikrar terhadap Allah adalah mengakui-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kufur adalah tiada-nya iman. Baik ketiadaan iman itu disebabkan oleh takzib (pendustaan), atau kesombongan, atau keengganan, atau karena berpaling. Barangsiapa tidak terdapat pembenaran dan ketundukan di dalam hatinya, maka ia kafir.” (lihat Majmu’ Fatawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, VII/638-639).
Jadi ilmu seseorang yang ada didalam batinnya/hatinya wajib disertai dengan kecintaan, kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Allah Ta’ala, yang kecintaaan itu mencegah apa yang menjadi lawannya. Yaitu kebencian terhadap yang bathil dan menye-lisihi perintah Rabbnya dan kecintaan terhadap yang hak diwujudkan oleh amalan, baik lisan maupun anggota badannya.
Demikian pula fitnah yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yaitu tatkala dita-nyakan kepada mereka: “Apakah kalian mencintai agama kalian dan tunduk terhadap perintahNya?” niscaya tanpa ragu merekapun serentak menjawab: “Benar, kami mencintai Islam sebagai Dien kami dan tunduk kepada-Nya”. Kalau jawaban mereka sekedar mengetahui dan membenarkan dimulut saja tanpa diikuti oleh konsekwensi atau komitmen untuk memberlakukan hukum Allah Ta’ala bukan hukum manusia, maka hal tersebut telah menodai keimanan mereka karena ilmu yang sampai dihati mereka tidak disertai pengorbanan untuk memuliakan dan mensucikan hukum Allah Ta’ala sebagai bukti ketundukan hati mereka.
Inilah fitnah keimanan yang melanda dunia Islam dewasa ini. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: Sudahkah kita melihat kondisi umat saat ini? Apakah produk hukum yang dari barat membawa keberkahan pada seluruh umat manusia khususnya negeri kita Indonesia?
Bukankah musibah yang terus terjadi dan pengangguran yang merajalela merupakan bukti teguran Allah bahwa Undang-undang yang mereka jalankan tidak akan pernah sempurna, walaupun gonta-gantinya kepemimpinan bangsa ini?
Apakah kita membiarkan ummat jauh dari tuntunan syari’at Allah Yang Maha Sempurna? Ataukah mereka tidak mengetahui perintah-Nya atau pura-pura tak tahu? Apakah setiap orang memiliki dosa besar sehingga ketika hendak menegakkan syari’at Islam secara kaffah dianggap teroris? Bukankah orang yang membuat tandingan hukum Allah adalah merupakan dosa yang amat besar dan tak terampuni?
Apakah pejuang-pejuang Iraq, Afganistan, Palestin (dan Negara-negara yang mayoritasnya muslim) itu teroris? Sedangkan kita tahu bahwa tidaklah sama orang yang berjihad fi sabilillah itu dengan orang yang duduk-duduk. Apakah orang yang mencita-citakan masyarakat Islami dalam naungan hukum Illahi adalah khawarij. Apakah definisi khawarij menurut anda cirinya seperti itu?
“Wahai pembaca yang budiman…marilah kita galang ummat dan serukan mereka untuk mewujudkan masyarakat Islami dengan Tauhid dan Sunnah bukan dengan Syirik dan bid’ah”. “Wahai saudaraku….menegakkan hukum yang maha sempurna cukup dengan wahyu yaitu al-Qur’an dan Sunnah-sunnah RasulNya bukan dengan sistem yang bathil, demokrasi atau lainnya! Renungkan kembali atas perjuangan yang anda lakukan!! (Jadi Perkataan: “ah hukum Allah!” Apakah yang muncul dari lisannya itu wujud dari amalan hatinya atau bukan?”).
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. {Qs. Al-An’am (6) : 162-163}.
Islam diturunkan untuk jaya selamanya, untuk selalu berada di tingkat tertinggi di atas semua peraturan yang ada di bumi ini. Hal itu dikarenakan Islam adalah haq. Pemeluknya pun akan tetap jaya selama mereka berpegang kepada Islam yang murni. Betapa tidak akan jaya ketika suatu kaum tunduk menyerah pada Ilah yang agung yang ditangan-Nya-lah kejayaan itu sendiri? Dialah yang memberikan kejayaan kepada orang yang dikehendakiNya dan menanggalkannya dari orang-orang yang dikehendaki-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” {QS. Muhammad (47) : 7}.
pengirim: Abdul Hadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar