Siapa yang mencaci Masa (waktu) maka dia telah menyakiti Alloh.
Saudaraku, sebagai seorang muslim kita wajib beriman kepada hari kiamat. Alloh memberi kabar tentang pengingkaran orang-orang kafir dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dari orang-orang musyrik Arab tentang hari kiamat. Dan mereka berkata sebagaimana Qs.Al-Jatsiyah (45) : 24, Alloh swt berfirman :
“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”{Qs. Al-Jaatsiyah (45) : 24}.
Begitupula perkataan dari orang musyrik: “Tidak ada lagi selain kehidupan dunia ini, suatu kaum mati dan yang lainnya hidup, di sana tidak ada hari kembali dan tidak ada kiamat.”
Inilah perkataan orang-orang musyrik Arab yang mengingkari hari kiamat dan perkataan para filosof dari kalangan musyrikin, mereka mengingkari awal penciptaan dan kembalinya. Perkataan orang-orang jahiliyah, yang sama dari itu, “Kami hanya dibinasakan oleh malam dan siang, dialah yang membinasakan, menghidupkan, dan mematikan kami. Perkataan ini Juga perkataan orang-orang ahli filsafat atheis yang mengingkari adanya pencipta. Mereka meyakini bahwa setiap 36.000 tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula, dan mereka menyangka bahwa alam ini telah berulang kali berproses tidak ada habisnya. Dengan demikian, mereka menolak logika yang benar dan mendustakan dalil. Untuk itu mereka mengatakan, “kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”.
“... dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”{Qs. Al-Jaatsiyah (45) : 24}.
Kita juga harus meyakini bahwa Alloh-lah yang mengatur masa (waktu) ini. Oleh karena itu, apapun yang terjadi pada diri kita, baik itu kesenangan ataupun kesedihan / kesusahan. bahwa itu merupakan suatu taqdir / kehendak dari Alloh (qodarulloh) sehingga kita siap menerima apa yang telah diberikan oleh Alloh Ta’ala kepada hamba-Nya.
Diriwayatkan dalam shahih Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh, bahwa Nabi saw bersabda, “Alloh Ta’ala berfirman, ‘Manusia telah menyakiti Aku. Dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa. Aku-lah yang mengatur (memutar) malam dan siang menjadi silih berganti’.” Diriwayat lain, “di TanganKu-lah siang dan malam” .
Muhammad bin Ishak berkata dari Al Ala bin Abdurrahman dari Ayahnya dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh saw ber-sabda: “Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku berhutang kepada hambaKu, tetapi ia tidak memberi-Ku, dan hamba-Ku mencaci-Ku,’ ia berkata, ‘aduhai, betapa malang masa ini, padahal Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa.’”
Saudaraku,… pada saat tertimpa musibah, kita dilarang mencaci maki masa (waktu) yaitu menisbatkan musibah dan petaka yang menimpa mereka kepada masa. Atau dengan mengatakan bahwa bahaya masa menimpa mereka dan masa telah membinasakan me-reka. Jika mereka telah menyandarkan bahaya yang menimpa mereka kepada masa, berarti mereka mencaci pelakunya. Dengan demikian cacian mereka berujung kepada Alloh Azza wa Jalla, karena Dia adalah pelaku yang sebenarnya. Maka dari itu, mereka dilarang mencaci masa.
Imam Syafi’i, Abu Ubaid dan imam-imam lainnya berkata, “Janganlah kamu mencaci masa, karena Alloh adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa.”
Diriwayatkan pula dalam tafsir al-Baghawi,
“Janganlah seorang anak Adam me-ngatakan, aduh celakalah masa, sesungguhnya Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa, Aku mengutus malam dan siang. Maka jika Aku berkehendak, Aku dapat menggenggam keduanya.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Janganlah kamu mencaci masa, karena sesungguhnya Alloh adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa.”
Mencaci maki Angin
Begitu pula dengan pelarangan mencaci maki angin, sebagai seorang muslim, kita dilarang
mencaci maki angin.
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ra bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdo’a-lah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan apa yang diperintahkan kepadanya’.” (Tirmidzi mengatakan: “Shahih”).
Saudaraku, karena bertiupnya angin disebabkan oleh perintah Alloh Ta’ala dan ia merupakan ciptaanNya. Dia-lah yang menciptakan dan memerintahkan, maka mencacinya sama saja mencaci Alloh swt, Penggerak dan Penciptanya, sebagaimana telah diterangkan dalam larangan mencaci masa (waktu). Itu tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bodoh tentang Alloh, tentang Dien-Nya dan tentang apa yang disyariatkan kepada hamba-hambaNya. Maka, nabi saw melarang ahli iman dari apa yang dikatakan orang-orang bodoh dan orang-orang yang kering dari pengetahuan, dan beliau mengarahkan mereka kepada sesuatu yang harus dikatakan ketika angin sedang bertiup, dengan sabda beliau, “Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdo’a-lah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya’.” Maksudnya jika kamu melihat sesuatu yang tidak kamu sukai dari angin bila sedang bertiup, maka kembalilah kamu kepada Robbmu dengan menTauhid-kanNya dan bacalah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan apa yang diperintahkan kepadanya’.
Dengan demikian, do’a ini merupakan ibadah kepada Alloh dan merupakan bentuk dari ketaatan kepadaNya dan kepada Rosul-Nya, juga permohonan penolakan dari keburukan yang datang kepadanya dan harapan kepada karunia dan nikmatNya. Inilah kondisi ahli Tauhid dan iman, lain halnya dengan keadaan orang-orang fasik dan pendosa yang tidak dianugrahi kenikmatan tauhid yang merupakan hakikat iman.
Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah jika tertimpa kesusahan atau cobaan, me-reka mengatakan, “Aduh celakalah masa ini.” Atau “Aduh celakalah angin ini”. Mereka menyandarkan perbuatan-perbuatan itu kepada masa dan mencacinya. Padahal sesungguhnya Pelakunya adalah Alloh Ta’ala, maka mereka seakan-akan mencaci Alloh swt dimana Dia-lah yang melakukan hal itu dalam kehidupan nyata. Untuk itu Islam melarang mencaci masa dengan ungkapan seperti ini, karena Alloh adalah Pemilik dan Pengatur Masa.
Saudaraku, apa yang terjadi yang berupa kebaikan dan keburukan adalah dengan kehendak Alloh dan kekuasaan-Nya, dengan ilmu dan hikmahNya, selain-Nya tidak ada yang ikut andil dalam urusan itu. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi. Maka yang wajib dalam hal itu adalah memuji-Nya dalam dua keadaan, berbaik sangka kepada-Nya swt serta kembali kepadaNya dengan bertaubat dan berendah diri.
Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman :
“... dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk,
agar mereka kembali (kepada kebenaran). {Qs. Al-A’raaf (7) : 168}.
“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.” {Qs. Al-Anbiyaa’(21) : 35}.
Referensi :
1. Tafsir Ibnu Katsir.
2. Tafsir al-Baghawi.
3. Kitab at-Tauhid.
4. Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Pustaka Azzam.
Saudaraku, sebagai seorang muslim kita wajib beriman kepada hari kiamat. Alloh memberi kabar tentang pengingkaran orang-orang kafir dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dari orang-orang musyrik Arab tentang hari kiamat. Dan mereka berkata sebagaimana Qs.Al-Jatsiyah (45) : 24, Alloh swt berfirman :
“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”{Qs. Al-Jaatsiyah (45) : 24}.
Begitupula perkataan dari orang musyrik: “Tidak ada lagi selain kehidupan dunia ini, suatu kaum mati dan yang lainnya hidup, di sana tidak ada hari kembali dan tidak ada kiamat.”
Inilah perkataan orang-orang musyrik Arab yang mengingkari hari kiamat dan perkataan para filosof dari kalangan musyrikin, mereka mengingkari awal penciptaan dan kembalinya. Perkataan orang-orang jahiliyah, yang sama dari itu, “Kami hanya dibinasakan oleh malam dan siang, dialah yang membinasakan, menghidupkan, dan mematikan kami. Perkataan ini Juga perkataan orang-orang ahli filsafat atheis yang mengingkari adanya pencipta. Mereka meyakini bahwa setiap 36.000 tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula, dan mereka menyangka bahwa alam ini telah berulang kali berproses tidak ada habisnya. Dengan demikian, mereka menolak logika yang benar dan mendustakan dalil. Untuk itu mereka mengatakan, “kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”.
“... dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”{Qs. Al-Jaatsiyah (45) : 24}.
Kita juga harus meyakini bahwa Alloh-lah yang mengatur masa (waktu) ini. Oleh karena itu, apapun yang terjadi pada diri kita, baik itu kesenangan ataupun kesedihan / kesusahan. bahwa itu merupakan suatu taqdir / kehendak dari Alloh (qodarulloh) sehingga kita siap menerima apa yang telah diberikan oleh Alloh Ta’ala kepada hamba-Nya.
Diriwayatkan dalam shahih Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh, bahwa Nabi saw bersabda, “Alloh Ta’ala berfirman, ‘Manusia telah menyakiti Aku. Dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa. Aku-lah yang mengatur (memutar) malam dan siang menjadi silih berganti’.” Diriwayat lain, “di TanganKu-lah siang dan malam” .
Muhammad bin Ishak berkata dari Al Ala bin Abdurrahman dari Ayahnya dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh saw ber-sabda: “Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku berhutang kepada hambaKu, tetapi ia tidak memberi-Ku, dan hamba-Ku mencaci-Ku,’ ia berkata, ‘aduhai, betapa malang masa ini, padahal Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa.’”
Saudaraku,… pada saat tertimpa musibah, kita dilarang mencaci maki masa (waktu) yaitu menisbatkan musibah dan petaka yang menimpa mereka kepada masa. Atau dengan mengatakan bahwa bahaya masa menimpa mereka dan masa telah membinasakan me-reka. Jika mereka telah menyandarkan bahaya yang menimpa mereka kepada masa, berarti mereka mencaci pelakunya. Dengan demikian cacian mereka berujung kepada Alloh Azza wa Jalla, karena Dia adalah pelaku yang sebenarnya. Maka dari itu, mereka dilarang mencaci masa.
Imam Syafi’i, Abu Ubaid dan imam-imam lainnya berkata, “Janganlah kamu mencaci masa, karena Alloh adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa.”
Diriwayatkan pula dalam tafsir al-Baghawi,
“Janganlah seorang anak Adam me-ngatakan, aduh celakalah masa, sesungguhnya Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa, Aku mengutus malam dan siang. Maka jika Aku berkehendak, Aku dapat menggenggam keduanya.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Janganlah kamu mencaci masa, karena sesungguhnya Alloh adalah Pemilik dan Pe-ngatur masa.”
Mencaci maki Angin
Begitu pula dengan pelarangan mencaci maki angin, sebagai seorang muslim, kita dilarang
mencaci maki angin.
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ra bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdo’a-lah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan apa yang diperintahkan kepadanya’.” (Tirmidzi mengatakan: “Shahih”).
Saudaraku, karena bertiupnya angin disebabkan oleh perintah Alloh Ta’ala dan ia merupakan ciptaanNya. Dia-lah yang menciptakan dan memerintahkan, maka mencacinya sama saja mencaci Alloh swt, Penggerak dan Penciptanya, sebagaimana telah diterangkan dalam larangan mencaci masa (waktu). Itu tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bodoh tentang Alloh, tentang Dien-Nya dan tentang apa yang disyariatkan kepada hamba-hambaNya. Maka, nabi saw melarang ahli iman dari apa yang dikatakan orang-orang bodoh dan orang-orang yang kering dari pengetahuan, dan beliau mengarahkan mereka kepada sesuatu yang harus dikatakan ketika angin sedang bertiup, dengan sabda beliau, “Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdo’a-lah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya’.” Maksudnya jika kamu melihat sesuatu yang tidak kamu sukai dari angin bila sedang bertiup, maka kembalilah kamu kepada Robbmu dengan menTauhid-kanNya dan bacalah, ‘Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan apa yang diperintahkan kepadanya’.
Dengan demikian, do’a ini merupakan ibadah kepada Alloh dan merupakan bentuk dari ketaatan kepadaNya dan kepada Rosul-Nya, juga permohonan penolakan dari keburukan yang datang kepadanya dan harapan kepada karunia dan nikmatNya. Inilah kondisi ahli Tauhid dan iman, lain halnya dengan keadaan orang-orang fasik dan pendosa yang tidak dianugrahi kenikmatan tauhid yang merupakan hakikat iman.
Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah jika tertimpa kesusahan atau cobaan, me-reka mengatakan, “Aduh celakalah masa ini.” Atau “Aduh celakalah angin ini”. Mereka menyandarkan perbuatan-perbuatan itu kepada masa dan mencacinya. Padahal sesungguhnya Pelakunya adalah Alloh Ta’ala, maka mereka seakan-akan mencaci Alloh swt dimana Dia-lah yang melakukan hal itu dalam kehidupan nyata. Untuk itu Islam melarang mencaci masa dengan ungkapan seperti ini, karena Alloh adalah Pemilik dan Pengatur Masa.
Saudaraku, apa yang terjadi yang berupa kebaikan dan keburukan adalah dengan kehendak Alloh dan kekuasaan-Nya, dengan ilmu dan hikmahNya, selain-Nya tidak ada yang ikut andil dalam urusan itu. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi. Maka yang wajib dalam hal itu adalah memuji-Nya dalam dua keadaan, berbaik sangka kepada-Nya swt serta kembali kepadaNya dengan bertaubat dan berendah diri.
Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman :
“... dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk,
agar mereka kembali (kepada kebenaran). {Qs. Al-A’raaf (7) : 168}.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ (٣٥)
“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.” {Qs. Al-Anbiyaa’(21) : 35}.
Referensi :
1. Tafsir Ibnu Katsir.
2. Tafsir al-Baghawi.
3. Kitab at-Tauhid.
4. Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Pustaka Azzam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar