19 April 2011

Adakah Shalat Sunnah Qobliyah Jum’at ?

Sebenarnya shalat Sunnah tersebut sama sekali tidak memiliki landasan dan kedudukan yang kuat di dalam Sunnah yang shahih. Dari hadits-hadits, Anda mengetahui bahwa condongnya matahari, adzan, khutbah dan shalat adalah suatu rangkaian yang bersambung, yang satu ada setelah yang lainnya, maka kapankah waktu Sunnah Qobliyyah?

Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, “Tidak ada satu riwayatpun dari Nabi yang menunjukkan bahwa beliau melakukan shalat sunnah Qobliyyah jum’at, karena beliau masuk ke dalam masjid, lalu dikumandangkan adzan di hadapannya setelah itu beliau berkhutbah.” (Nailul Authar (III/216),makna itu sesuai dengan al-Hafizh dalam kitab Fathul Baari (II/341)). Sedangkan para sahabat mendengarkan khutbah [-pen].

Wajib bersegera dan meninggalkan jual beli pada hari jum’at terjadi ketika adzan jum’at. Yaitu adzan ketika khatib naik ke atas mimbar (bukan adzan pertama: adzan Utsman), karena ketika turun firman Allah {Qs. Al-Jumu’ah (62):9}, yang memerintahkan untuk bersegera dan meninggalkan jual beli) adzan utsman tersebut belum ada pada zaman Nabi.

Sunnah Qobliyyah sama sekali tidak dikenal pada zaman Nabi saw, dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukannya karena tidak ada waktu yang tersedia. Ini pendapat yang benar, karena itu Ibnul Qayyim -rohimahullah- berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khairil Ibaad, “dan barangsiapa menyangka bahwa semua orang berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at ketika Bilal selesai mengumandangkan adzan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling bodoh terhadap sunnah nabi.”

Apakah Nabi saw keluar setelah matahari condong yang sebelumnya shalat Qobliyyah 4 raka’at dirumahnya?

Jawabannya: tidak, alasannya;

Pertama: Dalil yang dijadikan sebagai landasan bahwasanya nabi saw masuk ke dalam masjid setelah matahari condong, kenyataan tersebut tidak terjadi secara mutlak, karena ini khusus untuk sholat dzuhur, sedangkan untuk sholat jum’at; terkadang Nabi ke dalam masjid sebelum (awal/menjelang) matahari condong dan terkadang setelahnya.

Muhammad bin al-Hasan berkata dalam kitab al-Muwaththa: Bakar bin Amir al-Bajali meriwayatkan kepada kami dari Ibrahim dan asy-Sya’bi dari Abu Ayyub al-Anshari:

“Sesungguhnya nabi saw biasa melakukan shalat sebanyak 4 roka’at jika matahari telah condong.” Lalu Abu Ayyub bertanya kepadanya tentang hal itu, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibukakan saat itu, dan aku ingin jika kebaikanku dihitung saat itu.’ Aku bertanya, ’Apakah pada setiap raka’atnya ada bacaan al-Qur’an?’ beliau menjawab: ‘ya, ada.’ Aku bertanya, ’Apakah dipisahkan dengan salam?’ beliau menjawab: ‘Tidak’.

Dalam Muwaththa’ Muhammad (hal.158):
“Sesungguhnya Nabi saw melakukan shalat sebanyak 4 raka’at sebelum Zhuhur, ketika matahari telah condong.” Demikian pula yang dinukil oleh az-Zaila’i dalam kitab Nashbur Raayah (II/142) dari al-Muwaththa, artinya hadits diatas tersebut dikhususkan untuk shalat Zhuhur dan matahari condong.

Dan ada yang semisal dengan hadits ini bahkan lebih jelas lagi yaitu hadits’Abdullah bin as-Saib:

Sesungguhnya Rasulullah saw biasa melakukan shalat 4 roka’at setelah matahari condong sebelum zhuhur, dan beliau berkata, ’ini adalah waktu dimana pintu-pintu langit dibuka, dan aku ingin jika pada waktu ini amal shalihku yang naik ke atas.” (HR ahmad {III/411}, at-Tirmidzi {II/343} dan beliau menghasankannya,dan sanadnya shahih atas syarat Muslim).

Lihatlah point yang sangat penting di dalam hadits tersebut: “Sebelum Zhuhur.” setelah itu beliau bersabda, ”Setelah matahari condong.”

Dan setiap orang tahu bahwa condongnya matahari terjadi sebelum shalat zhuhur, batasan tersebut agar shalat Jum’at keluar dari keumuman ungkapan: “Setelah matahari condong”.

Kesimpulannya, hadits tersebut kembali kepada hukum asal yang ada di dalam hadits- hadits yang meniadakan shalat Qobliyyah Jum’at.

Kedua: bahwa Nabi saw bersegera untuk naik ke atas mimbar setelah matahari condong, maka apakah ada kesempatan untuk melakukan shalat tersebut? Dan pada masa Nabi, adzan hanya sekali.

Ketiga: seandainya nabi saw melakukan shalat empat raka’at setelah matahari condong dan sebelum adzan niscaya peristiwa tersebut akan diriwayatkan dari beliau, terlebih lagi itu adalah amalan yang aneh, yang tidak sama dengan shalat-shalat lainnya, dimana dilakukan sebelum adzan. Selanjutnya jika benar adanya, maka shalat tersebut merupakan shalat yang dilakukan oleh para Sahabat pada waktu yang sama di masjid Jami. Semua alasan tersebut sudah cukup untuk dijadikan pendorong kuat agar shalat tersebut diriwayatkan, jika kenyataannya tidak ada riwayat yang mengungkapkannya, maka ini menunjukkan bahwa shalat tersebut tidak benar adanya. Abu Syamah berkata dalam kitabnya al-Baa’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawaadits, “Jika anda berkata bahwa Nabi melakukan shalat Sunnah (Qobliyah Jum’at) di rumahnya setelah matahari condong, kemudian keluar menuju masjid (untuk khutbah). Maka komentar saya, ‘Jika hal itu benar, niscaya istri-isterinya akan meriwayatkan Sunnah tersebut, sebagaimana mereka meriwayatkan shalat yang lain yang dilakukan oleh beliau pada siang dan malam hari di rumah, sebagaimana beliau melakukan shalat malam atau Tahajjud (dan shalat sunnah lain). Dan jika hal tersebut tidak diriwayatkan dari mereka, maka kita harus mengembalikannya kepada hukum asal; bahwa shalat tersebut tidak ada, artinya shalat tersebut sama sekali tidak di syari’atkan di dalam dinul Islam.”

adapun hadits yang bunyinya:

“Dahulu Rasulullah saw melakukan shalat sebelum Jum’at sebanyak dua raka’at di rumah isterinya.”

Hadits ini bathil dan palsu, dan yang menjadikan cacat riwayat ini adalah Ishaq, ia adalah al-Aswari al-Bashri. Ibnu Ma’in –rohimahullohberkata tentangnya, “ia adalah seorang pendusta
yang suka membuat hadits palsu.”

Pendusta tersebut meriwayatkan hadits ini sendirian, ini menunjukkan kebenaran ungkapan Abu Syamah diatas. Tegasnya, jika benar adanya, niscaya orang-orang tsiqah (yang dipercaya) yang bisa dijadikan hujjah akan meriwayatkannya, apalagi jika mempercayakannya kepada seorang pendusta. Ini menunjukkan Ishaq telah memalsukan hadits tersebut, dengan arti lain bahwa hadits tersebut tidak ada asal usulnya dari Nabi saw.

Keempat: seandainya kita menerima ungkapan tentang umumnya hadits (yang menganjurkan Qobliyah jum’at), maka kita akan berkata: sesungguhnya hadits tersebut adalah hadits umum yang telah ditakhsis (dikhususkan) dengan dalil-dalil yang terdahulu, karena itu tidak benar bahwa alasan yang disebutkan sesungguhnya: “Ia adalah waktu…,” dijadikan dalil bahwa nabi saw melakukan shalat Qobliyyah Jum’at.

Argumentasi tersebut tertolak dengan nashnash yang diisyaratkan sebelumnya, maksimal alasan tersebut menunjukkan bahwa nabi saw menginginkan jika amal baiknya naik saat itu.

Tidak diragukan keinginan tersebut bisa terwujud pada hari Jum’at bagi diri Rasul lebih banyak lagi dari hari-hari biasanya, karena pada waktu beliau saw berkhutbah, menasehati orang lain dan mengingatkan mereka kepada Allah, juga mengajarkan masalah-masalah agama, itu semua tentu saja lebih baik bagi diri Rasul dari pada hanya melakukan shalat empat rokaat yang faedahnya terbatas hanya untuk dirinya, sedangkan khutbah memiliki faedah yang kembali kepada semuanya, karena itu ia lebih utama.

Kelima: hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/394) dari Ibnu ‘Umar ra berkata:

Aku melakukan shalat bersama Rasulullah saw sebanyak dua raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at setelah zhuhur, dua rokaat setelah shalat jum’at, dua raka’at setelah maghrib dan dua rokaat setelah ‘Isya’.”

Dan diriwayatkan oleh Muslim (II/162) dengan tambahan:

Maka aku melakukan shalat Ba’diyyah Maghrib, ‘Isya’ dan Jum’at bersama nabi saw di dalam rumahnya.”

Hadits ini seakan-akan merupakan nash yang menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah melakukan shalat Qabliyyah Jum’at, tidak di rumah tidak pula di mesjid, karena jika shalat itu ada, niscaya Ibnu Umar ra akan meriwayatkan kepada kita semua sebagaimana pula beliau menyebutkan dua rokaat setelahnya dan sebagaimana beliau meriwayatkan dua rokaat sebelum zhuhur. Penyebutan bahwa shalat sunnah ini khusus untuk zhuhur dan tidak untuk jum’at merupakan dalil yang paling kuat yang menunjukkan tidak adanya shalat sunnah Qabliyyah Jum’at. Kesimpulannya, maka batallah pengakuan adanya shalat Qabliyyah jum’at sebagaimana batal pula yang mengkiaskan (analogi) Qabliyyah jum’at dengan Qabliyyah zhuhur!

Tidak seorangpun dari kalangan Imam (Ulama) yang menyebutkan Adanya Shalat Qabliyyah Jum’at

Tidak adanya shalat sebelum (shalat) Jum’at yang dibatasi dengan waktu dan bilangan. Karena Sunnah tersebut hanya bisa diakui jika berdasarkan perkataan dan perbuatan Rasulullah saw, dan tidak ada satu riwayat pun baik ucapan maupun perbuatan yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw melakukannya. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan kebanyakan pengikutnya, ini pula pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad (Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-Fataawaa (I/136) dan Majmuu’ahar-Rasaail al-Kubra (II/167-168) miliknya). Al-Iraqi berkata,

"Aku sama sekali tidak pernah menemukan bahwa Imam yang tiga berpendapat adanya sunnah Qabliyyah Jum’at.” (al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadiir) ,

oleh sebab itu tidak ada penyebutan sunnah qobliyyah jum’at dalam kitab al-Umm milik Imam asy-Syafii, dan tidak pula terdapat dalam kitab al-Masaa-il karya Imam ahmad, serta tidak pula terdapat dalam kitab-kitab ulama terdahulu lainnya. (Oleh sebab itu al-Albani berkata kembali, “Sesungguhnya orang-orang yang melaksanakan shalat dua raka’at sebelum jum’at, maka mereka tidaklah mengikuti Rosul dan tidak pula mengikuti para ulama, bahkan mereka hanya ikut-ikutan kepada sebagian orang-orang sekarang yang keberadaan mereka itu sendiri sama bodohnya dalam hal ini karena mereka sebagai pengekor dan bukan sebagai mujtahid. Maka sungguh aneh jika seorang muqallid (pengekor) ternyata mengikuti muqallid juga.-pen).

Catatan: shalat sunnah yang ada hanyalah shalat Tahiyyatul masjid dan shalat sunnah mutlaq yaitu shalat sunnah semampunya sebelum adzan jum’at. ketika imam khutbah; jama’ah tidak boleh shalat qabliyyah jum’at tetapi mendengarkan khutbah tersebut. Berbeda dengan jama’ah yang baru datang saat khutbah berlangsung, maka jama’ah hendaklah shalat sunnah tahiyyatul masjid terlebih dahulu.

Apabila salah seorang diantaramu datang pada hari Jum’at sedang imam lagi berkhutbah, maka hendaklah bershalat dua rokaat dengan disingkatkan”. (Riwayat Ahmad, Muslim dan Abu Daud).

Referensi : Apakah adzan 1x atau 2x pada hari jum’at?, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Ibnu Katsir.

2 komentar:

  1. Admin akhi fillah...
    Artikel yang bagus dan mencerahkan.. Lebih afdhal kalau setiap kutipan dari kitab dicantumkan teks arabnya... biar tambah muanteeep... termasuk hadits2nya...

    abunabiel_01@yahoo.com

    BalasHapus