22 April 2011

Larangan dan Peringatan Tentang Riya’ dan Sum’ah

Kata riya’ diambil dari kata ru’yah, dan yang dimaksud adalah menampakkan amal sholeh/ibadah kepada orang-orang dengan tujuan agar mendapat pujian/dilihat manusia agar mereka memuji pelakunya.

Sedangkan Sum’ah yaitu beramal demi reputasi. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah, yaitu bahwa riya’ adalah adanya amal yang diperlihatkan seperti sholat, sedangkan sum’ah karena adanya amal yang diperdengarkan se-perti membaca, memberi nasihat atau dzikir, menceritakan tentang amalnya juga termasuk sum’ah. Riya’ dan sum’ah termasuk Syirik kecil, jadi wajib ditinggalkan. Adapun apabila memperbagus suatu amal/ibadah kita kepada Alloh swt untuk keridhoan Alloh, memperbagus se-suai dengan yang diajarkan oleh Rosululloh saw (berdasarkan dalil) maka hal ini dianjurkan.

Begitu pula dengan bacaan dzikir, boleh diperdengarkan (dengan suara sir) kepada orang lain dengan tujuan memberikan pembelajaran kepada masyarakat awam, sama halnya dengan memperlihatkan gerakan sholat.

Karena Nabi saw pernah memperdengarkan bacaan dzikir beliau kepada shahabatnya {catatan: bukan Dzikir berJama’ah/koor, karena Nabi saw melarang hal demikian dan dilarang dalam Qs. Al-A’rof (7): 55 & 205}. Beliau pernah memperlihatkan sholat beliau saw dengan cara naik keatas mimbar pada saat berdiri dan beliau juga memerintahkan kepada kita agar sholat kita sesuai dengan tata cara sholat belia saw. Begitu pula dengan para shahabat dengan berlomba-lomba dalam berinfak/beramal kebaikan. Jadi perbedaan antara riya dengan bukan riya (memperlihatkan yang diperbolehkan berdasarkan contoh tersebut diatas) adalah tujuan/niatnya seseorang. Yaitu boleh dengan tujuan untuk keridhoan Alloh swt, bukan untuk mendapatkan pujian seseorang atau demi reputasi.

Berkenaan dengan riya’, Alloh swt berfirman, yang artinya:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. {Qs. Al-Kahfi (18) : 110}.

Saudaraku, dalam Qs.Al-Kahfi: 110 diatas, kita dilarang berbuat syirik walaupun hanya sedikit. Dengan bentuk nakiroh dalam konteks nahi (larangan) menunjukkan keumumannya, dan bentuk umum ini mencakup para nabi, malaikat, orang-orang shalih, para wali dan lainnya. Sebagaimana Alloh adalah satu dan tidak ada sesembahan selainNya. Begitu pula hendaknya ibadah, hanya untukNya saja yang tidak ada sekutu bagiNya. Demikian juga halnya jika hanya Dia sebagai sembahan, maka wajiblah mengesakanNya dalam penghambaan, karena amal yang shalih adalah amal yang bersih dari riya’ dan terikat dengan as-Sunnah. Dalam ayat tersebut ada dalil, bahwa dasar din Islam yang dibawa Rosululloh saw dan rosul-rosul sebelumnya yaitu tauhid, mengesakan Alloh dengan segala macam ibadah yang diajarkan olehNya, {Lihat Qs. Al Anbiyaa’ (21): 25}.

Umat yang membangkang terhadap dasar ini ada beberapa kelompok, bisa berupa thogut yang menandingi Alloh dalam rububiyah dan ilahiyahNya dan mengajak manusia untuk menyembah dirinya, bisa berupa thogut yang mengajak manusia untuk menyembah berhala, atau bisa berupa orang musyrik yang menyeru kepada selain Alloh dan mendekatkan diri kepadanya dengan segala maupun sebagian jenis penyembahan (peribadatan), atau orang yang ragu dalam tauhid apakah hanya hak Alloh atau boleh menjadikan sekutu bagiNya dalam beribadah? Atau orang bodoh yang mempercayai bahwa kemusyrikan adalah agama yang mendekatkan diri kepada Alloh. Inilah yang biasa terjadi pada kebanyakan orang awam, karena kebodohan dan taklid mereka kepada orang-orang sebelumnya, tatkala Islam menjadi sangat asing bagi mereka dan ilmu pengetahuan islam yang disampaikan oleh para rosul telah banyak yang dilupakan.

Saudaraku, niatkanlah amal ibadah kita hanya untuk Alloh. Tahukah anda, bahwa Barangsiapa yang meniatkan amal ibadahnya untuk makhluk/untuk selain Alloh, maka Alloh akan meninggalkan pelaku syirik tersebut bersama sekutunya. Diriwayatkan dari Abu Huroiroh ra, bahwa Rosululloh saw bersabda,

“Alloh Ta’ala berfirman, ‘Aku adalah (sekutu) yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu,’” (HR. Muslim). Dalam riwayat Ibnu Majah, “Maka Aku berlepas diri (darinya) dan dia untuk sekutunya.” (HR.Muslim).

Rosululloh saw bersabda:

“Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan,” (HR. Ibnu Babawih).

Dalam syarah Hadits “sesungguhnya sah-nya amal hanya dengan niat” dalam Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam. Ibnu Rajab rohimahulloh berkata, “Ketahuilah bahwa amal untuk selain Alloh ada banyak macamnya. Terkadang hanya riya’ murni, seperti perilaku orang-orang munafik sebagaimana firman Alloh,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا (١٤٢)


yang artinya:
“…dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” {Qs. An-Nisaa’ (4): 142}.

Riya’ murni ini biasanya tidak akan terjadi pada seorang mukmin dalam menjalan-kan kewajiban sholat dan puasa, akan tetapi terkadang terjadi dalam sedekah yang wajib atau ibadah haji atau amal-amal lainnya yang zhahir atau amal-amal yang manfaatnya lebih banyak.
Dalam hal-hal semacam ini ikhlas adalah berat. Tidak diragukan oleh seorang muslim bahwa amal ini dapat menggugurkan ibadah-nya, dan pelakunya berhak mendapatkan murka dan siksa dari Alloh. Terkadang pula orang beramal karena Alloh tetapi dibarengi dengan riya’. Jika riya’ itu mengiringi amalnya sejak niat awal, maka sesungguhnya perbuatan riya’ ini sama halnya meniatkan ibadah kepada sekutuNya”. Banyak nash shahih yang menunjukkan kebatilannya.

Ibnu Rojab menyebutkan banyak hadits tentang itu, diantaranya hadits ini dan hadits Syaddad bin Aus yang diriwayatkan secara marfu’,

“Barangsiapa sholat dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa berpuasa dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa bersedekah dengan riya, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik pengambil bagian bagi orang yang membuat sekutu kepadaku. Barangsiapa membuat sekutu kepadaKu dengan sesuatu, maka kebaikan amalnya –sedikit dan banyaknya- adalah untuk sekutunya yang ia sekutukan kepada-Ku dengannya. Aku adalah Maha Cukup untuk tidak menerimanya.’” (HR. Ahmad).

Kemudian Ibnu Rajab berkata, “Jika mencampurkan niat jihad –umpamanya- dengan niat selain riya’, seperti untuk mengambil bayaran tugas atau mengambil sesuatu dari ghonimah atau untuk berdagang, maka berkuranglah pahala jihadnya dan tidak membatalkannya secara keseluruhan.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, ia berkata, “Jika salah seorang diantara kamu telah bertekad untuk berperang, lalu Alloh menggantinya dengan rezeki, maka tidak apa-apa dengan itu. Adapun apabila salah seorang diantara kamu jika diberi dirham ia berperang dan jika tidak diberi tidak berperang, dengan demikian tidak ada kebaikan dalam perbuatannya itu.”

Begitupula dengan haji seorang pemandu unta dan haji pesuruh serta haji pedagang, haji ini tetap sempurna tidak mengurangi pahala mereka sama sekali. Karena tujuan me-reka yang asli adalah haji, bukan usaha.

Mujahid berkata, “Adapun jika amal asli-nya karena Alloh kemudian tiba-tiba ada niat riya’ dan dia berusaha untuk menghilangkannya, maka hal itu tidak membahayakannya.” Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Namun jika ia terus membiarkannya, apakah riya itu menghapus amalnya atau tidak dan apakah ia mendapat pahala berdasarkan niat aslinya? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama salaf. Imam Ahmad dan Ibnu Jarir memilih bahwa amalnya tidak batil dengan adanya riya’ itu, dan pelakunya mendapat pahala berdasarkan niat aslinya. Ini riwayat dari al Hasan dan lainnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dari Nabi saw, “Beliau ditanya tentang seseorang yang melakukan suatu amal kebaikan, lalu orang-orang memujinya. Maka beliau bersabda, ‘Itu adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin’.” (HR. Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id ra secara marfu’, bahwa Rosululloh saw bersabda,

“Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada al Masih ad-Dajjal. Para saha-bat menjawab, ‘baiklah, ya Rosululloh,’ Beliau bersabda, ‘Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan sholat, dia perindah sholatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya’.” (HR. Imam Ahmad).

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Ikhlas adalah syarat sah dan diterimanya amal seseorang, begitu pula mutaba’ah (mengikuti syariah) sebagaimana al Fudhail bin Iyadh rohimahulloh berkata dalam menafsirkan firman Alloh Ta’ala,

“… supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. ...” {Qs. Al-Mulk (67): 2}.

Ia berkata, “Yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.” Kemudian ia ditanya, “Wahai
Abu Ali!, Apa itu yang paling Ikhlas dan paling benar?” ia menjawab, “Sesungguhnya amal jika dalam keadaan ikhlas dan tidak benar, tidak akan diterima. Jika dalam keadaan benar dan tidak ikhlas, tidak diterima pula. Amal itu harus ikhlas dan benar /ittiba’ (pengikutan, sesuai apa yang dicontohkan dan diperintahkan/mengikuti syariah). Amal yang ikhlas adalah amal yang karena Alloh, dan amal yang benar yaitu amal yang berdasarkan as-Sunnah (sunnah rosululloh saw).”

Saudaraku, keumuman dari Syirik kecil (Syrik Ashghor) hukumnya tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, tetapi hal ini dapat menyebabkannya menjadi syirik Akbar, tergantung keadaan orang tersebut dan tujuannya. Dia wajib bertaubat dari syirik ini dan dari segala dosa. Apakah kita ingin, amal ibadah kita menjadi sia-sia?


Referensi:
  1. Surat dari Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud, untuk Para Ulama Islam.
  2. Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam.
  3. 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad), Dr. Muhammad Faiz Almath, Gema Insani Press.
  4. Kitab at-Tauhid.
  5. Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Pustaka Azzam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar