Bulan Romadhon adalah bulan yang memiliki banyak fadhilah yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lain. Kedatangannya begitu dirindukan, bulan Romadhon adalah Sayyidus syuhur - tuannya para bulan.
Dalam bulan ini ada Lailatul Qodar. Dalam bulan ini pulalah Rosululloh saw melaksanakan I’tikaf, menghabiskan waktu selama 10 hari terakhir untuk beribadah kepada Alloh azza wa jalla. “dari ‘Aisyah ra. adalah Rosululloh saw apabila masuk malam-malam sepuluh yang terakhir bulan Romadhon beliau memperketat sarungnya dan menghidupkan waktu malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhori/ 2024).
Memperketat sarung adalah kiasan yang berarti menjauhkan diri dari wanita atau bersungguh-sungguh dalam beribadah (fathul Bari: 4/316).
Definisi I’tikaf
Secara bahasa, I’tikaf berarti menetapi sesuatu. Sedang secara istilah syari’at, I’tikaf diartikan dengan menetapi masjid dalam rangka beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla. (Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 6: 501).
Dari definisi diatas terlihat jelas bahwa maksud dari I’tikaf adalah untuk beribadah kepada Alloh swt dari dzikir, sholat, qiroatul qur’an, do’a, istighfar, taubat, maupun bentuk ibadah lainnya.
Definisi diatas juga mensyaratkan bahwa tempat dilakukannya I’tikaf adalah di masjid. Ini berdasarkan pada firman Alloh swt yang artinya:
“… dan sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. ...“ {Qs. Al-Baqarah (2) : 187}.
Imam Abu Hanifah Rohimahulloh dan Imam Ahmad Rohimahulloh mensyaratkan bahwa masjid yang dipakai i’tikaf adalah mesjid yang digunakan untuk sholat jama’ah lima waktu.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Tidak dilaksanakan I’tikaf kecuali di masjid yang dipakai untuk shalat jama’ah” (Thobroni). (Nusbur Riwayah: 2/ 490).
Madzhab Hambali mengatakan: “Tempat I’tikaf adalah dimasjid yang didalamnya dilakukan sholat jama’ah artinya masjid yang didalamnya ada imam dan muadzin.” (ad-Dar al-Mukhtar: 2/ 176).
Sebab bila I’tikaf tidak dilaksanakan di masjid ia memiliki dua kemungkinan: Pertama, pelaku I’tikaf akan meninggalkan sholat jamaah. Kedua, seandainya ia ingin sholat jamaah maka ia pasti akan meninggalkan masjidnya menuju masjid yang di dalamnya dilakukan sholat jamaah, dan ini akan senantiasa berulang setiap waktu-waktu sholat. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 2/ 696).
Adapun bila didalam masjid itu dilaksanakan sholat jum’at itu adalah baik (mustahab). Karena ia tidak perlu keluar dari tempat I’tikafnya untuk melaksanakan sholat jum’ah, pendapat ini sebagaimana diceritakan oleh wazir dan selainnya. (al-Hasyiyah ar-Roudh al-Murabba’ Syarkh Zaadul Mustaqni’; Abdurrahman Muhammad bin Qosim, hal 481).
Disyaratkan di masjid juga mengandung pengertian bahwa sesuatu tidak bisa disebut I’tikaf bila dilakukan bukan di masjid, seperti musholla, rumah, sekolahan dan sebagainya, meskipun tujuannya untuk beribadah kepada Alloh swt.
I’tikaf untuk Ta’lim, bolehkah?
Sebagaimana Nampak dalam definisi dimuka bahwa tujuan melaksanakan I’tikaf adalah untuk beribadah kepada Alloh swt. Lantas bagaimana bila kemudian kita melakukan kegiatan ta’lim dalam waktu-waktu I’tikaf tersebut?
Ta’lim (proses pembelajaran ilmu) pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ibadah. Namun yang dimaksud ibadah dalam I’tikaf adalah ibadah khusus seperti sholat, dzikir, qiroatul qur’an dan semisalnya. Jadi tidak mengapa bila kemudian diadakan majlis ilmu barang satu pelajaran atau dua pelajaran dalam sehari. Ini berbeda bila kemudian waktu-waktu I’tikaf itu justru habis terforsir untuk menelaah pelajaran dan banyak mendatangi halaqoh-halaqoh ilmu yang akhirnya berakibat ia tidak sempat melakukan ibadah-ibadah khusus sebagaimana disebutkan. Hal seperti ini bisa dipastikan merupakan sebuah kekurangan. Sesuatu yang sedikit adalah tidak apa-apa, dan saya tidak mengatakan bahwa ta’lim itu menghilangkan ruh I’tikaf. (Syekh Utsaimin dalam kitabnya, Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni, 6: 503).
Hukum I’tikaf
1. Wajib, yaitu bila sebelumnya ia telah bernadzar (berjanji) untuk I’tikaf, maka ia wajib untuk I’tikaf. Berdasar pada hadits Rosul saw (yang artinya): “Barangsiapa yang berjanji untuk menta’ati Alloh, maka hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Bukhori).
Sebagaimana Umar bin Khottob ra ketika bertanya kepada Rosululloh saw: “Ya Rosul, saya telah bernadzar untuk beri’tikaf selama semalam di masjidil Haram.” Rosululloh saw bersabda: “Laksanakanlah nadzar (janjimu)” {(HR. Bukhori Muslim), al-Mughni al-Muhtaj: I/ 449}.
2. Sunnah Muakkad, yaitu I’tikaf yang dilaksanakan pada 10 hari terakhir dalam bulan Romadhon. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas serta Aisyah bahwa Nabi saw beri’tikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Romadhon semenjak beliau datang di Madinah hingga beliau diwafatkan Alloh Ta’ala (Muttafaqun ‘alaihi).
Juga hadits, dari Aisyah ra berkata :Rosululloh saw beritikaf pada sepuluh hari ter-akhir bulan Romadhon sampai beliau diwafatkan Alloh Ta’ala, dan beri’tikaflah sepeninggal beliau para istri-isterinya”. (Muttafaq alaih).
Meski demikian, derajat hukum I’tikaf jenis ini tidaklah sampai wajib. Sebab Rosululloh saw tidak menyuruh sahabatnya. Tapi ada hadits lain yang berbunyi: “Barangsiapa yang suka untuk beri’tikaf, maka silahkan beri’tikaf” (al-Khasyiyah ar-Roudh al-Murabba’ Syarkh Zaadul Mustaqni’; Abdurrahman Muhammad bin Qosim, hal 474).
3. Mustahab (untuk setiap waktu). ( ad-Dar al-Mukhtar 2: 177).
Waktu Pelaksanaan I’tikaf
Secara umum I’tikaf dimulai sebelum malam yang pertama dan berakhir pada maghrib malam yang terakhir. Jadi, bila seseorang bernadzar untuk beri’tikaf 1 pekan, maka pada maghrib malam jum’at ia harus sudah berada di masjid dan baru keluar pada maghrib malam sabtu. (Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Musta’ni’, syekh Utsaimin).
Sedangkan bila I’tikaf itu adalah pada 10 hari terakhir Romadhon, menurut Imam Arba’ah (Imam yang empat) dimulai pada sebelum malam yang pertama (20 Romadhon sore) dan baru keluar pada maghrib malam terakhir bulan Romadhon.
Adapun hadits Rosul saw yang berbunyi (yang artinya) : “Rosululloh bila akan beri’tikaf sholat shubuh kemudian masuk ke tempat I’tikafnya.” (HR. Jamaah), maka hal ini menurut imam yang empat bahwa nabi saw masuk masjid sore harinya adapun masuk ketempat I’tikafnya setelah sholat shubuh.
Sementara itu Imam Malik –Rohimahulloh- dan imam Ahmad –Rohimahulloh- menyunahkan bagi pelaku I’tikaf untuk tetap tinggal di masjid sampai pagi 1 syawal.
Syarat-Syarat I’tikaf
Hukum I’tikaf seandainya Batal
Kalau I’tikafnya itu adalah I’tikaf yang wajib maka ia wajib mengqodho pada hari yang lain kecuali kalau batalnya itu karena murtad.
Sedangkan bila I’tikaf yang dilakukannya itu adalah I’tikaf sunah, bila ia memutusnya itu belum genap satu hari, maka tidak apa-apa (al-Badai’ 2/117; Fathul Qodir 2; 114) (keduanya ini adalah menurut madzab Hanbali).
Adapun para ahli fikih dari madzab syafi’i mereka mengatakan: “jika seorang yang beri’tikaf keluar masjid, sesaat kemudian masuk sesaat dan seterusnya, maka ia selalu mengulangi niat I’tikaf lagi setiap masuk masjid (tetap masih ada niat-pent), maka sahlah I’tikaf darinya.”
Wal akhir, kita sekarang tengah berada pada bulan romadhon yang mulia, juga pada hari-hari terakhirnya, hari-hari yang pada malamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 83 tahun 4 bulan (seribu bulan).
Malam yang “Siapa saja mendirikan sholat pada Lailatul Qodar karena iman dan mengharapkan pahalanya, maka dosa-dosa masa lampaunya akan diampuni” (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Malam yang para malaikat akan turun dengan membawa kebaikan, barokah dan rohmah.
Malam yang didalamnya mengandung keselamatan, tidak ada keburukan, dan Jin Ifrit-pun dibelenggu.
Malam yang para malaikat mengucapkan salam kepada para penghuni masjid, semenjak matahari terbenam hingga terbit matahari, melewati setiap mukmin dan berucap: “Selamat atasmu wahai orang mukmin.”
Juga malam yang para malaikat sendiri saling berucap salam diantara mereka.
Malam yang semua pintu langit dibuka dan Alloh akan menerima taubat setiap orang yang bertaubat.
Malam yang barangsiapa beramal di dalamnya adalah lebih baik daripada beramal dalam 1000 bulan ( 83 tahun 4 bulan) yang didalamnya tidak ada lailatul Qodar.
Adalah malam yang penuh keutamaan ini sangat mungkin kita raih bila kita beri’tikaf di masjid. Menghidupkan malam-malamnya dengan membaca al-Qur-an, berdoa, sholat, dzikir, istighfar dan semisalnya. Karena boleh jadi ia akan datang pada malam 21 atau 23, 25, 27, atau juga 29. Tapi tidak menutup kemungkinan juga ia akan hadir pada malam-malam yang genap. Kita semua tidak mengetahuinya.
Ya Alloh ! jadikanlah kami termasuk orang-orang yang manakala malam itu bernaung kami semua dalam keadaan tunduk khusyu’ beribadah kepadaMu. Amin.
Wallohu A’lam bish Showab.
Referensi:
Dalam bulan ini ada Lailatul Qodar. Dalam bulan ini pulalah Rosululloh saw melaksanakan I’tikaf, menghabiskan waktu selama 10 hari terakhir untuk beribadah kepada Alloh azza wa jalla. “dari ‘Aisyah ra. adalah Rosululloh saw apabila masuk malam-malam sepuluh yang terakhir bulan Romadhon beliau memperketat sarungnya dan menghidupkan waktu malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhori/ 2024).
Memperketat sarung adalah kiasan yang berarti menjauhkan diri dari wanita atau bersungguh-sungguh dalam beribadah (fathul Bari: 4/316).
Definisi I’tikaf
Secara bahasa, I’tikaf berarti menetapi sesuatu. Sedang secara istilah syari’at, I’tikaf diartikan dengan menetapi masjid dalam rangka beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla. (Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 6: 501).
Dari definisi diatas terlihat jelas bahwa maksud dari I’tikaf adalah untuk beribadah kepada Alloh swt dari dzikir, sholat, qiroatul qur’an, do’a, istighfar, taubat, maupun bentuk ibadah lainnya.
Definisi diatas juga mensyaratkan bahwa tempat dilakukannya I’tikaf adalah di masjid. Ini berdasarkan pada firman Alloh swt yang artinya:
“… dan sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. ...“ {Qs. Al-Baqarah (2) : 187}.
Imam Abu Hanifah Rohimahulloh dan Imam Ahmad Rohimahulloh mensyaratkan bahwa masjid yang dipakai i’tikaf adalah mesjid yang digunakan untuk sholat jama’ah lima waktu.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Tidak dilaksanakan I’tikaf kecuali di masjid yang dipakai untuk shalat jama’ah” (Thobroni). (Nusbur Riwayah: 2/ 490).
Madzhab Hambali mengatakan: “Tempat I’tikaf adalah dimasjid yang didalamnya dilakukan sholat jama’ah artinya masjid yang didalamnya ada imam dan muadzin.” (ad-Dar al-Mukhtar: 2/ 176).
Sebab bila I’tikaf tidak dilaksanakan di masjid ia memiliki dua kemungkinan: Pertama, pelaku I’tikaf akan meninggalkan sholat jamaah. Kedua, seandainya ia ingin sholat jamaah maka ia pasti akan meninggalkan masjidnya menuju masjid yang di dalamnya dilakukan sholat jamaah, dan ini akan senantiasa berulang setiap waktu-waktu sholat. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 2/ 696).
Adapun bila didalam masjid itu dilaksanakan sholat jum’at itu adalah baik (mustahab). Karena ia tidak perlu keluar dari tempat I’tikafnya untuk melaksanakan sholat jum’ah, pendapat ini sebagaimana diceritakan oleh wazir dan selainnya. (al-Hasyiyah ar-Roudh al-Murabba’ Syarkh Zaadul Mustaqni’; Abdurrahman Muhammad bin Qosim, hal 481).
Disyaratkan di masjid juga mengandung pengertian bahwa sesuatu tidak bisa disebut I’tikaf bila dilakukan bukan di masjid, seperti musholla, rumah, sekolahan dan sebagainya, meskipun tujuannya untuk beribadah kepada Alloh swt.
I’tikaf untuk Ta’lim, bolehkah?
Sebagaimana Nampak dalam definisi dimuka bahwa tujuan melaksanakan I’tikaf adalah untuk beribadah kepada Alloh swt. Lantas bagaimana bila kemudian kita melakukan kegiatan ta’lim dalam waktu-waktu I’tikaf tersebut?
Ta’lim (proses pembelajaran ilmu) pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ibadah. Namun yang dimaksud ibadah dalam I’tikaf adalah ibadah khusus seperti sholat, dzikir, qiroatul qur’an dan semisalnya. Jadi tidak mengapa bila kemudian diadakan majlis ilmu barang satu pelajaran atau dua pelajaran dalam sehari. Ini berbeda bila kemudian waktu-waktu I’tikaf itu justru habis terforsir untuk menelaah pelajaran dan banyak mendatangi halaqoh-halaqoh ilmu yang akhirnya berakibat ia tidak sempat melakukan ibadah-ibadah khusus sebagaimana disebutkan. Hal seperti ini bisa dipastikan merupakan sebuah kekurangan. Sesuatu yang sedikit adalah tidak apa-apa, dan saya tidak mengatakan bahwa ta’lim itu menghilangkan ruh I’tikaf. (Syekh Utsaimin dalam kitabnya, Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni, 6: 503).
Hukum I’tikaf
1. Wajib, yaitu bila sebelumnya ia telah bernadzar (berjanji) untuk I’tikaf, maka ia wajib untuk I’tikaf. Berdasar pada hadits Rosul saw (yang artinya): “Barangsiapa yang berjanji untuk menta’ati Alloh, maka hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Bukhori).
Sebagaimana Umar bin Khottob ra ketika bertanya kepada Rosululloh saw: “Ya Rosul, saya telah bernadzar untuk beri’tikaf selama semalam di masjidil Haram.” Rosululloh saw bersabda: “Laksanakanlah nadzar (janjimu)” {(HR. Bukhori Muslim), al-Mughni al-Muhtaj: I/ 449}.
2. Sunnah Muakkad, yaitu I’tikaf yang dilaksanakan pada 10 hari terakhir dalam bulan Romadhon. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas serta Aisyah bahwa Nabi saw beri’tikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Romadhon semenjak beliau datang di Madinah hingga beliau diwafatkan Alloh Ta’ala (Muttafaqun ‘alaihi).
Dalam hal ini az-Zuhri berkata: “Aneh sekali manusia itu, bagaimana mereka meninggalkan I’tikaf sedangkan Rosululloh saw melaksanakan sesuatu dan meninggalkannya. Tapi untuk masalah I’tikaf sama sekali beliau belum pernah meninggalkannya hingga beliau wafat.” (Fikih Islam Waadillatuhu 2: 693).
Juga hadits, dari Aisyah ra berkata :Rosululloh saw beritikaf pada sepuluh hari ter-akhir bulan Romadhon sampai beliau diwafatkan Alloh Ta’ala, dan beri’tikaflah sepeninggal beliau para istri-isterinya”. (Muttafaq alaih).
Meski demikian, derajat hukum I’tikaf jenis ini tidaklah sampai wajib. Sebab Rosululloh saw tidak menyuruh sahabatnya. Tapi ada hadits lain yang berbunyi: “Barangsiapa yang suka untuk beri’tikaf, maka silahkan beri’tikaf” (al-Khasyiyah ar-Roudh al-Murabba’ Syarkh Zaadul Mustaqni’; Abdurrahman Muhammad bin Qosim, hal 474).
3. Mustahab (untuk setiap waktu). ( ad-Dar al-Mukhtar 2: 177).
Waktu Pelaksanaan I’tikaf
Secara umum I’tikaf dimulai sebelum malam yang pertama dan berakhir pada maghrib malam yang terakhir. Jadi, bila seseorang bernadzar untuk beri’tikaf 1 pekan, maka pada maghrib malam jum’at ia harus sudah berada di masjid dan baru keluar pada maghrib malam sabtu. (Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Musta’ni’, syekh Utsaimin).
Sedangkan bila I’tikaf itu adalah pada 10 hari terakhir Romadhon, menurut Imam Arba’ah (Imam yang empat) dimulai pada sebelum malam yang pertama (20 Romadhon sore) dan baru keluar pada maghrib malam terakhir bulan Romadhon.
Adapun hadits Rosul saw yang berbunyi (yang artinya) : “Rosululloh bila akan beri’tikaf sholat shubuh kemudian masuk ke tempat I’tikafnya.” (HR. Jamaah), maka hal ini menurut imam yang empat bahwa nabi saw masuk masjid sore harinya adapun masuk ketempat I’tikafnya setelah sholat shubuh.
Sementara itu Imam Malik –Rohimahulloh- dan imam Ahmad –Rohimahulloh- menyunahkan bagi pelaku I’tikaf untuk tetap tinggal di masjid sampai pagi 1 syawal.
Syarat-Syarat I’tikaf
- Islam.
- Berakal.
- Berada di masjid.
- Niat. Adalah niat menunjukkan sah tidak-nya sebuah amalan. (niat berupa tekad yang kuat, kesungguhan, niat yang disertai keikhlasan hanya karena Alloh semata). Begitu juga dengan I’tikaf, ia menjadi tidak sah bila tidak disertai dengan niat. Berdasarkan kepada hadits Rosul saw: “Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat.” (HR. Bukhori Muslim).
- Suci, yaitu suci dari Janabah, haidh, dan nifas.
- Bagi seorang isteri ia harus idzin suaminya.
- Dalam keadaan berpuasa, ini menurut pendapat malikiyah, sedangkan menurut pendapat Syafi’iyah dan Hambaliyah, I’tikaf tetap sah meskipun tidak dalam keadaan puasa. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu: 2/705).
- Menyibukkan diri dalam hari-hari dan malam-malamnya untuk sholat (kecuali waktu-waktu yang terlarang untuk sholat), membaca al-Qur-an, istighfar, membaca tafsir al-Qur-an, mempelajari hadits, siroh, qishah dll. (ad-Dar al-Mukhtar I/ 185; al-Qowanin al-Fiqhiyyah: 125). Meskipun untuk mempelajari ilmu baik itu ilmu syar’i maupun bukan tidak disukai oleh para pengikut Madzhab Hambali, karena tujuan I’tikaf memang bukan untuk itu. (Fikih Islam waadillatuhu 2).
- Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Tidak memperbanyak bicara, menjauhkan diri dari perdebatan, perbantahan, mencela maupun ucapan yang keji (jorok). Rosululloh saw bersabda: “dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi 2317, Ibnu Majah: 3976). Bagaimanakah bila kemudian disaat te-ngah beri’tikaf kita dikunjungi teman atau sahabat kita dan mengajak berbincang sesaat? Dalam hal ini Syaikh Utsaimin mengatakan boleh. Sebab Shofiyah binti Hayyi ra pernah mengunjungi tempat I’tikaf nabi dan berbicara kepadanya sesaat. (HR Bukhori). Disamping itu berbicara kepada mereka bisa memberikan kebahagiaan dan bisa memperkuat tali persaudaraan.
- Seyogyanya dalam keadaan berpuasa (menurut pendapat jumhur Ulama, kecuali Madzhab Maliki).
- Dianjurkan untuk tetap tinggal pada malam hari raya, bila I’tikafnya ber-sambung dengannya. Rosululloh saw bersabda: “Barangsiapa sholat pada malam 2 hari raya, karena mengharap pahala Alloh Ta’ala, maka hatinya tidak mati di saat para hati itu mati.” (HR. Ibnu Majah, dari Abi Umamah).
- Dianjurkan I’tikaf pada bulan Romadhon karena ia adalah seutama-utama bulan dan didalamnya ada Lailatul Qodar.
- Keluar tanpa alasan yang dibenarkan. Alasan yang dibenarkan itu ada dua, yaitu yang bersifat inderawi seperti makan, minum, qodhoul hajah (buang air dan semisalnya). Kedua, yang bersifat syar’i seperti keluar untuk mandi janabah atau keluar untuk wudhu. (Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’). Sedangkan menurut madzhab maliki, seorang yang beri’tikaf tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena 4 perkara: 1. Karena kebutuhan manusia, 2. Karena perkara-perkara yang mengharuskannya keluar seperti membeli perlengkapan kehidupan, 3. Karena sakit, dan 4. Karena Haidh. (al-Qowanin al-Fiqhiyyah: 125). Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: tidak boleh keluar kecuali karena ada udzur. Berdasarkan pada hadits Aisyah ra adalah Rosululloh saw memasukkan kepalanya ke dalam (rumah)ku sedang beliau dimasjid, lalu kusisiri rambut beliau. Dan Rosululloh saw tidak masuk rumah kecuali karena suatu hajat ketika sedang beri’tikaf. (HR. Bukhori muslim).
- Berhubungan suami istri. Alloh swt berfirman: “… (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid…” {Qs. Al-Baqarah (2) : 187}.
- Murtad. Berdasarkan pada firman Alloh yang berarti: “… Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya akan hapuslah amalmu ...” {Qs. Az-Zumar (39) : 65}.
- Gila.
- Mabuk.
- Haidh dan Nifas.
- Makan dengan sengaja di siang hari yang mengakibatkan batalnya puasa.
- Melakukan dosa-dosa besar, seperti ghibah dan namimah. Tetapi menurut jumhur tidak membatalkannya.
Hukum I’tikaf seandainya Batal
Kalau I’tikafnya itu adalah I’tikaf yang wajib maka ia wajib mengqodho pada hari yang lain kecuali kalau batalnya itu karena murtad.
Sedangkan bila I’tikaf yang dilakukannya itu adalah I’tikaf sunah, bila ia memutusnya itu belum genap satu hari, maka tidak apa-apa (al-Badai’ 2/117; Fathul Qodir 2; 114) (keduanya ini adalah menurut madzab Hanbali).
Adapun para ahli fikih dari madzab syafi’i mereka mengatakan: “jika seorang yang beri’tikaf keluar masjid, sesaat kemudian masuk sesaat dan seterusnya, maka ia selalu mengulangi niat I’tikaf lagi setiap masuk masjid (tetap masih ada niat-pent), maka sahlah I’tikaf darinya.”
Wal akhir, kita sekarang tengah berada pada bulan romadhon yang mulia, juga pada hari-hari terakhirnya, hari-hari yang pada malamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 83 tahun 4 bulan (seribu bulan).
Malam yang “Siapa saja mendirikan sholat pada Lailatul Qodar karena iman dan mengharapkan pahalanya, maka dosa-dosa masa lampaunya akan diampuni” (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Malam yang para malaikat akan turun dengan membawa kebaikan, barokah dan rohmah.
Malam yang didalamnya mengandung keselamatan, tidak ada keburukan, dan Jin Ifrit-pun dibelenggu.
Malam yang para malaikat mengucapkan salam kepada para penghuni masjid, semenjak matahari terbenam hingga terbit matahari, melewati setiap mukmin dan berucap: “Selamat atasmu wahai orang mukmin.”
Juga malam yang para malaikat sendiri saling berucap salam diantara mereka.
Malam yang semua pintu langit dibuka dan Alloh akan menerima taubat setiap orang yang bertaubat.
Malam yang barangsiapa beramal di dalamnya adalah lebih baik daripada beramal dalam 1000 bulan ( 83 tahun 4 bulan) yang didalamnya tidak ada lailatul Qodar.
Adalah malam yang penuh keutamaan ini sangat mungkin kita raih bila kita beri’tikaf di masjid. Menghidupkan malam-malamnya dengan membaca al-Qur-an, berdoa, sholat, dzikir, istighfar dan semisalnya. Karena boleh jadi ia akan datang pada malam 21 atau 23, 25, 27, atau juga 29. Tapi tidak menutup kemungkinan juga ia akan hadir pada malam-malam yang genap. Kita semua tidak mengetahuinya.
Ya Alloh ! jadikanlah kami termasuk orang-orang yang manakala malam itu bernaung kami semua dalam keadaan tunduk khusyu’ beribadah kepadaMu. Amin.
Wallohu A’lam bish Showab.
Referensi:
- Bulletin dwi Jum’at: Aqwam No: 11/ II/ Romadhon 1419.
- Fathul Bari, Ibnu Hajar al’Asqolani.
- Syarkhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni, Syekh Utsaimin.
- Nusbur Riwayah.
- Ad-Dar al-Mukhtar.
- Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili.
- Al-Mughni al-Muhtaj.
- Al-KHasyiyah ar-Roudh al-Murabba’ Syarkh Zaadul Mustaqni’; Abdurrahman Muhammad bin Qosim.
- Al-Qowanin al-Fiqhiyyah.
- Maraqi al-Falah.
- Asy-syarkhu al-kabir.
- Fathul Qodir, asy Syaukani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar