26 April 2011

Benang, Gelang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir/Penangkal Marabahaya?

Saudaraku, pernahkah anda menyaksikan dan melihat di dalam tradisi suatu masyarakat setempat, yang apabila ada seorang bayi, maka oleh kedua orang tuanya digantungkan bangle, gunting atau sejenisnya, dengan maksud bayi tersebut ter-hindar dari musibah atau gangguan jin. Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini?

Saudaraku, kita dilarang keras memakai gelang, benang, wada’ah (kul buntet/kerang) dan sejenisnya dengan tujuan untuk mengusir atau menangkal musibah. Walaupun mereka mengetahui bahwa yang dapat menghilangkan atau menangkal musibah hanya pada kekuasaan
Alloh swt saja. dengan maksud agar berhala-berhala itu menjadi perantara dan pemberi syafaat di sisi Alloh swt, bukan karena berhala-berhala itu yang menghilangkan bahaya dan mengabulkan doa orang yang sangat terhimpit keadaan. Hal ini tetap dilarang, Karena hal ini termasuk Syirik Ashghor yang lebih berat daripada perbuatan dosa besar.

Dan kita juga dilarang menyimpan tamimah atau isim-isim (tulisan jimat baik berbahasa arab ataupun tulisan yang tidak dapat dimengerti) dengan maksud untuk melancarkan suatu bisnis/perdagangan atau lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan orang-orang bodoh sekarang, yaitu memakaikan gelang besi pada anaknya. Mereka meyakini, bahwa gelang itu dapat menjaga mereka dari kematian yang menimpa kawan-kawannya yang telah mati terlebih dahulu. Di antaranya juga memakai gelang perak untuk meminta berkah atau untuk menolak penyakit bawasir, dan memakai cincin yang bermata batu khusus untuk menjaga dari jin dan lain sebagainya. Alloh swt berfirman (artinya):

“…Katakanlah: “Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Alloh, jika Alloh hendak mendatangkan kemudharatan kepadaKu, Apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Alloh hendak memberi rahmat kepadaKu, Apakah mereka dapat menahan rahmatNya? Katakanlah: “Cukuplah Alloh bagiku”. kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal. {Qs. Az-Zumar (39) : 38}

Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya segala macam yang mereka serui selain Alloh itu tidak dapat melakukan sesuatu sama sekali.”

Begitulah, bahwa Alloh swt telah menandai ahli syirik dengan menyeru dan berharap kepada selain Alloh swt. Sedangkan tauhid adalah kebalikan dari itu, yaitu tidak menyeru kecuali kepada Alloh swt semata, tidak berharap dan tidak bertawakal kecuali kepada-Nya. Begitu pula segala macam ibadah tidak patut sama sekali ditujukan kepada selain Alloh swt, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan para pendahulu umat ini dan imam-imam mereka.

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, menuturkan riwayat dari Ibnu Hatim dari Qais bin al-Hajjaj dari Hansy ash-Shan’ani dari Ibnu Abbas secara marfu’, “Peliharalah (dirimu untuk) Alloh, niscaya Alloh akan memeliharamu. Peliharalah (dirimu untuk) Alloh, maka kamu akan mendapati-Nya di depanmu. Kenalilah Alloh di saat sejahtera, niscaya Alloh akan mengenalimu di saat susah. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Alloh, dan jika kamu memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Alloh. Ketahuilah bahwa umat seandainya mereka bersatu untuk membahayakan kamu dengan sesuatu yang Alloh tidak menulisnya atas kamu, mereka tidak akan membahayakan kamu; dan seandainya mereka bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu yang Alloh tidak menulisnya untukmu, maka mereka tidak akan memberi manfaat kepadamu. Buku catatan telah ditutup dan pena telah diangkat. Beramallah karena Alloh dengan syukur dalam keyakinan.

Ketahuilah, bahwa dalam kesabaran atas sesuatu yang kamu tidak menyukainya terdapat banyak kebaikan, dan bahwa kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Kenyamanan itu beserta petaka, dan bahwa kemudahan itu beserta kesulitan.”

Saudaraku, boleh saja seseorang menggantungi gunting di saku dengan tujuan untuk menggunting benang di baju dan tidak menjadi suatu kebiasaan di masyarakat, tetapi bukan bertujuan untuk mengusir atau menangkal marabahaya, karena hal ini dilarang keras.

Beliau saw memberi khabar bahwa di dunia ini, gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menolak atau mengusir sesuatu penyakit, bahkan berbahaya; karena benda itu tidak memberi manfaat, akan tetapi membahayakan dan hanya akan menambah kelemahan pada dirinya. Begitu pula setiap sesuatu yang dilarang, maka biasanya itu tidak ada manfaatnya. Seandainya sebagiannya bermanfaat, maka bahayanya akan lebih besar daripada manfaatnya.

Imron bin Hushain  menuturkan, bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki yang ditangannya terdapat gelang kuningan. Lalu beliau bertanya, “Apa ini? (menunjukkan ketidak setujuan)” Orang itu menjawab, “Penangkal sakit”. Nabi pun bersabda, “Lepaskan itu (buanglah darimu), karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (HR. Imam Ahmad).

Dijelaskan, bahwa syirik menyebabkan ketidak beruntungan selama-lamanya. Sedang-kan Keberuntungan itu adalah keberhasilan, kemenangan dan kebahagiaan bagi seseorang. Hadits ini sebagai syahid (penguat) untuk perkataan shahabat, bahwa syirik yang kecil (al Ashghor) lebih berat ketimbang dosa-dosa besar, karena itu adalah perbuatan syirik. Dan syirik tidak dapat dimaafkan karena ketidaktahuan/ dengan alasan karena tidak mengerti.

Ibnu Hibban juga meriwayatkan ini dalam shahihnya, Nabi bersabda, “Jika kamu mati, maka dirimu akan dipasrahkan kepada benda itu.”

Dijelaskan bahwa orang yang menggantungkan sesuatu barang untuk maksud-maksud seperti di atas, ia akan dititipkan keselamatannya kepada barang itu (padahal benda itu tidak dapat berbuat apa-apa). Alloh swt menjadikannya mengandalkan barang itu karena dengan demikian ia telah menentang rahmat Robbnya dan tidak membutuhkan Alloh swt, lalu berpegang kepada penyebab yang lebih lemah, bahkan berpegang dengan “bukan apa-apa”, maka Alloh swt menjadikannya mengandalkan itu sehingga itu tidak mendapatkan manfaat apapun baginya.

Dalam riwayat Imam Ahmad pula dari Uqbah bin Amir dalam hadits marfu’, “Barangsiapa menggantungkan tamimah (jimat), semoga Alloh tidak akan mengabulkan keinginannnya; dan barangsiapa menggantungkan wada’ah (kul buntet/ kerang sebagai pengusir ‘ain), semoga Alloh tidak akan memberi ketenangan pada dirinya.”

Tamimah adalah kantung berjahit berisi rajah-rajah yang mereka gantungkan pada bagian tubuh mereka dengan keyakinan, bahwa ia dapat menolak segala bahaya dari mereka. Ini merupakan kebodohan dan kese-satan, karena tidak ada yang membentengi dan menangkis kecuali Alloh swt.

Suatu ketika Rosululloh saw kedatangan sekelompok orang, lalu beliau menerima baiat sembilan orang dan menolak satu orang, maka para sahabat bertanya, “Wahai Rsululloh, kenapa engkau menerima baiat sembilan orang dan engkau menolak orang ini?” maka beliau menjawab, “Karena dia membawa tamimah.” Lalu dia memasukkan tangannya dan memotongnya. Setelah itu beliau menerima baiatnya, dan beliau bersabda, “Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka ia telah musyrik.” (Ahmad, al-Hakim meriwayatkannya dengan riwayat yang sama).

Hadits ini jelas menyebutkan, bahwa menggantungkan tamimah termasuk perbuatan syirik, karena ada tujuan untuk menolak bahaya atau mendatangkan manfaat. Ini juga menafikkan kesempurnaan keikhlasan yang merupakan pengertian Laa Ilaaha Illalloh, karena orang yang ikhlas tidak mengarahkan hatinya kepada sesuatu apapun selain Alloh swt untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Sebagaimana telah diterangkan dalam firmanNya {Qs. An-Nisaa’(4): 125}. Alloh swt menjadikannya syirik, karena mereka berkeinginan untuk menolak takdir yang telah ditulis atas mereka dan meminta kepada selain Alloh swt untuk menolak bahaya. Sedangkan Alloh swt, Dialah semata yang berkuasa menolaknya.”

Kesempurnaan tauhid tidak akan diperoleh kecuali dengan meninggalkan syirik. Seandainya termasuk syirik kecil, maka itu juga dosa besar. Jika hal semacam ini samar bagi sebagian sahabat f pada zaman nabi, maka bagaimana tidak samar bagi orang yang ilmu dan imannya lebih jauh di bawah mere-ka setelah terjadi bid’ah dan syirik? Dan ini juga termasuk keterangan makna Laa ilaaha Illalloh, karena sesungguhnya kalimat itu menafikkan segala syirik baik kecil maupun besar. {Lihat Qs. Ali Imron (3) : 18}.

Waki’ dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah, bahwasannya dia menjenguk orang sakit. Lalu dia memegang lengannya yang atas, ternyata di lengan itu terdapat benang untuk mengobati sakit panas. Lalu dia bertanya, “Apa ini?” Orang sakit itu menja-wab, “Benda untuk meruqyahku.” Lalu Hudzaifah memotongnya seraya membaca firman Alloh swt,

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” {Qs. Yusuf (12) : 106} dan berkata,

“Seandainya kamu mati dan benang itu ada padamu aku tidak akan mensholatimu.”

Ini menunjukkan pengingkaran terhadap hal semacam ini, meskipun mereka meyakini, bahwa itu merupakan sebab. Karena, sebab tidak diperbolehkan kecuali apa yang diperbolehkan Alloh swt dan Rosul-Nya serta tanpa bersandar kepada selainNya. Adapun tamimah dan sejenisnya maka ia adalah syirik yang harus diingkari dan dihilangkan dengan ucapan dan perbuatan, meskipun pemiliknya tidak mengizinkan.

Jika ini berlaku pada tali, gelang kuningan dan sejenisnya, maka bagaimana terhadap sesuatu yang lebih besar, seperti apa yang dilakukan para penyembah kuburan, thogut, dan lain sebagainya. Sebagaimana tidak samar lagi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang akal yang menjadikan kuburan sebagai perantara antara dirinya dengan Alloh swt, bahkan menjadikannya sebagai tempat berserah diri? Tidak ada upaya dan kekuatan kecuali dengan Alloh swt.


Referensi :
  1. Qurratu al-Uyun.
  2. Tafsir Ibnu Katsir.
  3. Kitab at-Tauhid.
  4. Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Pustaka Azzam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar