10 April 2011

Pentingnya Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)

Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) ber arti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian).

Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan. (Sesungguhnya jiwa manusia terkadang mengalami kelalaian dan kejemuan dalam ta’at kepada Allah swt serta kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan-Nya. Dimana berbagai amal bercampur-baur dengan berbagai kemauan dan keinginan yang terkadang tidak sejalan dengan hakekat kehambaannya. Akan tetapi terkadang manusia juga menyenangi berbagai pujian dan ucapan terima kasih yang diberikan orang lain atas dasar kebaikan yang diberikannya. Serta terkadang jiwa mereka bersemangat untuk melaksanakan berbagai kebaikan dan keutamaan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Tentu saja semuanya berpangkal pada sejauh mana jiwa manusia itu bersih dari berbagai kotoran yang menghinggapinya. Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana kita harus menyucikan jiwa kita tersebut.)

(Tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi dan Rasul.). Yaitu untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci.

Allah swt berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٢)


“ Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada me-reka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata”. (al Jumu’ah: 2)

Allah swt berfirman:

“Ya Robb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan mereka al Kitab (Al Qur’an) dan Hikmah (sunnah) serta menyucikan mereka....” [Qs. al-Baqoroh: 129] )

Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasululloh saw kedunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para shahabat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan se-bagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah saw, mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.

Kebutuhan adanya penyucian jiwa muncul akibat adanya penyimpangan jiwa manusia yang fithroh dari jalan lurusnya yang telah ditetapkan oleh Allah swt kepada seluruh manusia, dimana Dia berfirman:

“Dan ingatlah ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa me-reka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Robb kalian?”. Mereka menjawab: “Betul Engkau Robb kami, kami menjadi saksi........”. (Qs. al-A’raf: 172)

Perjanjian ini menurut ulama dikenal sebagai Mitsaqul Fthroh (perjanjian fithroh).

Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa tekun membersih- kan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu di perkuat oleh Allah swt dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam al-Qur’an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam bila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penciptaannya (yang sempurna), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”. {Qs. Asy-Syams (91) : 1-10}.

Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qal bun Salim, yaitu hati yang bersih dan suci.

Firman Allah swt:
“Yaitu di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Asy Syu’araa’: 88-89).

Hati adalah wadah yang harus disucikan guna menolak syahwat (segala bentuk keinginan yang keluar dari fithroh) dan syubhat (segala bentuk penyamaran hakekat).

Allah swt mengaitkan baiknya seluruh bentuk aktivitas amal seseorang dengan ba-iknya sebuah hati (pusat jiwa). Rasulullah saw bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal darah. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati (HR. Bukhori, no: 39)

Dengan demikian dapat diketahui bahwa upaya untuk menyucikan jiwa merupakan satu bentuk ibadah yang amat penting sebagai tolok ukur bagi baiknya seluruh aktifitas jasad yang dilakukan. Sejauh mana kita berupaya menyucikannya, sejauh itu pula amal yang kita usahakan mencapai kemuliaan atau kehinaan.

Hakekat Tazkiyatun Nafs


Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu pertama: membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati. Kedua: menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa yang hanya dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan menjadi ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seperti sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka harus mandi terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu sebuah pemanda-ngan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan mencium bau tak sedap.

Wasilah Tazkiyatun Nafs

Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar’i yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Seluruh

wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan amal-amal shalih yang telah di syariatkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kita dilarang membuat wasilah- wasilah baru dalam menyucikan jiwa ini yang menyimpang dari arahan kedua sumber hukum Islam tersebut. Misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut kejawen, dimana dalam membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) mereka melakukan puasa pati geni (puasa terus menerus sehari semalam / wishal) sambil membaca sejumlah mantra. Ada lagi yang mensyariatkan mandi di tengah malam atau berendam di sungai selama beberapa waktu yang ditentukan. Cara-cara bid’ah semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan dalam Islam.

Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat, shaum, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.

Shalat misalnya, bisa dikerjakan secara khusyu’, ikhlas dan sesuai dengan syari’at, niscaya akan menjadi pembersih jiwa, se-bagaimana sabda Rasulullah saw berikut:

Abu Hurairah ra berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bagaimanakah pendapat kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab sahabat: Tidak. Sabda Nabi: “maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas nampak sekali bahwa misi utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun Nafs. Artinya, dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyu’, jiwa akan menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah saw seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya kotoran-kotoran dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau ibadah shalat ini di tambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih lebih banyak lagi.

Demikian pula masalah shaum (puasa). Hakekat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah. Sabda Rasulullah saw:

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (HR. Al-Bukhari, Ahmad dan lainnya)

Dalam hadits yang lain disebutkan:
“Adakalanya orang berpuasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (HR. Ahmad).
Ini menunjukkan betapa soal-soal tazkiyatun nafs benar-benar mewarnai dalam ibadah puasa, sehingga tanpa membuat-buat syari’at baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah saw bila diresapi secara mendalam benar-benar telah mencukupi.

Hal yang sama dijumpai pada ibadah qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah swt yang berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah qurban.

Dan firman Allah swt:
“Daging-daging dan darahnya itu, sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya”. (Al-Hajj: 37)
Kalau diteliti lagi masih banyak sekali ibadah dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa. Dengan mengikuti apa yang diajarkan syariat, niscaya seorang muslim telah mendapatkan tazkiyatun nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah saw. Mereka adalah generasi yang paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih pemahaman agamanya, karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran ber-ittiba’ pada sunnah Rasul dan tanpa menciptakan cara-cara bid’ah dalam tazkiyatun nafs. Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang sufi yang hidup dengan syariat yang aneh-aneh dan njlimet (rumit).

Bagi seorang muslim, ia harus berupaya menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian
ibadah yang dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah swt. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insya Allah kita bisa mencapai keberuntungan. Wallahu’ a’lam bis shawab.

Maraji’:
  1. Buletin An-Nur, Thn V No. 220/ Jum’at II/ Syawwal 1420 H
  2. Tazkiyatun nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruhu ‘Ulama’us Salaf, (Dr. Ahmad Faried).
  3. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi.
  4. Risalah Ramadhan, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah.
  5. Tarbiyyah Agama Islam Terpadu (Akhlak dan adab),Lembaga studi agama islam terpadu (LESAT) Al Hidayah dan LPD Al Huda-Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar