Remeh, tapi mematikan. Seperti setetes tuba yang tercampur dalam kubangan air susu, merusak semuanya. Tak ada beda, sengaja ataupun tidak keduanya tercampurkan.
Dan ada “setetes” yang sangat berbahaya bagi eksistensi keimanan seseorang: “Istihza”, yaitu mengolok-olok seluruh, atau salah satu bagian dari agama yang mulia ini. Baik dengan sengaja maupun hanya sekedar bersenda gurau. Baik dengan lisan, maupun dengan gerakan anggota badan, seperti kedipan, sunggingan bibir dan lain sebagainya. Istihza’ (mengolok) terhadap Allah, Al-Qur’an dan Rasul-Nya hari ini dipandang sebagai hal remeh dan tidak berdampak apa-apa. Justru dari peremehan inilah, ia menjelma sebuah monster kekafiran yang kadang tersembunyi dalam selimut keimanan.
Atau mungkin, ada sebagian orang yang kebangetan pinternya, mencoba mengartikan lain, “bukan mengolok-olok, ini adalah mengkritisi, memberikan wacana agar kaum muslimin mendapat pencerahan, sehingga tidak selalu berwatak tradisionalis..”
Nah... yang seperti ini pun tidak jauh beda dengan pinang yang di belah dua, hanya saja mereka itu memang terlalu kepinteran jadinya memiliki istilah-istilah baru seperti itu. Sayangnya
lagi, istilah-istilah baru itu mereka dapatkan dari kamus-kamus yang bersemayam di negeri-negeri kaum kafirin. Oooh... Begitulah.., di negeri ini, di zaman modern ini, begitu banyak orang yang mudahnya mencela agama yang mulia ini. Sayangnya, orang yang tidak mampu menjaga lisannya tersebut adalah orang-orang yang notabene mendapat kedudukan di mata kaum muslimin, sehingga mereka pun mendapat sematan “cendikiawan muslim”.
Padahal.., seharusnya mereka maupun kita benar-benar takut terhadap adzab-Nya, dan senantiasa mengingat apa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah. Rasulullah dan para shahabatnya pernah dicaci oleh beberapa orang dalam suatu perjalanan menuju Tabuk. Mereka yang mencaci beralasan; “kami hanya bergurau dan bermain-main.” Fatal! Rasulullah tidak menerima permintaan maaf mereka. Bahkan beliau membacakan kepada mereka hukum Allah“... Katakanlah, apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman. ...” (QS. At-Taubah [9]: 65 & 66).
Apakah kita masih bisa merasakan ketena-ngan dan tidur lelap, bila saja dalam satu kali lisan kita tergelincir dalam perkara ini? Sungguh tiada guna gelar doktoral atau yang lainnya bila tidak memahami perkara ini.
Orang-orang yang berbuat istihza hanyalah orang-orang yang bodoh. Bagaimana mungkin mereka akan menghina agama yang tidak ada cacat di dalamnya dan mereka yakini, kecuali hal itu didasari oleh hawa nafsunya. Dan memang demikian, mereka itu benar-benar bodoh. Ada seorang yang begitu bodohnya mengolok agama yang mulia ini dengan menolak syari’atnya. Alasannya, karena syari’at itu merupakan bentuk arabisasi. Selidik punya selidik.., eh, yang berkata ini mempunyai nama asing di depannya, tapi lucunya dibelakangnya dia menyandang nama Muhammad. Loh.., kalau takut arabisasi, kenapa tidak ganti aja tuh belakang namanya mas, jadi Goenawan Terpuji, misalnya. Jangan Goenawan Muhammad.
Hukuman Para Pelakunya
Kaum muslimin di setiap zaman telah bersepakat bahwa orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya atau agama-Nya, maka wajib untuk dibunuh. Jika yang mencela adalah seorang muslim, maka ketika itu ia telah murtad dan wajib dibunuh karena kemurtadannya tersebut. Jika yang mencela adalah seorang kafir dzimmi, maka batallah ikatan perjanjian untuk melindunginya dan wajib untuk dibunuh.
Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan para shahabat) bahwa orang yang mencela Rasulullah wajib dibunuh.
Berkata Ibnu Qudamah: “Barang siapa mencela Allah maka dia telah kafir, sama saja apakah dengan bergurau atau sungguh-sungguh. Demikian pula (sama hukumnya dengan) orang yang mengejek Allah atau ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya…”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh, karena dia telah menjadi kafir yang murtad disebabkan (celaan tersebut), dan dia lebih buruk daripada orang kafir (yang bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb tetapi meyakini agama batil sebagai kebenaran, namun tidak (melakukan) pengolok-olokan terhadap Allah dan pencelaan terhadap-Nya.”
Berbeda dengan orang Islam yang mencela Allah dia telah mengetahui Islam sebagai agama yang benar sehingga memeluk agama Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Utsaimin, beliau berkata: “Bagaimana seseorang bisa menghina dan mengejek sesuatu perkara yang diimani. Seorang yang beriman terhadap suatu perkara, maka dia harus mengagungkan perkara tersebut dan didalam hatinya ada pengagungan yang layak dengan perkara tersebut”. Kekufuran ada dua, yaitu kufur iradh dan kufur mu’aradhah.
Orang yang mengejek (beristihza) maka ia kafir dengan kekafiran mu’aradhah. Dan dia lebih besar (kejelekkannya) daripada orang yang hanya sujud kepada patung (tanpa melakukan penetangannya). Ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Perkataan seringkali mendatangkan bencana dan kebinasaan bagi orangnya dalam keadaan dia tidak menyadarinya.
Kadang seseorang mengucapkan kalimat yang mendatangkan murka Allah sedangkan ia tidak menganggapnya sebagai suatu yang penting, namun kalimat tersebut menjerumuskannya ke dalam api neraka. Na’udzubillah.
Referensi : Buletin Al Huda, Bogor. Edisi ke-11 & 12, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar