Ada yang namanya mahalabiu, yaitu apa yang dimaksudkan komunikator, disengaja untuk berbeda dengan maksud yang ditangkap komunikan. Seperti kita bercanda kepada teman kita dengan berpura-pura menawarkan kopi, “Antum mau kopi...?” Teman kita menjawab, “Jelas dong... mana?” Lalu kita mengatakan, “Ha..ha.. Sama saya juga mau...?”
Nah seperti ini namanya mahalabiu, maksud kita itu bukan menawarkan kopi. Tetapi dengan bahasa penawaran seperti itu, teman kita menyangka bahwa kita menawarkan kopi. Kalau tidak dimaksudkan bercanda, tentu saja berbahaya.
Tidak berbohong memang, tapi bisa me-nimbulkan asumsi yang berlebihan.
Pada beberapa kasus, kita pun sering mendapati Rasulullah melakukan yang demikian. Seperti ketika ada nenek-nenek yang meminta dido’akan oleh Rasulullah agar dimasukkan ke dalam surga bersamanya. Maka Rasulullah me-ngatakan, “Di surga tidak ada nenek-nenek..!” Maksudnya baru beliau jelaskan setelah si nenek menangis, bahwa ketika masuk surga, semua insan beriman menjadi muda kembali.
Ada lagi yang lainnya. Yang ini jelas-jelas sebuah kebohongan, bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena kebohongan ini menyangkut dari prinsip aqidah Islam. Tetapi seperti mahalabiu, kebohongan ini pun masih memiliki beberapa maksud yang dimungkinkan. Dan kebohongan seperti ini masih bisa dimaafkan, jika sipelaku benar-benar dalam kondisi yang sudah sangat terjepit. Seperti ia diancam akan dibunuh jika tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Nah... bagi seorang muslim yang terancam dalam situasi seperti ini, dimana situasinya sudah benar-benar genting, dalam kondisi pengancam dan yang diancam saling berhadapan, tidak ada kekuatan untuk melawan dan tidak kemungkinan lari lagi, maka dalam hal ini diperbolehkan bagi dia untuk berbohong. Tetapi, tetap tidak dibolehkan begitu saja mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, hatinya harus tetap meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulloh dan harus diusahakan memberi jawaban yang masih memiliki beberapa kemungkinan.
Seperti pada zaman dahulu, ada seorang ulama yang dipaksa menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Setelah situasinya sudah tidak memungkinkan, ia pun berucap, “Zabur (sambil mengangkat salah satu jarinya), Taurat (diangkat lagi salah satu jarinyanya dan begitu pun ketika menyebutkan: Injil dan Al-Qur’an, (hingga terangkat keempat jarinya)...” Ia melanjutkan dengan menunjuk keempat jarinya yang diangkat...
“Semuanya ini adalah makhluk...”. Tentu, yang dimaksud ulama itu bukan keempat Kitab itu makhluk, tetapi keempat jari itu adalah makhluk.
Retorika Kemunafikan
Lain di mulut lain di hati... ini merupakan bentuk lain lagi yang jauh dari kedua kondisi di atas. Kemunafikan...? Ya kemunafikan... tidak ada bentuk lain lagi yang memegang definisi simpel di atas kecuali kemunafikan.
Bukankah aneh? Ada orang yang mengamalkan apa yang dibawa oleh Rasulullah, namun dia sendiri membencinya, menginginkan agar yang ia kerjakan itu musnah? Itulah kemunafikan, suatu bentuk kekafiran yang samar. Dan bahayanya, bagi orang yang sudah terjangkiti penyakit ini, maka ia pasti menjadi musuh yang menyelinap dan racun yang mematikan. Tak ada musuh yang lebih licik dari kemunafikan yang bersarang di ketiak keimanan. Kadang ia menjadi alat yang dimanfaatkan musuh terang-terangan. Sering juga ia menjadi dirinya sendiri, mengambil keuntungan di saat lengahnya barisan kebenaran.
Kemunafikan adalah retorika kepalsuan iman yang pada zaman ini gandrung dipertontonkan. Berbeda dengan para pendahulunya di zaman Rasulullah yang tidak berani vokal menentang syari’at dan hanya menyembunyikan kekufuran didalam hatinya dengan bermantelkan Islam, orang-orang munafik modern zaman ini begitu nyaringnya menentang Islam dan syari’atnya, walaupun begitu ciri mereka masih sama, yaitu badan mereka masih berbungkus baju muslim.
Tetapi tetap saja, baik moyang atau generasi penerusnya, mereka memiliki spirit yang sama: menohok kebenaran dari dalam. Penampilannya begitu mempesona. Ia adalah cendikiawan yang selalu didengar kata-katanya. Pembicaraannya begitu meyakinkan. Ia beragumen, membangun kerangka-kerangka pikir kosong yang didengarkan dengan kagum. Tetapi ia sendiri ragu dengan yang ia katakan, khawatir seolah ia selalu diteriaki dengan keras.
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mere-ka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipa-lingkan (dari kebenaran)?” (QS. Munafiqun [63] : 4).
Generasi awal kemunafikan dengan Ibnu Ubay bin Salul sebagai gembongnya selalu berusaha “menjatuhkan” Rasulullah beserta para sahabatnya.
Mereka mengkritisi Rasulullah, menafsirkan Al-Qur’an dengan seenak nafsu tanpa ada pengagungan dan penghormatan. Sungguh jelas kekafiran mereka.
Bersandar dalam kepura-puraan, ‘Abdullah ibn Ubay bin Salul dan wajah-wajah masa kininya yang tak berubah menipu kanan dan kiri. Musuh-musuh nyata siap memberikan dukungan dana. Dan munafik akan siap bekerja menjadi stuntman bagi syaithan-syaithannya dalam setiap aksi penentangan atau pengacauan kebenaran.
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS. Al-Baqarah [2]: 14).
Betapa celakanya kemunafikan. Ia merupa-kan tempat naungan bagi para pengecut dari golongan orang kafir yang berusaha mencari celah antara keimanan dan kekafiran, tapi sa-yang ini membuatnya terperosok gosong ke kerak jahannam. (lihat QS.An-Nisaa’[4]: 143 & 145).
Itulah balasan yang paling pantas bagi orang-orang yang menjadi musuh dalam selimut, para pengkhianat yang selalu berbicara di belakang, bersedih ketika Islam jaya dan sebaliknya senang bila Islam mengalami kemunduran. Sungguh... semoga Allah membinasakan kalian wahai orang-orang munafiq.
Pembatal Keislaman ke-6 : Orang-orang yang mengolok-olok (istihza) agama yang mulia ini, baik itu sengaja atau hanya bersenda gurau.
Remeh, tapi mematikan. Seperti setetes tuba yang tercampur dalam kubangan air susu, merusak semuanya. Tak ada beda, sengaja ataupun tidak keduanya tercampurkan.
Dan ada “setetes” yang sangat berbahaya bagi eksistensi keimanan seseorang: “Istihza”, yaitu mengolok-olok seluruh, atau salah satu bagian dari agama yang mulia ini. Baik dengan sengaja maupun hanya sekedar bersenda gurau. Baik dengan lisan, maupun dengan gerakan anggota badan, seperti kedipan, sunggingan bibir dan lain sebagainya. Istihza’ (mengolok) terhadap Allah, Al-Qur’an dan Rasul-Nya hari ini dipandang sebagai hal remeh dan tidak berdampak apa-apa. Justru dari peremehan inilah, ia menjelma sebuah monster kekafiran yang kadang tersembunyi dalam selimut keimanan.
Atau mungkin, ada sebagian orang yang kebangetan pinternya, mencoba mengartikan lain, “bukan mengolok-olok, ini adalah mengkritisi, memberikan wacana agar kaum muslimin mendapat pencerahan, sehingga tidak selalu berwatak tradisionalis..”
Nah... yang seperti ini pun tidak jauh beda dengan pinang yang di belah dua, hanya saja mereka itu memang terlalu kepinteran jadinya memiliki istilah-istilah baru seperti itu. Sayangnya
lagi, istilah-istilah baru itu mereka dapatkan dari kamus-kamus yang bersemayam di negeri-negeri kaum kafirin. Oooh... Begitulah.., di negeri ini, di zaman modern ini, begitu banyak orang yang mudahnya mencela agama yang mulia ini. Sayangnya, orang yang tidak mampu menjaga lisannya tersebut adalah orang-orang yang notabene mendapat kedudukan di mata kaum muslimin, sehingga mereka pun mendapat sematan “cendikiawan muslim”.
Padahal.., seharusnya mereka maupun kita benar-benar takut terhadap adzab-Nya, dan senantiasa mengingat apa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah. Rasulullah dan para shahabatnya pernah dicaci oleh beberapa orang dalam suatu perjalanan menuju Tabuk. Mereka yang mencaci beralasan; “kami hanya bergurau dan bermain-main.” Fatal! Rasulullah tidak menerima permintaan maaf mereka. Bahkan beliau membacakan kepada mereka hukum Allah“... Katakanlah, apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman. ...” (QS. At-Taubah [9]: 65 & 66).
Apakah kita masih bisa merasakan ketena-ngan dan tidur lelap, bila saja dalam satu kali lisan kita tergelincir dalam perkara ini? Sungguh tiada guna gelar doktoral atau yang lainnya bila tidak memahami perkara ini.
Orang-orang yang berbuat istihza hanyalah orang-orang yang bodoh. Bagaimana mungkin mereka akan menghina agama yang tidak ada cacat di dalamnya dan mereka yakini, kecuali hal itu didasari oleh hawa nafsunya. Dan memang demikian, mereka itu benar-benar bodoh. Ada seorang yang begitu bodohnya mengolok agama yang mulia ini dengan menolak syari’atnya. Alasannya, karena syari’at itu merupakan bentuk arabisasi. Selidik punya selidik.., eh, yang berkata ini mempunyai nama asing di depannya, tapi lucunya dibelakangnya dia menyandang nama Muhammad. Loh.., kalau takut arabisasi, kenapa tidak ganti aja tuh belakang namanya mas, jadi Goenawan Terpuji, misalnya. Jangan Goenawan Muhammad.
Hukuman Para Pelakunya
Kaum muslimin di setiap zaman telah bersepakat bahwa orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya atau agama-Nya, maka wajib untuk dibunuh. Jika yang mencela adalah seorang muslim, maka ketika itu ia telah murtad dan wajib dibunuh karena kemurtadannya tersebut. Jika yang mencela adalah seorang kafir dzimmi, maka batallah ikatan perjanjian untuk melindunginya dan wajib untuk dibunuh.
Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan para shahabat) bahwa orang yang mencela Rasulullah wajib dibunuh.
Berkata Ibnu Qudamah: “Barang siapa mencela Allah maka dia telah kafir, sama saja apakah dengan bergurau atau sungguh-sungguh. Demikian pula (sama hukumnya dengan) orang yang mengejek Allah atau ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya…”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh, karena dia telah menjadi kafir yang murtad disebabkan (celaan tersebut), dan dia lebih buruk daripada orang kafir (yang bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb tetapi meyakini agama batil sebagai kebenaran, namun tidak (melakukan) pengolok-olokan terhadap Allah dan pencelaan terhadap-Nya.”
Berbeda dengan orang Islam yang mencela Allah dia telah mengetahui Islam sebagai agama yang benar sehingga memeluk agama Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Utsaimin, beliau berkata: “Bagaimana seseorang bisa menghina dan mengejek sesuatu perkara yang diimani. Seorang yang beriman terhadap suatu perkara, maka dia harus mengagungkan perkara tersebut dan didalam hatinya ada pengagungan yang layak dengan perkara tersebut”. Kekufuran ada dua, yaitu kufur iradh dan kufur mu’aradhah.
Orang yang mengejek (beristihza) maka ia kafir dengan kekafiran mu’aradhah. Dan dia lebih besar (kejelekkannya) daripada orang yang hanya sujud kepada patung (tanpa melakukan penetangannya). Ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Perkataan seringkali mendatangkan bencana dan kebinasaan bagi orangnya dalam keadaan dia tidak menyadarinya.
Kadang seseorang mengucapkan kalimat yang mendatangkan murka Allah sedangkan ia tidak menganggapnya sebagai suatu yang penting, namun kalimat tersebut menjerumuskannya ke dalam api neraka. Na’udzubillah.
Referensi : Buletin Al Huda, Bogor. Edisi ke-11 & 12, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar