10 April 2011

Menundukkan Hawa Nafsu

Hawa nafsu adalah lawan kebenaran (al-haq). Setiap saat keduanya senantiasa berseteru. Adakalanya hawa nafsu mengalahkan kebenaran. Ini terjadi bila benteng iman seseorang jebol, tak mampu menahan gempuran bisikan setan. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, hawa nafsu akan melumatnya di jurang kesesatan.

Secara bahasa, hawa nafsu berarti jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang sangat rendah. Karena itu, siapapun yang memperturutkan hawa nafsu, berarti telah menjatuhkan keluhuran martabatnya sebagai hamba Allah SWT ke martabat hewani. Fitrahnya yang suci pun tercemar limbah dosa yang sangat nista. Bahkan, seorang alim yang semestinya menduduki peringkat shiddiqin sekali pun, bisa saja tergelincir ke martabat yang sangat hina.

Perhatikanlah firman Allah SWT :
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. ” (QS. Al- A’raaf : 175-176).

Dalam Fawaidul Fawaid, Ibnu Qoyyim al-Jauziah menyimpulkan bahwa ayat tersebut merupakan celaan terhadap para pengikut hawa nafsu. Ciri- ciri mereka telah diungkap firman Allah tersebut secara gamblang. Ia lebih memilih kekufuran daripada iman. Ia tanggalkan keimanannya layaknya seekor ular menanggalkan seluruh kulitnya.

Karena mengikuti bisikan setan, ia tersesat setelah mendapat petunjuk. Akhirnya, Allah SWT tidak akan mengangkat derajatnya berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Bahkan, ilmu tersebut menjadi bumerang dan penyebab kehancuran. Ambisi-ambisi duniawi telah mendorongnya ke jurang kehinaan. Saking hinanya, Allah menyamakannya dengan anjing rakus yang lidahnya selalu terjulur. Dia sangat bernafsu untuk meraup kenikmatan dunia sebanyak mungkin. Sifat yang sama diungkapkan oleh Rasulullah saw : “Sungguh akan keluar dari kalangan umatku kaum yang berlari bersama hawa nafsunya seperti anjing berlari bersama tuannya”. (HR.Abu Daud).

Sayangnya, meski bahayanya begitu dahsyat, kebanyakan manusia malah bertekuk lutut bahkan menghambakan dirinya kepada hawa nafsu. “Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ? Dan, Allah menyesatkannya berdasarkan pengetahuan-
Nya. Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya? Siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah menyesatkannya ? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?” (QS. Al Jatsiyah : 23).

Akibat menyembah hawa nafsu, menurut Ibnul Qoyyim, seseorang akan mengabdikan seluruh cinta, takut, harap, marah, dan martabat dirinya kepada selain Allah. Jika mencintai sesuatu, maka ia mencintainya karena hawa nafsu. Sebaliknya bila membenci sesuatu maka ia membencinya karena hawa nafsu pula. Hawa nafsu akan lebih ia utamakan daripada keridhaan Rabbnya. Pendeknya, hawa nafsu adalah pemimpin, syahwat sebagai komandannya, kebodohan adalah pengiringnya, dan kelalaian adalah kendaraannya.

Jika seseorang telah terjerat hawa nafsu, maka setiap saat kerusakan lah yang akan ditebarkannya. Mata hatinya telah tertutup rapat dari kebenaran. Rasa kemanusiaannya yang suci telah pudar dan berganti kebengisan. Mereka itulah kelompok manusia yang paling
tersesat dari jalan kebenaran. “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (QS. Al-Qashash : 50).

Mengingat dahsyatnya bahaya hawa nafsu, maka tidak ada jalan lain bagi umat islam kecuali bermujahadah (berjuang keras) untuk menundukkannya. Untuk itu, Rasulullah saw mengultimatum umatnya,
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga hawa nafsunya
mau tunduk mengikuti (kebenaran) yang aku bawa”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Setidaknya ada dua cara untuk menundukkan hawa nafsu. Pertama, mengenal Allah SWT dengan mendalam serta merasakan kebesaran dan keagungan- Nya. Semakin mendalam seseorang mengenal Allah, maka semakin besar pula rasa cinta dan takutnya kepada Allah
yang Maha Kuasa. Maka rasa takut inilah yang nantinya dapat mendorongnya untuk mengekang dan menundukkan hawa nafsunya. Selain itu, keinginan untuk mendapat ridha dan surga-Nya tidak mungkin tercapai tanpa dengan mengekang diri dari bertekuk lutut dan bersembah sujud kepada hawa nafsu. Sebagaimana Allah berjanji lewat firman-
Nya :

“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran dan keagungan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surga lah tempat tinggalnya”. (QS. An-Nazi’at : 40 - 41).

Kedua, hendaknya kita benar-benar menyadari bahwa mengikuti hawa nafsu akan menjatuhkan martabat kita yang tinggi serta merusak pahala amal-amal yang sudah susah payah kita kerjakan. Hawa nafsu tidak masuk kedalam amal ibadah kita kecuali pasti hanya akan menimbulkan riya dan bid’ah (mengada-ada dalam ibadah). Para pengikut hawa nafsu adalah orang-orang yang lemah iman dan nilai tauhidnya. Karena itu, ditengah krisis moral dan degradasi (perubahan) akhlaq yang kian melangit serta makin maraknya era globalisasi pergaulan yang tidak sehat ini, sudah saatnya kita wajib melakukan introspeksi.
Apakah hari-hari yang kita lalui hanya kita habiskan untuk mengikuti dan memperturutkan setiap keinginan hawa nafsu kita? Kalau memang iya, mari kita semua bersegera untuk bertaubat dari menjadi hamba hawa nafsu menuju jalan Allah SWT yang lurus, yaitu menjadi hamba Allah yang hakiki.

Untuk lebih memotivasi kita semua dalam menundukkan hawa nafsu mari kita simak dan amalkan wasiat Rasulullah saw lewat sabdanya, “ Orang yang bijak, cerdik, dan perkasa itu adalah orang yang dapat mengendalikan dan menundukkan hawa nafsunya dan beramal
(shalih yang banyak) untuk (bekal) di akhirat. Sedangkan orang yang lemah itu yaitu orang yang mengikuti kemauan hawa nafsunya dan terlalu banyak berangan-angan terhadap pemberian Allah SWT”. (HR. Tirmidzi).

Semoga kita selamat dari mengikuti keinginan hawa nafsu, amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Rujukan :
1. Tabloid MQ, No.06/Vol.6/Oktober 2005 /Sya’ban-Ramadhan 1426 H.
2. Majalah Islam Sabili, M. Jundullah Rabbani, No. 5 TH. VIII 23 Agustus 2000 /23 Jumadil Awal 1421 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar