07 April 2011

Makna dan Konsekuensi Laa ilaaha illallaah

Makna Laa ilaaha illallah adalah “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata”.
Kalimat agung ini mengandung penegasan bahwa satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah. Sedangkan sesembahan lainnya adalah sesembahan yang batil, karena memang tidak berhak untuk disembah.
Oleh karena inilah, banyak dijumpai ayat Al-Qur’an yang memerintahkan beribadah ha-nya kepada Allah dan menolak segala macam sesembahan selain-Nya.
Sebab beribadah kepada Allah itu tidak sah, bila masih disertai dengan noda syirik.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. ...” {Qs. An Nisa’(4) : 36}.
Allah Ta’ala juga menyatakan:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut *) dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. {Qs. Al Baqarah (2) : 256}.
*) Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
“dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”,...”. {Qs. An Nahl (16) : 36}.
Setiap Rasul pasti berkata kepada umatnya,
“... Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. ...” {Qs. Al A’raf (7) : 59}.dan masih banyak lagi ayat yang senada.
Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata,
“Dari sini jelaslah bahwa ucapan hamba Laa Ilaaha illallah merupakan pengakuan (hamba bahwa) ia tidak memiliki sesembahan selain Allah. Sedangkan makna al ilaahu adalah dzat yang ditaati dan tidak dimaksiati disertai perasaan takut, pengagungan, cinta, harap, tawakkal, meminta, dan berdoa kepadaNya. Ini semuanya tidak pantas diberikan kecuali hanya untuk Allah”.
Oleh sebab itu, tatkala Nabi saw berkata kepada orang kafir Quraisy, “Katakanlah Laa ilaaha illallah!” mereka menjawab, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” {Qs. Ash Shad (38) : 5}.
Mereka memahami bahwa kalimat ini memiliki maksud membatalkan seluruh bentuk peribadatan kepada berhala dan hanya beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu, mereka tidak mau mengucapkannya. Jadi, jelaslah bahwa makna dan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan segala macam peribadatan kepada selain-Nya. Dengan demikian, bila seseorang hamba telah mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan sendirinya ia telah mengumandangkan wajib (baginya) beribadah hanya kepada Allah dan batilnya beribadah kepada selainnya, baik berupa kuburan, para wali, dan orang-orang shalih. Ini merupakan bantahan atas keyakinan para pemuja kubur pada masa ini dan semisal-nya, (dimana mereka) beranggapan (bahwa) makna Laa ilaaha illallah hanyalah pengakuan Allah itu ada, Allah ini pencipta, atau tidak ada hakim yang adil kecuali Allah. Mereka mengira, orang yang meyakini penafsiran ini, ia telah merealisasikan tauhid secara mutlak, walaupun ia melakukan peribadatan kepada selain Allah dan mempunyai keyakinan bathil terhadap orang yang telah mati, bertaqarrub kepada mereka dengan menyembelih kurban dan nadzar kepada mereka, thawaf di kubur mereka, dan meminta berkah dengan penjaga kuburnya.
Mereka tidak merasa, orang-orang kafir Arab zaman dahulu memiliki keyakinan seperti ini dan mengakui bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, bahkan tidak menyembah kepada selain Allah, kecuali dengan anggapan untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah.
Adapun masalah Allah adalah satu-satunya hakim yang paling adil, ini merupakan bagian dari kandungan Laa ilaaha illallah bukan makna sebenarnya kalimat ini. Oleh sebab itu, mene-gakkan hukum syariat, baik masalah hak-hak, hukum-hukum, maupun persengketaan, tidak cukup (itu saja) apabila masih disertai dengan kesyirikan dalam beribadah.
Seandainya makna Laa ilaaha illallah se-perti anggapan mereka, niscaya tidak ada persengketaan antara Rasulullah saw dengan orang-orang musyrik Quraisy, bahkan mungkin orang-orang musyrik ini langsung menyambut seruan dakwah Rasul saw, ketika beliau menyeru
kepada mereka, “Akuilah Allah adalah dzat yang mampu menciptakan sesuatu, Allah itu ada dan berhukumlah kepada-Nya dalam masalah darah, harta, hak-hak!” dan mereka pun berpaling dari beribadah.
Namun orang-orang musyrik Quraisy merupakan ahli bahasa Arab, sehingga mereka faham, jika mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti harus mengakui batalnya segala bentuk peribadatan kepada berhala dan kalimat ini bukan sekedar lafadz tanpa makna. Oleh karena itu, mereka menentangnya. Allah ta’ala menceritakan keadaan mereka dalam firman-Nya,
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?”{QS. Ash Shafaat (37) : 35-36}.
Mereka mengetahui bahwa kalimat Laa ilaaha illallah ini menuntut untuk meninggalkan peribadatan selain Allah dan hanya mengesakan Allah dalam beribadah. Seandainya me-reka mengatakan kalimat Laa ilaaha illallah, tapi terus menerus beribadah kepada patung-patung, niscaya terjadi kontradiksi. Padahal mereka tidak menginginkan adanya kontradiksi dalam beribadah. Sedangkan para penyembah kubur saat ini, mereka tidak merasa hinanya kontradiksi yang sangat menyebar di kalangan mereka. Bahkan mereka lantang mengatakan Laa ilaaha illallah, kemudian mereka membatalkan dengan cara menyembah orang-orang mati, bertaqarrub kepada kuburan-kuburan dengan berbagai macam peribadatan. Maka celakalah bagi orang tersebut, yang Abu Jahl dan Abu Lahab lebih tahu daripada tentang makna Laa ilaaha illallah.
Walhasil bahwa orang yang mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah harus mengetahui maknanya dan mengamalkan konsekuensinya lahir dan batin. Dan dia harus meniadakan kesyirikan, menetapkan peribadatan hanya kepada Allah, dan keyakinan yang pasti terhadap apa saja yang terkandung di dalam kalimat itu serta mengamalkannya; maka dialah muslim sejati. Sedangkan orang yang mengucapkannya dan mengamalkannya konsekuensinya secara dzahir tetapi tidak diyakini dalam batinnya maka dia adalah orang munafik. Barangsiapa yang mengucapkan itu dengan lisan dan melakukan amalan yang bertolak belakang dengan berupa kesyirikan yang membatalkan kalimat itu, maka dia adalah musyrik yang melakukan kontradiksi dalam beribadah, wajib baginya untuk mengucapkan kalimat tauhid ini dengan mengetahui makna yang sebenarnya, karena itu merupakan sarana untuk mengamalkan tuntunannya tersebut. Allah swt berfirman:
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mere-ka meyakini(nya)*). {Qs. Az-Zukhruf (43) : 86}.
*) Maksudnya Nabi Muhammad dan Nabi yang lain dapat memberi syafa’at sesudah diberi izin oleh Allah s.w.t (hal ini didasari dari banyaknya hadits yang menjelaskan hal tersebt). (catatan kaki Dep Ag). (ada pula yang mengatakan bahwa syafa’at (pertolongan) terjadi di dunia).
catatan penerbit: semua pendapat benar, dan perlu kami tambahkan bahwa secara mutlak, hanya Alloh swt-lah yang memberikan syafaat, sebab semua syafa'at dengan atas izin Alloh swt. amal kita-lah yang akan menjadi penolong (dunia dan akhirat), karena apa saja yang telah kita kerjakan, nanti akan dipertanggung jawabkan. oleh karena itu, Jauhilah Syirik (Menyekutukan Alloh swt).
Mengamalkan konsekensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah. Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan penuh) syari’at Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram, dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya. Allah swt berfirman yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mere-ka agama yang tidak diizinkan Allah?...”{QS. Asy Syura (42) : 21}.
maka wajib menerima syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, dan menghukumi persengketaan diantara manusia dalam semua kondisi, baik perorangan maupun orang yang lain dan menolak segala macam undang-undang buatan manusia, maksudnya, kita harus menolak semua yang bid’ah, khurafat dan yang disebarkan oleh syetan-syetan dari jenis manusia maupun jin dalam masalah beribadah. Barangsiapa yang menerima sedikit saja dari itu (yakni; bid’ah, khurafat bikinan manusia maupun jin -ed.) maka mereka telah menjadi musyrik. Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” {QS. Asy Syura (42) : 21}.
“... dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” {Qs. Al-An’am (6) : 121}’
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. ...” {Qs. At-Taubah (9) : 31}.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi saw ketika membacakan ayat ini kepada Adi bin Hatim at-Tha’i, Adi menolak dan berkata, “Wahai Rasulullah kami dulu tidak menyembah mereka.” Kata Nabi saw, bukankah mereka menghalalkan bagi kalian apa yang diharamkan Allah, kemudian kalian menghalalkannya dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka kalian pun mengharamkannya, “be-tul” maka Nabi bersabda, “Itulah peribadatan kepada mereka.”
------------------------------------

Semoga catatan ini menjadi penguat Aqidah kita agar kita dalam beribadah tidak menyimpang dari makna Laa ilaaha illallah. ....

Referensi : Materi kajian RIMAI bulanan, setiap hari ahad pekan terakhir. (Bulan Maret 2008).

2 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus
  2. ya, mari kita bersama-sama berusaha dengan sekuat tenaga kita, untuk mencurahkan tenaga, harta dan pikiran kita untuk kejayaan islam. bahkan nyawa kita sekalipun.


    syukron ya akhi atas kunjungannya....

    BalasHapus