يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya*) ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” {Qs. Al-Ahzab (33) : 59}.
* Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. (catatan kaki DepAg).
Sabab Nuzul
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, “Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.(1)
Tafsir Ayat
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin”. Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, Allah swt tidak memerintahkan “berjilbablah!” tetapi “hendaklah mengulurkan jilbabnya... / melebihkan jilbab yang sebelumnya dimiliki karena sebelumnya wanita-wanita arab pada saat itu telah berjilbab”.
Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbab. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah (2). Al Qasimi menggambarkan, ar-ridâ itu seperti as-sirdâb (terowongan) (3). Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-‘Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh (4). Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya (5). Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang menutupi wanita (6) atau al-qamîsh (baju gamis) (7). Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah, semuanya benar, bahkan saling melengkapi (8). Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra.:
Rasulullah saw memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah saw menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR Muslim).
Hadis ini, di samping menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri’ dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah) (9). Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya yaitu perintah sebelum ayat ini turun (10).
Berkaitan dengan gambaran yudnîna ‘alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ’ al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani (11), dan as-Sudi (12). Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi (13).
Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah (14). Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya (15).
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya (16), sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung) (17) yang juga diwajibkan {Lihat Qs. An-Nur (24) : 31}.
Pendapat ini di perkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra menceritakan: Dia pernah menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw. setelah shalat usai, beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda: “Bersedekahlah karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka.” Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf’â al-khaddayn) bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “karena kalian banyak megadu dan ingkar kepada suami. (HR. Muslim dan Ahmad).
Deskripsi Jabir ra. Bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw. kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup (ada pula yang mengatakan; kehitaman disini adalah kain tipis berwarna hitam). Jika hadis ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah saw akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.
Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah swt dalam Qs. An-Nur (24) ayat 31, yang artinya:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Menurut Ibnu Abbas, yang biasa nampak adalah wajah dan kedua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama (18). Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya’tsa’, adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai, (19) dan al-Auza’i (20). Demikian juga pendapat ath-Thabari, Al-Jashash, dan ibnu al-‘Arabi (21). Sedangkan menurut sebagian lagi menyatakan bahwa “yang biasa nampak {Qs. An-Nur (24): 31} yaitu pakaiannya”, karena wajah itu perhiasan. Adapun Al-Albani menyatakan bahwa menutup wajah adalah sunnah, yang sangat dianjurkan. Yaitu untuk menghindari fitnah.
Sedangkan Ibnu Bazz, Utsaimin dan ulama lainnya menyatakan wajibnya berhijab (lihat kitab “Dalil-dalil Tentang Wajibnya Hijab, oleh Imam Masjid al-Sofwa” di perpustakaan mesjid al-ikhlas). Adapun yang tidak boleh terlihat kecuali muka dan telapak tangan yaitu dalam melakukan shalat dan ber-hajji. Dan jika ditemukan riwayat-riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum, disana akan ada keterangan kehitam-hitaman. Contohnya: “pipi yang kehitaman”, bahkan sampai kukunya pun terlihat hitam??, mengapa demikian?? Sebab hitam disini adalah pakaian yang hitam (gelap).
Perlu diingat bahwa Allah swt telah memerintahkan manusia untuk menutup auratnya sejak dahulu (semenjak zaman nabi Adam as), bahwa Allah sudah memerintahkan kepada manusia untuk menutup aurat sejak dahulu sebelum Nabi Muhammad diutus. Sebab, jika kita lihat fakta yang sesungguhnya, orang-orang kafir (seperti: yahudi dan Nashrani) pun berkerudung, apabila kita melihat biarawati, pasti kita akan mendapati bahwa ia berkerudung, mereka mencontoh orang-orang terdahulu, bahwa maryam mengenakan jilbab, karena maryam (ibu Nabi Isa a) beragama Islam bukan Nashrani), begitu pula dengan agama hindu (di India-red), atau agama lainnya, yang rata-rata (kebanyakan) mereka mengenakan jilbab walaupun tidak sempurna dalam hal penggunaannya. Dalam hal ini, yang benar hanya satu yaitu Islam, sebab tidak ada agama lainnya yang benar dan yang diridhoi Alloh selain islam, sebab islam adalah agama para nabi dan rosul. Begitu pula dengan agama nabi Adam as yaitu Islam. Jadi, kewajiban jilbab sudah ada sejak manusia pertama diciptakan.
Mayoritas ulama’ ahli tafsir dan hadits mengatakan wajah dan kedua telapak tangan merupakan anggota tubuh yang dikecualikan. Dengan catatan penting sekali, bahwa menutupnya merupakan amalan yang lebih utama, karena inilah contoh yang dipraktekkan oleh sebaik-baiknya wanita yaitu para wanita sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk didalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:
“Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasululloh saw bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR. at Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita.
Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya.
Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakaiannya yang panjang dan digunakan berjalan di tempat kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Yuthahhiruhu ma ba’dahu (itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).
Selanjutnya Allah swt berfirman: “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal (dikenal sebagai seorang muslimah, dan bukan budak) sehingga mereka tidak diganggu”.
Maksud kata dzalika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adna berarti aqrab (lebih dekat) (22). Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak (23). Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti. Patut dicatat, hal itu bukanlah ‘illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menentramkan hati: “ Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang”. Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertaubat kepada Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya. (24).
Kewajiban berjilbab (Untuk para Muslimah)
(beritahu kepada istri, anak dan saudara kalian)
Ukhti Muslimah, siapa yang menyuruhmu berjilbab?(25). Pernahkah anda menduga, bahwa mereka, wanita muslimah, sadar, mengapa mereka berjilbab? Sesungguhnya realita menunjukkan bahwa mereka pada umumnya memandang jilbab hanya sebatas adat istiadat yang mereka warisi dari orang tua mereka dan sebagai bakti kepada keduanya yang menyuruhnya.
Oleh karena itu sebagai warisan dan adat istiadat suci, maka harus dijaga dan dilestarikan. Pernahkah ia bertanya, mengapa ia memakai jilbab? Siapa yang memerintahkannya?
Bukankah itu perintah Allah? Tidakkah ia mengetahui bahwa ia menaati Penciptanya, yang memberi rizki, yang menciptakan langit dan bumi, Allah yang menciptakannya, Dia-lah yang memberinya ni’mat, Allah yang mematikannya dan mengetahui mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan makhluk-Nya. Allah-lah yang memerintahkanmu berjilbab. (lihat Qs. 2: 284, Qs. 6: 102, Qs. 16: 53, Qs. 50: 19, Qs. 19: 85-86, Qs. 22: 2, Qs. 50: 30-31, Qs. 24: 31).
Aisyah ra berkata: “Semoga Allah merahmati wanita-wanita pertama yang berhijrah (muhajirat), yaitu ketika Allah menurunkan firmanNya: “Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka” Mereka langsung merobek pakaian mereka untuk dijadikan jilbab.” (HR. Bukhari).
Ukhti al-Muslimah!! Jangan berkata: “Kita-kan bukan mereka, bagaimana mungkin kita bisa mencapai apa yang mereka capai?”
Jangan anda heran! Bila ada seorang penyair berkata: “Contohlah mereka walaupun tidak sama persis- sesungguhnya mencontoh orang yang mulia itu adalah suatu keberuntungan”.
Firman Allah tentang istri Nabi saw, yang artinya :
“...Apabila engkau meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi saw), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka....” {Qs. Al-Ahzab (33) : 53}. (Lihat pula Qs. Al-Ahzab (33) : 59).
Ibnu Abbas berkata: “Allah swt memerintahkan istri-istri orang-orang yang beriman hal tersebut diatas, agar mereka dikenal dengan tertutup rapi, bersih dan suci. Dan dengan demikian ia tidak akan diganggu oleh orang-orang jahat.”
Coba perhatikan: “Siapakah yang lebih sering digoda dan diganggu lelaki di jalan? Tentu mereka yang suka bersolek ala jahiliyah (jahiliyah modern).”
Firman Allah swt, yang artinya :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” {Qs. An-Nuur (24) : 60}.
Allah swt mengabarkan bahwa berjilbabnya wanita tua yang tidak ingin menikah lagi serta tidak menampakkan perhiasan itu lebih utama, walaupun diperbolehkan bagi mereka untuk menanggalkan pakaian mereka (membuka wajah dan tangan) dengan syarat berlaku sopan (secara islami).
Al-Qur’an telah mewajibkan wanita muslimah untuk memakai jilbab (hijab) dan mengharamkan bersolek ala jahiliyah (Tabarruj jahilliyah). Ukhti al-Muslimah!! Dengarlah kata ibunda kalian, Ummul Mu’minin, ketika bertanya kepada Nabi saw;
“Apa yang harus dilakukan oleh wanita dengan bawahan baju mereka?”
Nabi saw menjawab: “Hendaklah ia turunkan satu jengkal (dari lutut)”
Ummul Mu’minin berkata: “Kalau begitu akan tersingkap kaki kami, wahai rasul”
Nabi bersabda: “Turunkan satu hasta dan jangan dilebihkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Subhanalloh!! Ummul Mu’minin meminta agar diperpanjang bajunya, sedang wanita-wanita kita justru minta diperpendek (dengan mengangkatnya ke lutut atau di atasnya) dan mereka tidak perduli.
Nabi dan kitab suci kita melarang telanjang, tidak menutup aurat, maka tanyakan kepada hadits dan ayat suci al-Qur’an al-Karim. Apa benar seperti itu???
Saudariku,...
Apakah kita ingin menjadi terbelakang menjadi seperti masyarakat pedalaman yang tidak memakai pakaian, sehingga kaum wanita tidak memiliki kehormatan sama sekali??? Ataukah kita ingin modern dengan menutup busana muslimah??
Oleh karena itu, pakai dong hijab-nya. Sudah tau hijab kan?? Hijab artinya adalah menutup badan dan sebagai ciri dari sejumlah peraturan sosial yang berhubungan dengan keadaan wanita dalam undang-undang Islam, yang telah ditetapkan Allah swt untuk menjadi benteng yang kuat, yang menjaga kehormatan, kemuliaan, dan keluhuran wanita. Pakaian yang memelihara masyarakat dari fitnah, dan dalam ruang lingkup yang ketat sebagai sarana bagi wanita untuk membentuk generasi Islam, merajut masa depan umat, yang pada gilirannya ikut berperan dalam perjuangan Islam dan menegakkannya di atas muka bumi ini.
Rambu-rambu jalan
Firman Allah swt, yang artinya :
“Dan tidak-lah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” {Qs. Al-Ahzab (33) : 36}.
Buatmu yang selalu berkata: “bila saya memakai jilbab di negeri kafir, maka saya akan jadi bahan perhatian, maka bila saya lepas jilbabku, maka aku akan seperti mereka dan tidak ada yang memperhatikanku.”
Sesungguhnya melawan arus kejahatan, konsisten, komitmen dan konsekwen dalam kebenaran terutama di negeri kafir adalah iman yang diserukan Allah swt, tidak boleh seorangpun melakukan ijtihad, menentukan hukum berdasarkan akal, dengan adanya nash tekstual berupa Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw.
saudariku ukhti al muslimah....
yang manakah yang menjadi bahan perhatian....?
yang memakai jilbab atau yang melepas jilbabnya?
jika anti (kamu perempuan-red) mengenakan jilbab, maka anti akan diperhatikan mereka sebagai wanita suci dan terhormat. untuk dijadikan contoh yang terbaik bagi mereka.
adapun jika anti melepas jilbab, maka yang akan terjadi adalah, anti akan diperhatikan oleh laki-laki yang akan merugikan mereka dan merugikan pada diri anda sendiri, baik di dunia maupun di akherat kelak.
Sungguh benar sabda Rasululloh saw:
“Kalian akan mengikuti cara orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta, hingga andaikata mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pasti mengikutinya” kami berkata: “Wahai Rasululloh, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Muslim).
Peringatan!
Rasululloh saw bersabda:
“Saya tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Musuh-musuh islam telah mengetahui, bahwa kerusakan dan kerendahan moral wanita berarti pengrusakan terhadap masyarakat secara universal dan integral.
Jilbab, Mendatangkan kebaikan
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat me-ngantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Fakta menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya! Bagaimana dengan tahun sekarang? (26).
Bagi wanita, jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ke-takwaannya. Ini berbeda jika wanita tampil ‘terbuka’ dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada fisiknya. Penampilan se-perti itu juga hanya akan menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.
Dalam program ke delapan istilah Freemasonry (yahudi) yang dinamakan gorgah, pepatah yahudi mengatakan: “Jadikanlah perempuan cantik itu untuk alat sesuatu permainan siasat.”. Itulah salah satu cara yahudi menghancurkan islam (27).
Walhasil, penutup Qs. Al-Ahzab (33) : 59 harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab.
“Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah swt kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau disayangi-Nya?! (28).
Catatan kaki:
- As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, Vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 414-415.
- Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1995), 542.
- Al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, vol. 8 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
- Al-Quthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156; Ibnu al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, ), 382; al-Nasafi, madarik al-Tanzil, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 355; Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih (Dar at-Tafsir, 1992), 625.
- Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf, vol. 3, 542.
- Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 106; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, vol.3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah , 1994), 482; al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, vol.3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 469; al-Khazin, Lubab al-Ta’wil wa fi Ma’a ni al-Tanzil, vol. 3 (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 437.
- Al-Baqa’i, Nazhm Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 135.
- Al-Baqa’i, Nazhm Durar, 135.
- Azl-Zamakhsyari, al-Khasyaf, vol. 3, 542; al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, vol. 11 (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 264.
- Al-‘Ajili, al-Futuhat al-Ilahiyah, vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), 102.
- Ath-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, vol 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 231.
- Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, vol. 11, 264; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1993), 240.
- Al-Jazairi, Aysar al-Tafasir li Kalm al-‘Aliyy al-Kabir, vol.4 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 290,291; al-Nasafi, madarik al-tanzil, vol. 2, 355; al-Baydhawi, Anwar al-Tanz li Asrar al-Ta’wil, vol. 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 252.
- Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, vol. 11, 264; al-Quthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 13, 156; al-Thabari , Jami’ al-Bayan, Vol. 10, 231.
- Al-Quthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, vol.3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 637.
- Said Hawa, al-Asas fi Tafsir, vol. 8 (t.t: Dar as-Salam, 1999), 4481.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, vol.3, 253
- As-Syatqithi, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an, vol 5, (Beirut: dar al-Fikr, 1995), 512; al-Baghawi, Ma’alim al Tanzil ,vol. 3, 287.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, vol.3, 253.
- Ath-Thabari, Jami al bayan, vol.9, 301; Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, vol. 3 (Beirut: dar al-Fikr, 1993),360; ibnu al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, vol. 3, 382.
- Al Qinuji, Fath al-Bayan fi Maqashid al Qur’an, vol. 11 (Qathar: Dar Ihya al-Turats al Islami, 1989), 143.
- Ibnu Juzyi, al-Kalbi, al-Tasyhu li ‘Ulum al-Tanzil, Vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al Islamiyyah, 1995), 197; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al Kitab al aziz, vol. 4 (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 399.
- Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I., (dalam) Majalah al-wa’ie No 69 Tahun VI, 1-31 Mei 2006. (Dengan beberapa tambahan dr sumber lainnya).
- Ukhti Muslimah, siapa yang menyuruhmu berjilbab?, Dar al-Gasem For Publishing & Distribution, Riyadh.
- Ismail Adam Pathel, perempuan, Feminisme, dan Islam, terj. Abu Faiz (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2005).
- A.D. El Marzdedeq, Kabut-kabut Freemasonry Melanda Dunia Islam, LPD Al Huda, Bogor.
- Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I., (dalam) Majalah al-wa’ie No 69 Tahun VI, 1-31 Mei 2006.
makasih yach tulisannya
BalasHapusya, sama-sama.
BalasHapusterimakasih kembali sudah berkunjung di blog kami.
diharapkan kepada seluruh pembaca untuk membantu dalam menyebarkan artikel ini.
raih pahala berlimpah :)