16 April 2011

Lebih Dekat KepadaNya di Penghujung Ramadhan

Pembicaraan berkisar Lailatul Qodar dan keberkahan-keberkahannya adalah berporos pada keberkahan-keberkahan yang dilimpahkan Allah swt atas umat ini atas keberkahan Nabi mereka ( Nabi Kita, Muhammad saw).

Antara lain, umat ini diberkahi pada pagi hari mereka, diberkahi pula pada aktifitas-aktifitas dan ilmu mereka. Sebab mereka adalah sebaik-baik umat dan umat yang paling mulia di sisi-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata,

“Setiap orang yang mene-liti ihwal ala mini, maka ia mendapati umat islam sebagai umat manusia yang paling tajam dan cerdas akalnya, serta mereka mendapatkan dalam waktu yang singkat tentang hakikat ilmu dan amal yang jauh lebih banyak daripada yang diperoleh selain mereka dalam segala kurun dan generasi.”


Dalam kesempatan lain, ia berkata, “kemudian Allah swt memberi hidayah kepada manusia, lewat keberkahan kenabian Muhammad saw dan segala yang dibawanya berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk, dengan hidayah yang diluar jangkauan penjelasan orang-orang yang berusaha menjelaskannya dan di atas ilmu pengetahuan orang-orang yang arif. Sehingga umatnya yang beriman secara umum dan para ahli ilmunya secara khusus mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, akhlak yang luhur dan sunnah-sunnah yang lurus. Seandainya hikmah seluruh umat baik ilmu maupun amal yang bersih dari segala noda dikumpulkan lalu dibandingkan dengan hikmah yang dengannya beliau diutus, niscaya akan tampak perbedaan jauh antara keduanya, yang tidak bisa diukur perbandingannya dengan tepat. Segala puji bagi Allah swt, sebagaimana Tuhan kami mencintai dan meridhoinya.”

Terlepas dari keberkahan-keberkahan tersebut, Lailatul Qodar adalah keberkahan agung yang Allah swt limpahkan kepada hamba-hambaNya. Dan tidaklah mendapatkan Lailatul Qodar kecuali orang-orang yang benar-benar mendekat kepadaNya. Nabi saw senantiasa berada di masjid (I’tikaf) untuk mendekatkan diri kepada Allah swt;

Nabi saw biasa beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar ra).

I’tikaf tidaklah wajib, melainkan sunnah. Ibnul Qoyyim rahimahulloh ketika menjelaskan maksud I’tikaf, berkata,

Disyari’atkan kepada mereka beri’tikaf yang tujuannya adalah untuk memusatkan hati di hadapan Allah swt dan meng-asingkan diri bersama-Nya, jauh dari kesibukan dengan makhluk dan menyibukkan diri denganNya semata. Di mana dzikir, cinta dan menyambut perintahNya menempati posisi segala kemauan hati, sehingga menguasai hati sepenuhnya. Akhirnya semua kemauannya hanya tertuju kepadaNya, kepentingannya hanya untuk mengingatNya, bertafakkur untuk mendapatkan ridho-Nya dan berbagai aktifitas lainnya yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga cintanya menjadi karena Allah bukan lagi kepada makhluk. Ia menyiapkan hal itu untuk mendapatkan cintaNya pada hari yang sunyi di kubur, ketika tiada kekasih lagi dan tidak ada yang menggembirakannya selainNya. Inilah tujuan I’tikaf yang terbesar.”

Adab-adab I’tikaf

Inilah kumpulan adab-adab yang sebaiknya diperhatikan dan dipegang oleh orang-orang yang beri’tikaf, agar I’tikaf mereka sempurna dan diterima dengan seizin Allah swt.

1. Berniat yang baik dan mencari pahala di haribaan Allah swt.

2. Merasakan hikmah beri’tikaf, yaitu hanya untuk beribadah dan mengonsentrasikan hati di hadapan Allah swt.

3. Orang yang beri’tikaf tidak keluar kecuali karena keperluan yang mendesak.

4. Memelihara amalan-amalan harian (siang dan malam) berupa sunnah-sunnah dan dzikir-dzikir, baik yang mutlak maupun yang terikat, seperti sunnah-sunnah rawatib, sunnah dhuha, shalat malam, sunnah-sunnah wudhu, dzikir pagi dan petang, dzikir sesudah shalat, menjawab panggilan adzan, dan perkara-perkara sejenisnya yang sangat baik bagi orang yang beri’tikaf. Ia tidak boleh meluputkan sedikitpun darinya.

5. Berusaha untuk bangun tidur sebelum shalat dengan waktu yang cukup, baik shalat fardhu maupun qiyam, supaya orang yang beri’tikaf siap untuk mengerjakan shalat dan mengerjakannya dengan tenang dan khusyu’.

6. Memperbanyak amalan-amalan sunnah secara umum dan berpindah-pindah dari satu jenis ibadah ke jenis lainnya, agar orang beri’tikaf tidak dirasuki oleh kemalasan dan kebosanan. Sekali tempo ia menghabiskan waktunya untuk shalat, pada tempo yang lain untuk membaca al-Qur’an, bertasbih, bertahlil, bertahmid, bertakbir, berdo’a, beristighfar, bersholawat kepada Nabi, mengucapkan Laa haula walaa quwwata illa billah, tadabbur, tafakkur dan begitulah seterusnya.

7. Membawa beberapa buku kara-ngan ahli ilmu, terutama tafsir, sehingga dapat membantunya untuk tadabbur Qur’an.

8. Sedikit makan, berbicara dan tidur. Karena hal itu menyebabkan hati menjadi lembut, jiwa menjadi khusyu’, memelihara waktu dan jauh dari dosa.

9. Berkeinginan untuk senantiasa suci sepanjang waktu beri’tikaf.

10. Orang - orang yang beri’tikaf sebaiknya saling nasehat-menasehati untuk menjalankan kebenaran dan menetapi kesabaran, saling menasehati, saling mengingatkan, saling tolong-menolong atas dasar kebajikan dan taqwa, membangunkan tidur, dan satu sama lain saling take and give (memberi dan menerima).

Secara umum, orang yang beri’tikaf harus menjalankan sunnah, senang mengerjakan segala amalan yang mendekatkan diri kepada Allah swt, dan jauh dari segala yang bisa merusak I’tikafnya atau mengurangi pahalanya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan seputar I’tikaf

Inilah beberapa perkara yang mesti diperhatikan seputar I’tikaf.

1. Banyaknya kunjungan dan lamanya kunjungan yang dilakukan sementara orang kepada sebagian orang yang beri’tikaf yang megakibatkan banyak bicara dan menyia-nyiakan waktu.

2. Banyak berkomunikasi dan berki-rim surat selama beri’tikaf tanpa ada keperluan yang mendesak.

3. Berlebih-lebihan dalam menghidangkan makanan. Sebab hal itu menyebabkan berat untuk beribadah dan mengganggu orang-orang yang shalat, karena bau makanan tersebut. Jadi, yang lebih baik bagi orang yang beri’tikaf ialah sederhana dalam hal tersebut.

4. Banyak tidur, berat untuk bangun tidur, dan tidak simpatik terhadap orang yang membangunkannya dari sebagian orang yang beri’tikaf, padahal semestinya berterima kasih kepadanya dan mendoakannya.

5. Menyia-nyiakan kesempatan. Sebagian orang yang beri’tikaf tidak peduli dengan kebaikan yang luput darinya. Anda melihatnya tidak mencari waktu-waktu dikabulkannya do’a dan tidak pula berkeinginan untuk memanfaatkan waktu yang ada, bahkan mungkin sebagian rakaat dan shalat ia luputkan begitu saja karena tidur atau bermalas-malasan.

6. Sebagian orang memotivasi anak-anaknya yang masih kecil untuk beri’tikaf. Ini baik. Tetapi mungkin anak-anak tersebut tidak melaksanakan adab I’tikaf. Sehingga mereka malah mengganggu, ribut, berisik, banyak bercanda dan berbicara, keluar masjid dan sejenisnya. Jika perkaranya demikian, maka lebih baik anak-anak tersebut di rumah saja.

Wallahu’alam.

Referensi : bulletin dakwah Indah: Edisi 6, 20 Romadhon 1427 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar