Sesungguhnya terhadap seluruh perkara ghaib, wajib bagi hamba untuk mengimani dan mempercayainya. Beriman kepada semua kabar-kabar ghaib yang berasal dari Allah swt dan Rasul-Nya, baik melalui al-Qur’an maupun as-Sunnah, dan tidak mempercayai kabar ghaib apapun selain dari keduanya.
Yang dimaksud perkara atau kabar-kabar ghaib adalah segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan dijangkau oleh panca indera (tak dapat didengar, dilihat, diraba, dicium dan dirasa). Panca indera merupakan pintu gerbang bagi akal untuk memperoleh pengetahuan.
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (٧٨)
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kalian bersyukur.” [QS. al-Mu’minun (23): 78]
Perkara ghaib yang wajib kita imani seperti; beriman kepada Allah swt, kepada rububiyah, uluhiyah, serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, takdir yang baik maupun yang buruk, adzab dan nikmat kubur, surga dan neraka, dan lain-lainnya yang termasuk dari perkara-perkara ghaib.
Dalam hal beriman kepada hal-hal ghaib, Ahlus Sunnah membatasi keimanan mereka dengan batas –batas wahyu, tanpa melebihinya atau menolak sebagiannya. Berdasarkan manhaj Islami, hal-hal ghaib yang dikabarkan Allah swt kepada kita adalah sebagian kecil saja, sedangkan sebagian besarnya dirahasiakan di sisi Allah swt.
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Tak seorangpun yang mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi selain Allah dan mereka tidak merasakan kapan mereka dibangkitkan.” [QS. an Naml (27) : 65]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata:“Allah swt mengabarkan sesungguhnya hanya Dia-lah Yang mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi, sebagaimana firman Allah swt: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [QS. al-An’aam (6): 59].
Dan firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Lukman (31) : 34]
Perkara-perkara ghaib ini dan yang semisalnya hanya Allah swt semata yang mengetahuinya, walaupun malaikat terdekat dan Nabi yang diutus. Bila Allah swt semata yang mengetahui perkara ghaib, rahasia dan tersembunyi maka seyogyanya peribadatan hanya diberikan kepada-Nya semata.
Dari sini menjadi jelaslah kebohongan orang-orang yang mengklaim mengetahui perkara perkara ghaib seperti para peramal, dukun, paranormal, orang pintar dan lain-lain. Jika berita ghaib yang mereka sampaikan itu ternyata benar, maka hal itu hanya bersesuaian dengan kebenaran yang diambil dari hasil curian pendengaran jin akan berita langit, bukan karena mereka mengetahui yang ghaib. Seba-gaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ra.:
“Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sa-yapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar) itu seperti geme-rincing rantai besi (yang ditarik) diatas batu rata. Hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan). Maka apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata: ‘Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘(perkataan) yang benar. Dan Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.’ Ketika itulah, (setan-setan) penyadap beri-ta (wahyu) mendengarnya. Keadaan penyadap berita itu seperti ini: sebagian mereka diatas sebagian yang lain – digambarkan Sufyan dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya- maka ketika penyadap berita (yang diatas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang dibawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang ada di bawahnya, dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal. Akan tetapi kadangkala setan penyadap berita itu terkena meteor sebelum sempat menyampaikan kalimat tersebut, dan kadangkala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena meteor; lalu dengan satu kalimat yang didengarnya itulah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam kebohongan.” Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang
ramal) mengatakan: ‘Bukankah dia telah memberi tahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar)’, sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari langit.” (HR.Bukhori)
ramal) mengatakan: ‘Bukankah dia telah memberi tahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar)’, sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari langit.” (HR.Bukhori)
Rasulullah saw menegaskan bahwa perkara ghaib adalah hak mutlak pengetahuan Allah dan apa yang Allah swt kabarkan kepada kita adalah sebagian kecil saja, sedangkan sebagian besarnya dirahasiakan disisi Allah swt.
Rasulullah saw pernah berdo’a dengan kalimat sebagai berikut:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang dengan nama itu Engkau namakan diri-Mu atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu atau tetap engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”(HR. Ahmad 1/391)
Kita dilarang mencoba menambah pengetahuan tentang hal-hal ghaib dari selain wahyu yang sudah di turunkan kepada kita, seperti misalnya menerka-nerka atau malah mempertanyakannya kepada paranormal, dan seba-gainya. Firman Allah swt:
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang di janjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Se-sungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.” [QS. Huud (11): 46]
Ketika seseorang datang menghadap Imam Malik rahimahullah bertanya hakikat istiwa’ (bersemayam)nya Allah di atas ‘Arsy, sedang-kan bentuk pertanyaan seperti ini termasuk kategori hal-hal ghaib yang hakikatnya tidak dikabarkan Allah swt kepada kita. Maka Imam Malik rahimahullah menjawab:
“al-Istiwa’ (bersemayamnya) dimengerti maknanya, hakikatnya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib dan pertanyaan tentang hakikatnya adalah bid’ah.” (HR. Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma wa Ash Shifat: 408 dan Al Lalikai dalam Syarh As Sunnah: 663)
Hakikat istiwa’ tidak diketahui oleh kita semua, karena Allah swt hanya mengabarkan tentang adanya atau terjadinya istiwa’. Dan Allah swt mengabarkan melalui al-Qur’an de-ngan menggunakan bahasa ‘Arab, jadi kita bisa mengetahui arti istiwa’. Akan tetapi Allah swt tidak mengabarkan bagaimana hakikat istiwa’ sebenarnya, karena semua ini adalah masalah ghaib, maka kita beriman sebatas kabar wahyu. Menanyakan hal ghaib yang tidak dikabarkan adalah bid’ah (karena mempertanyakan hal seperti ini bukan manhaj Rasulullah saw dan para shahabatnya)
Saat menafsirkan firman Allah swt:
“...dan bukanlah aku (Muhammad) termasuk orang-orang yang mengada-ngadakan” [QS. Shaad (38) : 86]
Ath Thabari berkata:
“Aku tidaklah mencoba-coba dan mengada-ada sesuatu yang tidak Allah perintahkan aku untuknya”. (Tafsir Ath Thabari: 23/188)
Berdasarkan dalil-dalil wahyu dan akal, bahwa visualisasi sifat-sifat Allah swt tidak dapat dicapai oleh pengetahuan hamba-hambaNya.
Dalil wahyu:
Allah swt berfirman:
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [QS.Toha (20): 110]
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-Isro (17): 36]
Telah dimaklumi, bahwa kita tidak memiliki ilmu tentang hakikat sifat-sifat Allah swt, karena Allah swt hanya memberitahukan sifat-sifat-Nya saja, namun tidak memberitahukan bagaimana hakikat sifat-sifat tersebut.
Dalil Akal:
Secara akal, sesuatu tidak dapat di ketahui bagaimana sifatnya sebelum diketahui bentuk dzatnya, atau diketahui dzat yang semisal dengannya, atau diketahui adanya kabar yang benar yang membicarakan hal tersebut.
Dan ketiga hal tersebut tidak ditemukan dalam masalah bentuk dan bagaimananya sifat-sifat Allah swt. Oleh karena itu, takyif dalam masalah sifat Allah jelas tidak diperbolehkan.
Referensi:
1. Al Qur’an
2. Al Hadist
3. Tafsir Ath Thabari
4. Tafsir al Qur’an al Adzim [QS.Al Hijr (15):16], Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i.
5. Kitab Al Asma wa Ash Shifat, Al Baihaqi
6. Syarh As Sunnah
7. Ahlussunnah wal Jama’ah (dengan berbagai sumber), pustaka al faruq
8. Manhaj li Dirosaat al Asma wa ash Shifat, M. al Amin Asy Syanqity
Tidak ada komentar:
Posting Komentar