10 April 2011

HAJI YANG MABRUR

Haji merupakan puncak penyempurnaan dari rukun Islam ke lima, seseorang yang menunaikan ibadah haji dituntut untuk mempersiapkan mental dan fisik secara prima, karena ibadah haji itu tidak hanya Ibadah Rohaniah belaka, melainkan menyangkut jasmaniah juga.

Idealnya orang yang menunaikan ibadah Haji, dia harus menjalankan dan mengamalkan Rukun Islam yang empat jumlahnya satu persatu secara jasmaniah, Rohaniah dan Amaliah, barulah ia menunaikan Rukun Islam yang kelima dengan sempurna.

Orang yang berikrar dengan kalimat Tauhid syahadat secara jasmaniah artinya dia memang melafazkan kalimat Tauhid “Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah”, dan syahadat Rosul “wa ashadu anna Muhammadar Rasuulullah” sedangkan hati dan jiwanya harus yakin, bahwa tidak ada Illah yang patut disembah dan menerima hak pengabdian kecuali hanya pada Allah swt semata dan Muhammad merupakan utusan-Nya yang patut di jadikan tauladan.

Syahadat secara amaliah adalah dalam kehidupan praktis sehari-hari tercermin kalimat tauhid dan syahadat Rosul seseorang harus meniadakan Illah (sesuatu yang di-sembah) di dunia ini kecuali hanya Allah saja, sudahkah kita tidak menghamba, mengabdi, menjadikan uang, jabatan, kedudukan dan wanita sebagai tuhan?, dan sudahkah kita meneladani kehidupan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah dalam kehidupan sehari-hari? ataukah kita berucap “Asyhadu Alla Illaaha Illallah wa Ashadu anna Muhammadar Rasulullah” tanpa realitas amaliah dalam kehidupan sehari-hari? ya... anda sendiri yang tahu jawabannya.

Begitu juga dengan rukun yang lainnya, harus dilakukan dengan tiga dimensi tersebut. Shalat misalnya, seseorang dalam lima waktu sehari semalam mengerjakan shalat sebanyak tujuh belas rakaat, dan hati serta rohaninya harus “naik” ke hadirat Allah swt, setelah shalat, barulah dia mengapli-kasikan dan merealisasikan bacaan do’a-do’a pada shalat dalam kehidupan sosial sehari-hari. Dengan demikian seorang muslim yang benar-benar mendirikan shalat akan menjadi rahmat bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, saling memaafkan, saling asih, asuh dan asah sehingga terwujud persaudaraan sejati diantara sesama muslim, sebagaimana firman Allah swt:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah saudara, maka berbuatlah baik (damaikanlah) diantara saudaramu, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapatkan rahmat”. (QS. al-Hujarat : 10)

Seorang yang menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar diniati karena Allah semata, bukan untuk tujuan lain, misalnya dengan tujuan bisnis, melancong / wisata ke luar negeri, atau untuk bermegah-megahan, mencari pangkat dan kedudukan di masyarakat kalau sudah bergelar “pak Haji”. Oleh kerena itu haji hanyalah Ibadah milik Allah semata, bukan untuk tujuan yang lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
“Dan sempurnakanlah Ibadah Haji dan Umrah karena Allah ....”. (QS. Al-Baqarah : 196)

Seseorang yang telah menunaikan ibadah haji, haruslah membawa perilaku dan sikapnya sewaktu ketika menunaikan ibadah haji di masjidil Haram, yang tidak berbuat bohong, berkata kasar dan keji serta sifat-sifat lainnya yang pada akhirnya dia membawa bekal taqwa setelah pulang dari menunaikan ibadah haji, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat fasik dan berbantah- bantahan didalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya, berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS. al-Baqarah :197)
dan firman Allah swt:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dengan jalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.(QS. al-Hajj : 27)

Seorang yang naik haji harus bisa me-ngambil hikmah yang banyak sekali dalam perjalananibadah haji, mulai seseorang mengenakan kain ihram yang serba putih bersih, tidak boleh berkata bohong, kotor, menghina pada sesamanya sampai dia wukuf di Arafah yang kesemuanya itu mengandung pelajaran hidup yang tinggi sekali.

Dengan demikian jika seseorang sudah bisa mengambil hikmah dari perjalanan mengerjakan ibadah haji dan merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari, sesudah dia pulang dari pergi haji, maka dia akan memperoleh predikat dari pergi haji yang mabrur, yang artinya setiap hari setelah kedatangan dari Baitullah perilaku kehidupannya menjadi lebih baik. Sebab mabrur berasal dari kata birro yang artinya baik, dalam tata kehidupan sosial bermasyarakat tercermin watak kesabaran, keikhlasan, cinta perdamaian dan persatuan, kepasrahan kepada Allah yang kesemuanya itu merupakan oleh-oleh dari ibadah haji, dan orang yang sudah mendapat predikat haji mabrur ini, tidak ada imbalannya kecuali surga Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara ke-duanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga.”
Untuk itu marilah pergi haji bagi yang telah cukup dan mampu, baik itu mampu secara fisik maupun hartanya. Janganlah menunda-nunda apabila sudah berkecukupan segala sesuatunya selagi kita masih hidup. Sebagaimana Rasulullah saw ber-sabda:
“Bersegeralah kalian menunaikan haji, sebab kalian tidak tahu halangan yang di-hadapi; (dalam riwayat lain) entah nantinya kalian tertimpa sakit, tersesat jalan, atau terhalang oleh kebutuhan lainnya.”(HR. Ahmad [1/314]; Ibnu Majah [2883]; Baihaqi dan Abu Na’im [1/114] ) dari Ibnu Abbas dan Abu Sa’id Al-Khudri. Hadits Hasan, Syekh Albani. Al-Irwa’ [4/168] )

Referensi :
1. 25 calon Penghuni Surga (Bab: 6), Drs. Imam Bashori as Sayuthi, Mitra Umat, Surabaya.
2. Taushiah Bagi Calon Haji, Buletin Dakwah, No.47 Thn. XXXIV, 13 Dzulqa’dah 1428 H, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar