11 April 2011

KALENDER DAN TAHUN BARU HIJRIYAH

Muharram–Shafar–Rabi’ul Awal–Rabi’uts Tsani–Jumadil Ula–Jumadits Tsaniyah–Rajab–Sya’ban–Ramadhan–Syawal–Dzulqa’dah-Dzulhijjah

Allah swt berfirman:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah- manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Qs.10: 5).

Urgensi Penanggalan
Penanggalan atau kalender yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh, yang berarti sejarah, merupakan penentuan bagi suatu zaman yang di dalamnya telah terjadi peristiwa penting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan individu atau umat. Orang-orang Yahudi sangat me-ngagungkan zaman nabi Musa as, maka mereka memulai sejarah penanggalannya sejak zaman kenabiannya. Orang-orang Nasrani sangat me ngagungkan kelahiran Al Masih Isa as, maka me-reka memulai tarikh mereka dari kelahirannya. Begitu pula kaum muslimin, mereka menandai peristiwa-peristiwa bersejarah mereka dimulai dari hijrahnya nabi Muhammad saw yang penuh berkah. Penanggalan yang dimulai dengan hijrahnya Rasulullah saw terkenal dengan sebutan “Tarikh Hijri” atau Kalender Hijriyah yang sekarang ini telah memasuki tahun 1429 H. Tarikh Hijri sangat patut dan merupakan kewajiban untuk kita pertahankan karena dua hal:

Pertama, menjaga kepribadian sejarah umat Islam. Semua peristiwa-peristiwa keislaman, mulai yang terkecil sampai yang terbesar telah ditulis dan dikodifikasikan sesuai dengan Tarikh Hijri. Kehidupan Rasulullah saw, perjalanan, jihad, peperangan, dakwah, dan penurunan wahyu telah ditulis sesuai dengan Tarikh Hijri. Kepemimpinan Khulafaurrasyidin, pertempuran-pertempuran penting di dalam Islam, seperti Badar Kubra, fath Makkah, Qadisiyah dan Yarmuk bahkan kitab-kitab biografi dan sejarah, semuanya tertulis dengan Tarikh Hijri.

Kedua, keterkaitan yang kuat dengan berbagai masalah diniyah dan Ahkam Syar’iyah. Keterkaitan tidak hanya sementara dan terbatas pada zaman tertentu, tetapi keterkaitan abadi dan menyeluruh, mulai dari bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) bulan-bulan haji (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah), bulan puasa, masa ‘iddah, sumpah, nadzar, kaffarat, haulnya, dua hari raya, puasa Asyura, puasa hari-hari purnama, dst.

Dari sini tampaklah betapa bahayanya peminggiran Tarikh Hijri dan penggantiannya dengan Tarikh Milady (Masehi). Lebih bahaya lagi kalau generasi penerus tidak mengenal Tarikh Hijri, kecuali hanya namanya saja. Karena itu Tarikh Hijri bisa disebut sebagai bagian dari bangunan sejarah dalam kehidupan umat islam yang tidak terpisahkan, sekalipun berbagai kalender telah ada seperti Tarikh Parsi dan Tarikh Romawi. Tarikh Hijri tidak lepas dari kehidupan umat Islam hingga akhirnya pada abad 12 para penyembah salib (kaum Nasrani) menjajah negara-negara Arab dan negeri-negeri Islam dan menghapus kebudayaan Islam serta mengganti Tarikh Hijri dengan Tarikh Milady atau Masehi. Ditambah pula dengan propaganda- propaganda untuk menenggelamkan tarikh Hijri dan memancangkan Tarikh milady. Mereka mempengaruhi orang-orang Islam dengan ber bagai hasutan, umpamanya dalam hal perekonomian Tarikh Milady lebih bermanfaat daripada Hijri, sebab jumlah harinya lebih banyak. Dari segi kepastian dan kemantapan, Tarikh milady lebih unggul karena jumlah harinya tidak berubah-ubah dan lain sebagainya. Dalam waktu bersamaan umat Islam dalam keadaan terpuruk karena penjajah kaum salib tersebut. Maka tak ayal lagi banyak umat Islam yang menjadi korban pembodohan tersebut.

Permulaan Tarikh Hijri
Tarikh seperti yang kita kemukakan adalah simbol titik awal dalam kehidupan sebuah umat atau suatu bangsa. Para ahli sejarah telah menyebutkan
bahwa khalifah Umar bin Khaththab ra adalah orang yang memerintahkan untuk mencanangkan Tarikh Hijri. Sebabnya adalah sebagaimana yang dituturkan oleh berbagai riwayat berikut ini;
Imam Al-Sya’bi berkata: “Abu Musa Al-Asy’ari ra menulis kepada Umar ra yang isinya, ‘Telah datang kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin yang tidak bertanggal.’ Maka Umar ra mengumpulkan orang-orang untuk bermusyawarah. Sebagian berkata: ‘Berilah tanggal berdasarkan kenabian Nabi kita Muhammad saw’. Yang lain berkata, ‘Kita beri tanggal dari hijrahnya Nabi saw.’ Maka Umar ra berkata; ‘Benar, kita beri tanggal berdasarkan hijrahnya rasulullah saw ke Madinah, karena hijrah beliau adalah garis pemisah antara yang hak dan yang batil’.”

Sa’id Ibnul Musayyab berkata: “Mulai dari hijrahnya Rasulullah saw adalah perkataan Ali bin Abi Thalib ra ketika Umar ra bertanya kepada mereka. ‘Dari mana harus kita mulai?’.”

Maimun bin Mihran berkata: Telah di-sampaikan kepada Amirul Mu’minin Umar ra sepucuk surat (sertifikat) yang tertulis “sya’ban”. Maka Umar ra bertanya, “sya’ban yang mana? Sya’ban sekarang atau yang akan datang?”. Kemudian beliau mengumpulkan beberapa pemuka dari para sahabat ra. Beliau berkata: “Sesungguhnya harta (kas negara) telah melimpah dan yang sudah kita bagi tidak ditentukan dengan tanggal, maka bagaimana caranya agar kita sampai kepada penentuan tanggal tersebut? Mereka berkata, “Hal itu harus kita pelajari dari tulisan penanggalan orang-orang Parsi”.Maka ketika itu Umar mendatangkan Hurmuzan untuk dimintai kete-rangan. Lalu Hurmuzan berkata: “Sesungguhnya kami memiliki hitungan waktu yang kami sebut Maah Ruuz artinya hitungan bulan dan hari”. Maka mereka menggabung kata tersebut menjadi Muarrikh”. Kemudian mereka memberi nama Tarikh. Setelah itu, mereka berembuk tentang permulaan tanggal untuk negara islam. Akhirnya mereka sepakat untuk memulai dari tahun Hijrah, dan setelah mereka tetapkan bulan pertama adalah Muharram. Pernah mereka menghitung sampai akhir hayat Rasulullah saw, ternyata dari satu Muharram tahun pertama Hijriyah sampai wafatnya adalah sepuluh tahun dua bulan. Dan kalau dihitung benar-benar dari Hijrahnya Rasulullah saw adalah sembilan tahun, sebelas bulan dan dua puluh satu hari.

Kesalahan-Kesalahan Pemahaman Pada Awal Tahun Baru Hijriyah
1. Menjadikan tanggal satu Muharram sebagai saat bagi ibadah tertentu yang tidak ada ketentuannya dari syari’at dan meyakini fadhilah-fadhilah tertentu yang juga tidak ada tuntunannya seperti:
a. Doa awal tahun dan fadhilatnya, begitu pula dengan doa akhir tahun dan fadhilatnya. Doa tersebut bid’ah, tidak ada asalnya baik dari Rasulullah saw maupun dari para sahabatnya dan para tabi’in, serta tidak disebutkan baik dalam kitab-kitab musnad maupun dalam kumpulan hadits-hadits maudhu’ (palsu) sekalipun. Do’a itu hanyalah berasal dari sebagian orang-orang yang memperlihatkan diri sebagai orang-orang yang ahli ibadah namun tidak mengerti sunnah. Yang lebih hebat lagi adalah kedustaan, pembuatan dusta tersebut atas nama Allah dan RasulNya. Mereka telah menentukan fadhilah (keutamaan) bagi pembaca do’a tersebut, tanpa ada dasar dari wahyu. Ia berkata: “Siapa yang membacanya maka syaithan akan berkata sedih, “Kita sudah susah payah menggodanya selama setahun, ternyata ia merusak usaha kita hanya dalam sesaat”.”

Dan yang sangat mengherankan, sikap kaum muslimin yang menerima dan mengamalkan doa tersebut tanpa mau belajar dan bertanya kepada ulama-ulama Ahlus Sunnah. Mereka lupa atau mungkin tidak tahu apa yang telah dipesankan para ulama termasuk Al-Izz bin Abdussalam Al-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh imam Abu Syamah bahwa melaksanakan kebaikan itu harus mengikuti syari’at Rasulullah saw. Jika sudah mengetahui bahwa doa awal dan akhir tahun serta fadhilahnya tidak masyru’ maka mengamalkannya adalah bid’ah makruhah munkarah.

b. Puasa awal dan akhir tahun beserta fadhilahnya. Imam Al Fathani dalam kitab Tazkiratul Maudhu’at menyatakan dalam hadits yang artinya, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari terakhir dari bulan Dzulhijjah dan pada hari pertama dari bulan Muharram maka ia telah menutup tahun yang telah berlalu dengan ibadah puasa dan membuka tahun yang baru dengan berpuasa. Maka Allah akan menjadikan baginya sebagai kaffarat (penebus dosa) selama lima puluh tahun,” terdapat dua perawi yang pendusta. Dan di dalam hadits, “Pada awal malam dari bulan Dzulhijjah Ibrahim dilahirkan, maka barangsiapa yang berpuasa pada hari itu maka puasanya itu bisa menebus dosanya selama enam puluh tahun,” Terdapat Muhammad bin Sahl. Ia adalah pemalsu hadits.

2. Menjadikan awal tahun baru sebagai hari perayaan, hari besar atau hari raya. Kita tahu bahwa yang mempunyai adat merayakan tahun baru adalah orang-orang kafir. Orang-orang Persia merayakan hari raya Nairuz yaitu hari pertama musim semi, sedangkan orang Nasrani merayakan satu Januari sebagai hari raya tahun baru Masehi.
Merayakan awal tahun baru Hijriyah dengan berpesta makanan dan minum, berkumpul, dan menyalakan lampu lebih dari biasanya adalah sama dengan yang dilakukan orang-orang Nasrani pada tahun baru Masehi. Mereka menya-lakan api, membeli lilin, membuat makanan, bernyanyi ria dan lain sebagainya.
Imam Suyuti berkata: “Tasyabuh (me- nyerupai orang kafir) adalah haram, sekalipun tidak bermaksud seperti maksud mereka. Berdasarkan riwayat Ibnu Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud dan yang lainnya)

Ketahuilah bahwa pada periode salafus saleh tidak terdapat perayaan awal tahun Hijriyah. Maka mukmin sejati adalah orang yang meniti jalannya para salafus saleh, yang berteladan kepada apa yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad saw, dan berteladan kepada orang yang diberi ni’mat oleh Allah swt, yaitu pada Nabi-Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.
Membelanjakan harta untuk membiayai acara yang tidak disyari’atkan atau merayakan hari yang tidak diperintahkan untuk dirayakan adalah perbuatan sia-sia. Begitu pula memeriahkan hari yang mengandung keutamaan de-ngan cara yang tidak disyari’atkan juga adalah perbuatan sia-sia.

Ibnul hajj dalam Al Madkhal menyebutkan:
“Sebab larisnya adat-adat semacam tadi adalah diamnya sebagian ulama, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah menghidupkan syi’ar Islam. Innalillahi Wainna ilaihi Raji’un.”

Imam Suyuti mengingatkan: “Hendaknya orang Islam tidak memandang pelaku dan penggemar kesesatan, sekalipun ada ulama yang bersama mereka”. Imam besar Fudhail bin Iyadh berkata: “Ikutilah jalan kebenaran, sekalipun banyak orang yang binasa.”

Jadi menghidupkan tarikh hijri bukan dengan memperingati awal tahun barunya, melainkan dengan mencintai, membela dan menggunakannya dalam segala tulisan dan aktifitas kita.

Maraji’:
1. Buletin Ar Risalah, Tahun I No.62/ Jum’at IV /23 Dzulhijjah 1422 H-8 Maret 02 M.
2. Buletin Ar Risalah, Tahun II No.1/ Jum’at I / 1 Muharram 1423 H.
3. Mingguan Al-Alam Al-Islam, Senin 4-10 Sya’ban 1419 H. hal. 12.
4. Luqathatul ‘Ajlan, Muhammad Shidiq Hasan Khan, Darul Kitan Al-Ilmiyah, hal.27, 28, 135.
5. Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Suyuti, Tahqiq Mushtafa Asyur. Hal.67,70, 72.
6. Ishlahul Masajid, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Ta’liq Syaikh Al Bani, Al-Maktabul Islam. Hal.101, 102, 129.
7. Al-Sunan Wal Mubtada’at, Muhammad Abdus Salam Al-Syuqairi, Darul Fikr. Hal 134 dan 167.
8. Al Madkhal, Ibnul hajj....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar