13 April 2011

IJMA’ (KESEPAKATAN) SAHABAT

A. Siapakah Sahabat ?

Yang dimaksud dengan sahabat adalah “Setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw lalu beriman kepadanya dan mati diatas keimanannya tersebut”. Berdasarkan definisi ini, maka istri-istri Rasulullah saw termasuk kedalam golongan sahabat. Bahkan lebih khusus lagi, karena mereka adalah istri-istri beliau saat di dunia dan ketika di surga, serta mereka adalah ummahatul mu’minin (ibunda orang-orang beriman).

Mereka (istri-istri Rasulullah saw) memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, diantaranya:

1. Setiap amal shaleh yang mereka lakukan akan dibalas dua kali lipat.
Dan barangsiapa diantara kalian (istri - istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shaleh, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rizki yang mulia.” [QS.Al Ahzab (33): 31]

2. Mereka semua adalah istri-istri Nabi saw di surga.

3. Sepeninggal Rasulullah saw, mereka tidak boleh dinikahi oleh seorangpun. Dan ini adalah kekhususan yang tidak berlaku bagi wanita-wanita lain.

Yang paling utama di antara mereka (istri-istri Rasulullah saw) adalah Khodijah binti Kuwailid ra dan ‘Aisyah ra. Tentang keutamaan ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Keutamaan Aisyah di atas kaum wanita seperti keutamaan tsarid diatas seluruh jenis makanan.” (HR. Bukhari Muslim).
Catatan: Tsarid adalah roti yang dilumatkan serta dicampur dengan daging.

Termasuk Sahabat Adalah Ahlul Bait

Ahlul bait atau keluarga Nabi juga memiliki keutamaan tersendiri. Sudah sepantasnya kita sebagai umat islam mencintai seluruh Ahlul bait (keluarga Nabi) dan menjaga baik-baik pesan Rasulullah saw yang pernah bersabda:
Aku ingatkan kalian terhadap Allah akan ahlul baitku.” (HR.Muslim)

dan juga sabda beliau saw kepada ‘Abbas bin Abdul Muthalib (paman beliau) ketika ia mengeluh bahwa sebagian kaum Quraisy ada yang tidak ramah terhadap bani Hasyim, maka beliau saw bersabda:
Demi Allah yang nyawaku ada ditanganNya, tidaklah mereka beriman hingga mereka mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, serta dihasankan oleh Tirmidzi dan disepakati oleh Al Arna’uth).

Ahlul bait adalah siapa saja yang diharamkan menerima zakat, yaitu keluarga ‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil dan keluarga ‘Abbas. Mereka semua adalah dari bani Hasyim. Juga termasuk ke dalam ahlul bait adalah Bani al-Muthalib.

Sikap kita yaitu pertengahan antara Rafi-dhah yang sangat mengkultuskan keluarga Nabi saw tetapi membenci para sahabat yang lain, dan sikap Nawashib yang sangat membenci keluarga Nabi saw.

Adapun mengkhususkan julukan sayyid (tuan) atau sayyidah (nyonya) bagi sebagian orang yang dianggap keturunan Nabi saw, maka hal ini adalah suatu bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh para sahabat dan generasi sesudahnya.

B. Ijma’ (kesepakatan) atau konsensus para sahabat adalah hujjah (dalil) syar’iyyah

Ungkapan ini mengandung konsekuensi bahwa ketika para sahabat telah berijma’ tentang suatu masalah dalam agama, maka ijma’ tersebut harus diikuti. Siapa yang melanggarnya akan berdosa dan sesat. Ijma’ sahabat adalah ma’sum (terhindar dari kesalahan), walaupun secara perorangan mereka tidaklah ma’sum. Pada saat ijma’ tidak terwujud di kalangan mereka, atau ketika keyakinan mereka pada suatu masalah terbagi atas lebih dari satu pendapat, maka kita harus mengikuti salah satunya dan tidak boleh menentukan keyakinan baru lainnya yang berbeda dengan pendapat mereka.

Allah swt berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)

Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” [QS. an-Nisa’ (4): 115]

Ayat ini menjadi dalil tentang wajibnya mengikuti jalan orang-orang mukmin (yaitu para sahabat). Jika hal tersebut tidak wajib, niscaya Allah swt tidak akan mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan mereka dengan ancaman yang demikian keras.

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian”.... [QS. al-Baqoroh (2): 143]

Ayat ini menegaskan bahwa umat ini adalah umat yang diterima kesaksiannya oleh Allah swt. Oleh karena itu, jika umat ini berkata dan bersepakat atas sesuatu, maka ke-sepakatan mereka menjadi hujjah, karena hal itu merupakan konsekuensi dari diterimanya kesaksian mereka.

Rasulullah saw bersabda:
Aku wasiatkan kalian agar (mengikuti) para sahabatku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudahnya.... Barangsiapa yang menghendaki keluasan surga, maka berpegang teguhlah dengan jama’ah.” (HR. at Tirmidzi (no: 2172) dia berkata: “ini hadits hasan shahih gharib dari jalan ini”, Imam Ahmad dalam musnadnya: 1/114, Ibnu Majah (no:2363) dan Ibnu Hibban (no:7254), serta disahihkan oleh syeikh al Albani dalam silsilah Al Ahadits Ash Shahihah No: 431)

Allah tidak akan pernah menghimpun umat ini diatas kesesatan, selama-lamanya.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak: 1/115-117)

Ijma artinya kesepakatan para ulama mujtahid dari umat Muhammad saw setelah wafatnya beliau tentang suatu hukum syar’i tertentu yang terjadi dalam suatu masa.

Dalam hal ini, ijma’ yang diakui adalah ijma’ yang terjadi pada masa sahabat, karena hanya ijma’ mereka saja yang dapat diketahui dengan pasti. Sedangkan setelah mereka, umat islam berpencar ke berbagai penjuru bumi dan perselisihan pun banyak terjadi, sehingga tidak mungkin bisa diketahui dengan pasti adanya ijma’ setelah mereka (sahabat).

Referensi :
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits: a. Imam Ahmad, Ibnu Hibban, At Thirmidzi, Ibnu Majah b. Shahih Al Bukhari,
Muslim c. Al Hakim dalam Al Mustadrak
3. Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Al-Faruq. (dengan segala sumber)
4. Ahlussunnah wal Jama’ah Ma’alimil Intilaq Qubro, M. Al Mishri
5. Silsilah Al Ahaadits Ash Shahihah, oleh: Muhammad Nasharuddin Al-Albani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar