Diriwayatkan dalam shahihain dari Rasulullah saw. bahwa beliau ber sabda :
“Barang siapa mengerjakan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari ridha Allah, maka ampunilah dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah mensyariatkan puasa pada siang hari bulan Ramadhan dan mensyariatkan shalat sunah pada malam harinya melalui lisan Rasul-Nya, dan menjadikan shalat ini sebagai sebab disucikannya seseorang dari dosa dan kesalahannya. Tetapi, shalat yang dimaksud disini ialah shalat yang dilaksanakan secara sempurna dengan memenuhi syarat, rukun, adab, dan batas-batasnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu rukun shalat adalah tuma’ninah. Oleh sebab itu, ketika seseorang melakukan shalat didepan Nabi saw. tanpa memperhatikan hak shalat, semisal tuma’ninah, beliau bersabda kepada orang tersebut :
“Ulangilah shalatmu, karena engkau belummelaksanakan shalat.”
Kemudian beliau mengajarinya cara shalat yang diterima oleh Allah, dengan bersabda:
“Rukulah sehingga engkau tuma’ninah ketika ruku, beri’tidallah sehingga engkau tuma’ninah dengan berdiri, bersujudlah sehingga engkau tuma’ninah ketika bersujud, dan duduklah diantara dua sujud sehingga engkau tuma’ninah pada waktu duduk, dan demikianlah seterusnya ... “ (Hadits riwayat Asy-Syaikhani dan Ashhabus Sunan dari hadits Abu Hurairah).
Maka tuma’ninah dalam semua rukun ini merupakan syarat yang harus dipenuhi. Adapun batasan yang menjadi syarat itu diperselisihkan oleh para ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ukuran minimal tuma’ninah ialah selama membaca satu kali tasbih, seperti mengucapkan “Subhaana Rabbiyal A’laa”. Sedangkan sebagian lagi (seperti Syekhul Islam Ibnu Taimiyah) mensyaratkan ukuran minimal tuma’ninah dalam ruku dan sujud ialah kira-kira selama membaca tasbih tiga kali. Sebab diriwayatkan dalam Sunnah bahwa membaca tasbih itu tiga kali, dan ini dianggap sebagai batas minimal. Karena itu anda harus tuma’ninah dengan ukuran membaca tasbih tiga kali. Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun : 1-2).
Khusyu’ itu ada dua macam, yaitu khusyu’ badan dan khusyu’ hati. Khusyu’ badan dalam shalat yaitu bersikap tenang, tidak melakukan tindakan yang sia-sia, tidak berpaling seperti musang, tidak melakukan ruku dan sujud seperti ayam mematuk makanan. Tetapi, kesemuanya ditunaikan dengan rukun-rukun dan batas-batasnya sebagaimana yang disyariatkan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, dalam melaksanakan shalat, wajib khusyu’ badannya dan khusyu’ hatinya.
Adapun khusyu’ hati artinya merasakan kehadiran keagungan Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini dapat dicapai dengan cara merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat bahwa orang yang melakukan shalat sedang berada dihadapan Allah, serta ingat pula bahwa Allah telah berfirman di dalam hadits qudsi :
“Aku membagi shalat (-- al- Fatihah --) antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, yaitu apabila si hamba membaca al hamdulillaahi rabbil’aalamin, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’ ; Apabila ia mengucapkan Ar Rahmaanir Rahim, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’ ; apabila ia mengucapkan maaliki yaumiddin, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan Aku’ ; apabila ia mengucapkan iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in, Allah berfirman, ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku ; apabila ia mengucapkan ihdinash shirathal mustaqim, Allah berfirman, ‘ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’” (HR. Muslim).
Allah SWT tidak jauh dari orang yang sedang shalat, bahkan Dia menjawab kepadanya.
Oleh karena itu, ketika sedang mengerjakan shalat hendaklah seorang muslim merasa sedang berdialog dengan Allah, dan menghadirkan hatinya pada setiap gerakan, pada setiap saat, serta pada setiap rukunnya. Maka orang-orang yang melakukan shalat tetapi perhatiannya kosong dan terlepas dari shalat (bahkan ingin membuangnya karena merasakannya sebagai suatu beban), bukanlah shalat sebagaimana yang dituntut agama. Pada praktiknya, banyak sekali orang yang melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh tiga atau dua puluh rakaat hanya dalam tempo beberapa menit. mereka seakan-akan ingin menyambar shalat itu dan ingin agar segera selesai dalam waktu yang lebih singkat sehingga ruku dan sujud yang mereka lakukan tidak sempurna. Dengan demikian kekhusyu’an pun mereka abaikan.
Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan orang-orang beriman dan khusyu’.
----------
Berpuasa Tetapi Tidak Shalat
Salah satu fenomena aneh yang terjadi di tengah kaum Muslimin adalah ada nya orang yang begitu perhatian menjalan kan puasa Ramadhan, akan tetapi (sayang sekali) tidak memiliki perhatian untuk menjalankan shalat.
Ramadhan memiliki kehormatan dan kewibawaan yang agung di jiwa umat manusia, yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak ada yang berani menodainya selain ahli maksiat, yang tidak memiliki sentuhan sedikit pun dengan Islam.
Tidak diragukan bahwa shalat, dalam timbangan agama, lebih agung dibanding puasa. Ia merupakan ibadah pertama dan pilar Islam, ia merupakan batas pemisah antara
Muslim dengan kafir. Akan tetapi, kebodohan, kelalaian, dan cinta dunia telah menjadikan orang lupa akan urgensi (pen tingnya) shalat dan kedudukannya dalam Islam, sehingga kita mendapatkan sebagian mereka menghabiskan umurnya tanpa sekali pun pernah rukuk kepada Allah.
Kemudian di setiap Ramadhan, kita menghadapi pertanyaan yang terus diulang-ulang, ”Bagaimana hukum orang yang puasa, namun tidak mengerjakan shalat?” Adapun orang yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, sebagaimana secara tekstual tersebut dalam beberapa hadits, ia juga diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan ahli fiqih semisal Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, dan lainnya, maka fatwanya jelas tentang hal ini, yakni mereka melihat puasanya itu tidak sah atau batal, karena telah kafir sebab meninggalkan shalat. Puasa tidak diterima dari seorang kafir.
Adapun orang yang berpendapat sebagaimana pandangan jumhur ahli fiqih dari kalangan salaf (ulama terdahulu) dan khalaf (ulama mutaakhirin), bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah fasik bukan kafir, dan Allah SWT. tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal, tidak pula menzalimi meski sebiji atom, sebagaimana firman-Nya,
“Maka barangsiapa berbuat kebaikan meskipun hanya sebiji atom, ia akan melihatnya, dan barangsiapa berbuat kejahatan meskipun sebiji atom, ia akan melihatnya (Az-Zalzalah: 7-8).
Ia berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu mendapatkan sanksi karena meninggalkannya, dan ia mendapatkan pahala karena menjalankan puasa. Sedangkan sanksi karena meninggalkan suatu kewajiban, tidak menghilangkan ganjarannya menunaikan kewajiban yang lain. Allah SWT. berfirman,
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi, niscaya Kami mendatangkan (balasan)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Jika kita memandangnya dai sisi operasional dan tarbiah, apa manfaatnya mengatakan kepada orang yang berpuasa tanpa shalat, bahwa puasa atau tidak sama saja, engkau tidak mendapatkan pahala dengan puasamu? Hal ini justru mendorongnya untuk meninggalkan puasa, sebagaimana ia meninggalkan shalat. Dengan ini terputuslah benang terakhir yang menghubungkannya dengan agama, yakni dengan kewajiban ibadah. Bahkan boleh jadi sikap inilah yang akan membuat ia menjauh dari agama tanpa pernah kembali lagi.
Sesuatu yang lebih utama dan bermanfaat adalah, kita katakan kepadanya, “Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas puasamu, namun engkau harus menyempurnakan Islammu dengan sesuatu yang lebih agung dari puasa, yaitu shalat. Engkau telah lapar, dahaga, dan menahan syahwat untuk mencari ridha Allah, namun mengapa engkau bermalasan untuk meletakkan kedua telapak kakimu bersama orang-orang yang shalat, engkau rukuk dan sujud bersama mereka karena mengharap ridha Allah semata?
Mempertahankan tali akhir yang menghubungkannya dengan agama ini, meskipun hanya sebulan dalam setahun, adalah lebih baik daripada memutuskannya tanpa ganti. Ibarat, buta mata sebelah masih lebih baik daripada buta total.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
1. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Isani Press, Jakarta, 2001.
2. Fiqih Puasa, Dr. Yusuf Qardhawi, Era Intermedia, Jakarta, 2001.
Maka tuma’ninah dalam semua rukun ini merupakan syarat yang harus dipenuhi. Adapun batasan yang menjadi syarat itu diperselisihkan oleh para ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ukuran minimal tuma’ninah ialah selama membaca satu kali tasbih, seperti mengucapkan “Subhaana Rabbiyal A’laa”. Sedangkan sebagian lagi (seperti Syekhul Islam Ibnu Taimiyah) mensyaratkan ukuran minimal tuma’ninah dalam ruku dan sujud ialah kira-kira selama membaca tasbih tiga kali. Sebab diriwayatkan dalam Sunnah bahwa membaca tasbih itu tiga kali, dan ini dianggap sebagai batas minimal. Karena itu anda harus tuma’ninah dengan ukuran membaca tasbih tiga kali. Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun : 1-2).
Khusyu’ itu ada dua macam, yaitu khusyu’ badan dan khusyu’ hati. Khusyu’ badan dalam shalat yaitu bersikap tenang, tidak melakukan tindakan yang sia-sia, tidak berpaling seperti musang, tidak melakukan ruku dan sujud seperti ayam mematuk makanan. Tetapi, kesemuanya ditunaikan dengan rukun-rukun dan batas-batasnya sebagaimana yang disyariatkan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, dalam melaksanakan shalat, wajib khusyu’ badannya dan khusyu’ hatinya.
Adapun khusyu’ hati artinya merasakan kehadiran keagungan Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini dapat dicapai dengan cara merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat bahwa orang yang melakukan shalat sedang berada dihadapan Allah, serta ingat pula bahwa Allah telah berfirman di dalam hadits qudsi :
“Aku membagi shalat (-- al- Fatihah --) antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, yaitu apabila si hamba membaca al hamdulillaahi rabbil’aalamin, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’ ; Apabila ia mengucapkan Ar Rahmaanir Rahim, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’ ; apabila ia mengucapkan maaliki yaumiddin, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan Aku’ ; apabila ia mengucapkan iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in, Allah berfirman, ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku ; apabila ia mengucapkan ihdinash shirathal mustaqim, Allah berfirman, ‘ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’” (HR. Muslim).
Allah SWT tidak jauh dari orang yang sedang shalat, bahkan Dia menjawab kepadanya.
Oleh karena itu, ketika sedang mengerjakan shalat hendaklah seorang muslim merasa sedang berdialog dengan Allah, dan menghadirkan hatinya pada setiap gerakan, pada setiap saat, serta pada setiap rukunnya. Maka orang-orang yang melakukan shalat tetapi perhatiannya kosong dan terlepas dari shalat (bahkan ingin membuangnya karena merasakannya sebagai suatu beban), bukanlah shalat sebagaimana yang dituntut agama. Pada praktiknya, banyak sekali orang yang melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh tiga atau dua puluh rakaat hanya dalam tempo beberapa menit. mereka seakan-akan ingin menyambar shalat itu dan ingin agar segera selesai dalam waktu yang lebih singkat sehingga ruku dan sujud yang mereka lakukan tidak sempurna. Dengan demikian kekhusyu’an pun mereka abaikan.
Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan orang-orang beriman dan khusyu’.
----------
Berpuasa Tetapi Tidak Shalat
Salah satu fenomena aneh yang terjadi di tengah kaum Muslimin adalah ada nya orang yang begitu perhatian menjalan kan puasa Ramadhan, akan tetapi (sayang sekali) tidak memiliki perhatian untuk menjalankan shalat.
Ramadhan memiliki kehormatan dan kewibawaan yang agung di jiwa umat manusia, yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak ada yang berani menodainya selain ahli maksiat, yang tidak memiliki sentuhan sedikit pun dengan Islam.
Tidak diragukan bahwa shalat, dalam timbangan agama, lebih agung dibanding puasa. Ia merupakan ibadah pertama dan pilar Islam, ia merupakan batas pemisah antara
Muslim dengan kafir. Akan tetapi, kebodohan, kelalaian, dan cinta dunia telah menjadikan orang lupa akan urgensi (pen tingnya) shalat dan kedudukannya dalam Islam, sehingga kita mendapatkan sebagian mereka menghabiskan umurnya tanpa sekali pun pernah rukuk kepada Allah.
Kemudian di setiap Ramadhan, kita menghadapi pertanyaan yang terus diulang-ulang, ”Bagaimana hukum orang yang puasa, namun tidak mengerjakan shalat?” Adapun orang yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, sebagaimana secara tekstual tersebut dalam beberapa hadits, ia juga diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan ahli fiqih semisal Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, dan lainnya, maka fatwanya jelas tentang hal ini, yakni mereka melihat puasanya itu tidak sah atau batal, karena telah kafir sebab meninggalkan shalat. Puasa tidak diterima dari seorang kafir.
Adapun orang yang berpendapat sebagaimana pandangan jumhur ahli fiqih dari kalangan salaf (ulama terdahulu) dan khalaf (ulama mutaakhirin), bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah fasik bukan kafir, dan Allah SWT. tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal, tidak pula menzalimi meski sebiji atom, sebagaimana firman-Nya,
“Maka barangsiapa berbuat kebaikan meskipun hanya sebiji atom, ia akan melihatnya, dan barangsiapa berbuat kejahatan meskipun sebiji atom, ia akan melihatnya (Az-Zalzalah: 7-8).
Ia berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu mendapatkan sanksi karena meninggalkannya, dan ia mendapatkan pahala karena menjalankan puasa. Sedangkan sanksi karena meninggalkan suatu kewajiban, tidak menghilangkan ganjarannya menunaikan kewajiban yang lain. Allah SWT. berfirman,
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi, niscaya Kami mendatangkan (balasan)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Jika kita memandangnya dai sisi operasional dan tarbiah, apa manfaatnya mengatakan kepada orang yang berpuasa tanpa shalat, bahwa puasa atau tidak sama saja, engkau tidak mendapatkan pahala dengan puasamu? Hal ini justru mendorongnya untuk meninggalkan puasa, sebagaimana ia meninggalkan shalat. Dengan ini terputuslah benang terakhir yang menghubungkannya dengan agama, yakni dengan kewajiban ibadah. Bahkan boleh jadi sikap inilah yang akan membuat ia menjauh dari agama tanpa pernah kembali lagi.
Sesuatu yang lebih utama dan bermanfaat adalah, kita katakan kepadanya, “Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas puasamu, namun engkau harus menyempurnakan Islammu dengan sesuatu yang lebih agung dari puasa, yaitu shalat. Engkau telah lapar, dahaga, dan menahan syahwat untuk mencari ridha Allah, namun mengapa engkau bermalasan untuk meletakkan kedua telapak kakimu bersama orang-orang yang shalat, engkau rukuk dan sujud bersama mereka karena mengharap ridha Allah semata?
Mempertahankan tali akhir yang menghubungkannya dengan agama ini, meskipun hanya sebulan dalam setahun, adalah lebih baik daripada memutuskannya tanpa ganti. Ibarat, buta mata sebelah masih lebih baik daripada buta total.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
1. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Isani Press, Jakarta, 2001.
2. Fiqih Puasa, Dr. Yusuf Qardhawi, Era Intermedia, Jakarta, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar