22 November 2018

Pembatal Keislaman ke 5: Membenci Syariat Islam

Pembatal Keislaman ke-5 yaitu, Marah / benci terhadap sesuatu dari apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallohu alaihi wa salam, walaupun ia melakukannya.

Ada yang namanya mahalabiu, yaitu apa yang dimaksudkan komunikator, disengaja untuk berbeda dengan maksud yang ditangkap komunikan. Seperti kita bercanda kepada teman kita dengan berpura-pura menawarkan kopi, “Antum mau kopi...?” Teman kita menjawab, “Jelas dong... mana?” Lalu kita mengatakan, “Ha..ha.. Sama saya juga mau...?”

Atau yang terjadi pada tradisi Jawa yaitu, menawarkan makanan pada tamu padahal ia hanya memiliki cukup untuk mereka saja. bahkan terkadang mereka tidak punya makanan.

Nah seperti ini namanya mahalabiu, maksud kita itu bukan menawarkan kopi. Tetapi dengan bahasa penawaran seperti itu, teman kita menyangka bahwa kita menawarkan kopi. Kalau tidak dimaksudkan bercanda atau kesopanan, tentu saja berbahaya. Tidak berbohong memang, tapi bisa menimbulkan asumsi yang berlebihan.

Pada beberapa kasus, kita pun sering mendapati Rasulullah melakukan yang demikian. Seperti ketika ada nenek-nenek yang meminta dido’akan oleh Rasulullah agar dimasukkan ke dalam surga bersamanya. Maka Rasulullah mengatakan,

“Di surga tidak ada nenek-nenek..!” Maksudnya baru beliau jelaskan setelah si nenek menangis, bahwa ketika masuk surga, semua insan beriman menjadi muda kembali. Dan ini bukan suatu kebohongan.

Ada lagi yang lainnya. tetapi, Yang ini jelas-jelas sebuah kebohongan, bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena kebohongan ini menyangkut dari prinsip aqidah Islam. Tetapi seperti mahalabiu, kebohongan ini pun masih memiliki beberapa maksud yang dimungkinkan.

Dan kebohongan seperti ini masih bisa dimaafkan, jika sipelaku benar-benar dalam kondisi yang sudah sangat terjepit. Seperti ia diancam akan dibunuh jika tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Nah... bagi seorang muslim yang terancam dalam situasi seperti ini, dimana situasinya sudah benar-benar genting, dalam kondisi pengancam dan yang diancam saling berhadapan, tidak ada kekuatan untuk melawan dan tidak kemungkinan lari lagi, maka dalam hal ini diperbolehkan bagi dia untuk berbohong.

Tetapi, tetap tidak dibolehkan begitu saja mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, hatinya harus tetap meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulloh dan harus diusahakan memberi jawaban yang masih memiliki beberapa kemungkinan. Seperti pada zaman dahulu, ada seorang ulama yang dipaksa menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Setelah situasinya sudah tidak memungkinkan, ia pun berucap, “Zabur (sambil mengangkat salah satu jarinya), Taurat (diangkat lagi salah satu jarinyanya dan begitu pun ketika menyebutkan: Injil dan Al-Qur’an, (hingga terangkat keempat jarinya)...” Ia melanjutkan dengan menunjuk keempat jarinya yang diangkat... “Semuanya ini adalah makhluk...”.

Tentu, yang dimaksud ulama itu bukan keempat Kitab itu makhluk, tetapi keempat jari itu adalah makhluk.

Retorika Kemunafikan

Lain di mulut lain di hati... ini merupakan bentuk lain lagi yang jauh dari kedua kondisi di atas. Kemunafikan...? Ya kemunafikan... tidak ada bentuk lain lagi yang memegang definisi simpel di atas kecuali kemunafikan. Kemunafiqan ini kebalikan dari menyembunyikan keimanan, yaitu menyembunyikan kekafiran dengan dibungkus oleh pengamalan syari'at islam. contoh dari kasus ini: yaitu banyaknya aliran sesat yang tidak lain dibalik semua ini adalah orang-orang Yahudi yang pura-pura islam. atau yang terjadi pada Syi'ah dengan Taqiyyah-nya.

Bukankah aneh? Ada orang yang mengamalkan apa yang dibawa oleh Rasulullah, namun dia sendiri membencinya, menginginkan agar yang ia kerjakan itu musnah? Itulah kemunafikan, suatu bentuk kekafiran yang samar. Dan bahayanya, bagi orang yang sudah terjangkiti penyakit ini, maka ia pasti menjadi musuh yang menyelinap dan racun yang mematikan.

Tak ada musuh yang lebih licik dari kemunafikan yang bersarang di ketiak keimanan. Kadang ia menjadi alat yang dimanfaatkan musuh terang-terangan. Sering juga ia menjadi dirinya sendiri, mengambil keuntungan di saat lengahnya barisan kebenaran.

Kemunafikan adalah retorika kepalsuan iman yang pada zaman ini gandrung dipertontonkan. Berbeda dengan para pendahulunya di zaman Rasulullah yang tidak berani vokal menentang syari’at dan hanya menyembunyikan kekufuran didalam hatinya dengan bermantelkan Islam, orang-orang munafik modern zaman ini begitu nyaringnya menentang Islam dan syari’atnya, walaupun begitu ciri mereka masih sama, yaitu badan mereka masih berbungkus baju muslim.

Tetapi tetap saja, baik moyang atau generasi penerusnya, mereka memiliki spirit yang sama: menohok kebenaran dari dalam. Penampilannya begitu mempesona. Ia adalah cendikiawan yang selalu didengar kata-katanya. Pembicaraannya begitu meyakinkan. Ia beragumen, membangun kerangka-kerangka pikir kosong yang didengarkan dengan kagum. Tetapi ia sendiri ragu dengan yang ia katakan, khawatir seolah ia selalu diteriaki dengan keras.

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Munafiqun [63] : 4).

Generasi awal kemunafikan dengan Ibnu Ubay bin Salul sebagai gembongnya selalu berusaha “menjatuhkan” Rasulullah beserta para sahabatnya. Mereka mengkritisi Rasulullah, menafsirkan Al-Qur’an dengan seenak nafsu tanpa ada pengagungan dan penghormatan. Sungguh jelas kekafiran mereka.

Bersandar dalam kepura-puraan, ‘Abdullah ibn Ubay bin Salul dan wajah-wajah masa kininya yang tak berubah menipu kanan dan kiri. Musuh-musuh nyata siap memberikan dukungan dana. Dan munafik akan siap bekerja menjadi stuntman bagi syaithan-syaithannya dalam setiap aksi penentangan atau pengacauan kebenaran.

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS. Al-Baqarah [2]: 14).

Betapa celakanya kemunafikan. Ia merupakan tempat naungan bagi para pengecut dari golongan orang kafir yang berusaha mencari celah antara keimanan dan kekafiran, tapi sayang ini membuatnya terperosok gosong ke kerak jahannam. (lihat QS.An-Nisaa’[4]: 143 & 145).

Itulah balasan yang paling pantas bagi orang-orang yang menjadi musuh dalam selimut, para pengkhianat yang selalu berbicara di belakang, bersedih ketika Islam jaya dan sebaliknya senang bila Islam mengalami kemunduran. Sungguh... semoga Allah membinasakan kalian wahai orang-orang munafiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar