Ada sebuah sikap berbahaya yang kadang-kadang dilakukan oleh seorang muslim, yakni sikap berpaling dari Islam. Kata berpaling disini adalah terjemahan dari kata al-I’radl. Sedang al-I’radl sendiri bisa berarti meninggalkan, menghalang-halangi, dan tidak menerima.
Sedangkan para ulama’ menjelaskan maksud berpaling disini, adalah enggan mempelajarinya dan tidak mengamalkannya. Tentang sikap berpaling ini Allah berfirman;
“Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran),” (QS.Al-Qiyamah [75]: 31-32).
“...Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka” (QS. Al-Ahqaf [46]: 3).
Sikap berpaling ini bisa dikenali dengan beberapa indikasi, antara lain; Tidak mau memperhatikan ajaran Islam, tidak mempedulikannya, alergi berbicara tentangnya dan tidak memikirkannya.
Sikap inilah yang banyak terjadi di tengah umat Islam. Mereka menomorseribukan urusan agama. Seperti yang kerap terjadi, ketika sedang berdiskusi tentang suatu persoalan, lalu diingatkan tentang hukum syari’at maka dia katakan,
“Sudahlah, jangan bawa-bawa urusan agama di sini”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa mereka menganggap urusan agama adalah perkara langit, sementara mereka hidup di dunia yang jauh dari langit. Indikasi adanya sikap berpaling yang lain bisa kita temui dalam bentuk tidak mau mentaati perintah dan larangan, dan tidak mengamalkan kewajiban. Sikap ini membawa seseorang meninggalkan segala bentuk amal yang menjadikannya seperti seorang atheis.
Ada juga berpaling dari agama yang dilakukan dalam bentuk menghalang-halangi da’wah, atau enggan menerima hukum Islam. Sikap berpaling dari Islam ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu berpaling yang menyebabkan batalnya ke-islaman seseorang dan berpaling yang tidak menyebabkan batalnya keislaman.
Kita perlu membedakan sikap berpaling ini karena dalam realita kita dapatkan orang yang sama sekali tidak mau mendengar keterangan tentang agama. Tetapi ada juga orang yang sekedar mau mendengarkan, meskipun tidak menerimanya sebagai kebenaran. Dan ada orang yang mau mendengar, menerima sebagai kebenaran tetapi tidak mengamalkannya, atau “sami’na wa ‘ashaina” (kami mendengar tetapi kami tinggalkan). Dan juga ada orang yang mau mempelajari, menerima sebagai kebenaran, mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian.
Sikap berpaling dari agama yang membatalkan keislaman adalah sikap berpaling yang sampai pada tingkatan tidak peduli terhadap agama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah,
“Kufur karena berpaling dari Islam adalah seperti orang yang berpaling dengan pendengaran dan hatinya dari Rasulullah, sehingga ia tidak mempercayainya tetapi juga tidak mendustakannya, tidak memusuhinya dan tidak mendukungnya, dan tidak mempedulikan apa yang diajarkan beliau sama sekali”.
Tentang orang yang menjadi kafir karena berpaling itu Allah berfirman,
“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur [24]: 47-51).
Lebih lanjut para ulama menjelaskan bahwa orang yang menjadi kafir karena berpaling dari Islam ini adalah berpalingnya dari iman, bisa berupa berpaling total bahkan hingga enggan mempelajari pokok-pokok agama seraya mengatakan,
“Saya tak mau belajar soal agama”…
“Saya tak mau mendengar soal agama sedikit pun...” atau ungkapan yang senada dengan hal itu.
Bisa juga termasuk ke dalam sikap berpaling ini adalah orang yang mau mendengar dan terkadang mengikuti majelis ta’lim, tetapi ia tidak menerima dan tidak membenarkan ajaran Islam.
Contohnya, ketika seorang muballigh menjelaskan tentang haramnya khamr lalu ada orang yang berkata,
“Yang begitu itu kan menurut Anda, padahal setiap orang kan punya hak asasi untuk menafsirkan sendiri-sendiri. Yang penting kan tidak mengganggu orang lain”.
Dan juga bisa termasuk ke dalam sikap berpaling dari agama meski tidak mengatakan apa-apa adalah ketika ia tidak mau mengamalkan ajaran agama sama sekali. Shalat tidak pernah, puasa tidak pernah, zakat tidak, apalagi naik haji. Syahadat pun hanya diucapkan ketika akan melakukan akad nikah, karena tradisi mengucap syahadat sebelum akad nikah.
Hal-hal semacam itu menyebabkan kekafiran, karena menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, iman terdiri dari 3 hal, yaitu keyakinan di dalam hati, pernyataan di dalam lisan, dan amal perbuatan, baik amal hati, maupun amal anggota badan. Maka ketika ada amal anggota badan yang menunjukkan sikap berpaling dari Islam, cukuplah ia dinyatakan sebagai pelaku tindak kekufuran.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan kepada al-Humaidi,
”Pernah ditanyakan kepadaku tentang pendapat masyarakat bahwa orang telah meyakini wajibnya shalat, puasa, zakat dan haji tetapi tidak mengamalkannya hingga mati, atau orang yang melakukan shalat dengan membelakangi qiblat sampai ia mati, ia tetap dikatakan mukmin selama tidak juhud (menolak ajaran Islam). Maka aku jawab, itu adalah kufur yang jelas, itu adalah kufur yang jelas, sebab ia tidak beramal sama sekali…”
Imam Abu Tsaur pernah ditanya,
“Apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang?” maka ia menjawab, “Orang yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, (sehingga iman tidak bertambah dan berkurang) adalah kaum Murji’ah, dan kami berpendapat bahwa orang yang tidak beramal sama sekali bukan orang muslim. Sebab sikap ini termasuk ke dalam sikap berpaling dari agama yang disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur’an. Kami tidak mengatakan berpaling dari satu amal, seperti orang berpaling dan tidak mau berpuasa sehari di bulan Ramadlan, tidak demikian. Yang kami katakan adalah, orang yang tidak beramal sama sekali adalah kafir.”
Imam asy-Syaukani pernah ditanya, Apa hukum orang badui yang tidak mengamalkan Islam sama sekali selain mengucap dua kalimah syahadat, apakah dia kafir atau tidak? Dan apakah ada kewajiban kaum muslimin untuk memerangi mereka atau tidak?
Asy-Syaukani menjawab, “Orang yang meninggalkan keempat rukun Islam dan semua kewajiban-kewajiban lainnya, yang tersisa di dalam dirinya tinggal mengucap dua kalimah syahadat, maka tidak perlu diragukan lagi dia kafir. Karena ia kafir, maka halal darah dan hartanya.”
Dari penjelasan di atas bisa ditegaskan bahwa beriman yang benar menuntut adanya amal. Tanpa adanya amal sama sekali, maka imannya tidak sah. Sebab ada-nya amal menunjukkan kebenaran keyakinannya yang ada di dalam hati. Sedangkan tidak adanya amal menunjukkan tidak ada-nya keyakinan di dalam hati.
Antara keyakinan di hati dan amal ibarat lidah dan bibir. Untuk bisa berbicara dengan baik, tidak mungkin memisahkan antara keduanya. Wallahu’alam.
Referensi :
1. Buletin Al-Huda edisi ke-16, 2008.
2. Majalah Gerimis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar