Pembatal Keislaman yang ke 4 yaitu, Orang yang meyakini bahwasanya petunjuk selain petunjuk Rasulullah lebih sempurna atau meyakini Yaitu, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum buatan manusia atau thogut dari pada hukum yang dibawa oleh Rasulullah.
Dengan berbagai alasan apapun, tidak ada kata yang lebih buruk untuk sebutan orang-orang yang mengambil hukum selain hukum Allah melainkan adalah orang-orang kafir, yang membangkang, para penentang dan musuh-musuh Allah yang menandingi-Nya.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Maidah [5]: 50).
“.... Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 44).
Islam adalah agama yang kamil (sempurna). Salah satu bukti kesempurnaannya adalah bahwa ajaran Islam banyak mengandung petunjuk-petunjuk dan peraturan-peraturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, maka dalam kehidupan manusia tidak ada satu aspek pun yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islami, langsung ataupun tidak langsung. Bukti lain dari kesempurnaan Islam adalah bahwa semua petunjuk dan peraturan-peraturan tersebut penuh dengan rahmat yang sempurna dan juga penuh dengan keadilan yang sempurna.
Semua itu dikarenakan kesempurnaan Islam bertolak dari kesempurnaan Allah, Dzat Yang menurunkan Islam kepada hamba-hamba-Nya agar dijadikan pedoman hidup oleh mereka.
Barangsiapa yang menganggap adanya kekurangan dalam Islam walaupun hanya sedikit saja, maka orang itu telah menganggap bahwa Allah bukanlah Dzat Yang Maha sempurna. Hanya melalui Islamlah Allah menurunkan hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu,hanya dengan ketundukan kepada hukum-hukum-Nya-lah, maka akan terwujud penyerahan diri secara total kepada-Nya.
Ketika hukum-hukum Allah telah sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, maka penyerahan diri kepada-Nya pun harus mencakup seluruh kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi (perorangan) maupun kehidupan bermasyarakat.
Maka, semua aspek kehidupan harus ditundukkan kepada Allah, baik dalam peribadatan, akhlak, politik, ekonomi, maupun dalam gerak-gerik batin seseorang sekalipun.
Selama 13 abad lamanya, bagi generasi kaum muslimin logika syar’i tersebut diatas telah sangat jelas dan meyakinkan sekali. Namun ketika memasuki abad ke-14, tepatnya ketika Khilafah Islamiyah terakhir runtuh dan musuh-musuh Islam menguasai negeri-negeri Islam, maka para musuh mengetahui dengan pasti bahwa kekuatan kaum muslimin terletak pada hubungan mereka dengan agama dan dasar agama mereka, yaitu yang terwujud dalam kumpulan hukum-hukum yang tertata dengan teratur.
Oleh karena itu, mereka (para musuh) mulai bergerak untuk dapat memisahkan kaum muslimin dengan hukum-hukum Islam. Berkaitan dengan hukum-hukum pribadi, seperti peribadatan perorangan, akhlak, mu’amalah dan lainnya, mereka (para musuh) berusaha menyuburkan bid’ah, menyebarkan kerusakan akhlak dan mengkerdilkan urgen atau pentingnya pendidikan sunnah yang benar.
Berkaitan dengan hukum-hukum sosial masyarakat, mereka mendirikan sistem-sistem sekuler di negara-negara kaum muslimin yang dijalankan oleh boneka-boneka mereka, yaitu kaum munafik yang berasal dari generasi kaum muslimin sendiri, namun telah diisi dengan fikrah anti Islam dan telah dikader untuk memperkuat barisan minoritas non muslim.
Fakta seperti ini bukan hanya ada di Indonesia saja, bahkan dapat disaksikan di seluruh negeri-negeri kaum muslimin, dengan pola dasar yang sama persis. Pemerintah-pemerintah sekuler inilah yang akan menjadi penjaga paling setia bagi kaum kafir (para musuh) dalam memperta-hankan berbagai kondisi non (tidak) Islami.
Kondisi non Islami (kufur) terbesar serta yang menjadi tiang penyangga dan payung bagi semua kondisi-kondisi non Islami lainnya adalah “proses” penyingkiran hukum-hukum Allah dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yang diganti dengan hukum-hukum thaghut yang berupa undang-undang import atau buatan lokal dari akal manusia.
Undang-undang tersebut dinamakan sebagai hukum thaghut, karena semua undang-undang yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah adalah undang-undang atau hukum-hukum thaghut.
Dalam logika Islam, kufurnya penerapan hukum-hukum thaghut merupakan sesuatu yang sangat jelas, bahkan lebih jelas dari terangnya sinar matahari di siang hari. Tetapi para penjaga hukum thaghut dari kalangan para penguasa sekuler itu tidak akan pernah tinggal diam. Mereka membentuk sistem pendidikan sekuler, yang membuat putra-putri Islam terbutakan matanya tentang kejelasan hal tersebut.
Lebih dari itu, mereka pun menyuburkan dan membantu sistem pendidikan irja’iy (Murji’ah) yang beraqidah bahwa iman hanyalah di dalam hati, sehingga walaupun seseorang atau suatu rezim telah dengan nyata menyingkirkan hukum-hukum Allah dan menerapkan hukum-hukum thaghut, mereka tetap dianggap beriman dan tidak menjadi kafir selama mereka masih mengaku sebagai kaum muslimin.
Dengan demikian, mereka tetap berada pada posisi yang aman dan tuan-tuan mereka di luar negeri pun merasa tentram bahwa Islam tidak akan pernah bangkit kembali.
Allah menurunkan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah untuk diterapkan secara sempurna atau totalitas, bukan hanya untuk dibaca saja. Kedaulatan (atau kekuasaan mutlak) Allah terhadap hamba-hamba-Nya secara syar’i hanya akan terwujud apabila hukum-hukum-Nya diterapkan di muka bumi.
Sebagai orang-orang yang mengikuti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan manhaj As-Salaf Ash-Shaleh, maka tidak dibenarkan sama sekali bagi kita untuk membenarkan seluruh pandangan dan pendapat Khawarij dalam hal pengkafiran, mengkafirkan kaum muslimin.
Oleh karena itu, apabila ada sebuah negara yang secara menyeluruh menegakkan syari’at Islam, maka penyelewengan secara parsial yang dilakukan oleh pribadi para pelaksana hukumnya adalah termasuk perbuatan kufur ashghar, yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kecuali apabila terbukti bahwa penyelewengan tersebut terjadi karena sang pelaku menganggap bahwa hukum Allah sama atau bahkan kurang baik dibandingkan dengan hukum thaghut, atau sang pelaku tidak merasa wajib untuk melaksanakan hukum Allah, jika demikian halnya, maka dalam hal ini kufurnya adalah kufur akbar, yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kita juga tidak akan pernah membenarkan pandangan dan pendapat extrimis Murji’ah, yang beranggapan bahwa penyingkiran hukum-hukum Allah secara menyeluruh ataupun sebagiannya, dan menggantinya dengan hukum thaghut adalah kufur ashghar. Hal ini adalah keliru, karena ada-nya penyingkiran termasuk kufur akbar, sebagaimana yang dengan gamblang telah dijelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an menyatakan bahwa suatu amal tertentu sebagai perbuatan kufur, maka yang dimaksud adalah arti atau makna asli dari kata-kata kufur tersebut, yaitu kufur akbar, kecuali apabila ada qarinah (dalil lain) yang menunjukkan bahwa amalan tersebut tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
Apabila ada qarinah seperti itu, maka arti kufur akan bergeser dari kufur akbar menjadi kufur ashghar atau kaba’ir (dosa-dosa besar). Dan apabila tidak ada qarinah, maka artinya akan tetap pada arti aslinya, yaitu kufur akbar.
Extrimis Murji’ah sama sekali tidak dapat memberikan sebuah qarinah pun yang dapat mengubah arti kufur akbar bagi “proses” peninggalan atau penyingkiran syari’at Allah menjadi perbuatan yang termasuk kategori kufur ashghar. Ini merupakan gambaran umum tentang penjelasan pembatal keislaman yang ke-4, yaitu berhukum dengan selain hukum Allah.
Sebenarnya, permasalahannya amatlah panjang dan kompleks. Intinya, berhukum dengan selain hukum Allah merupakan satu bentuk pengkhianatan dan pengingkaran terbesar dari kerububiyahan Allah. Yang mana perbuatan tersebut dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Sungguh mengerikan bagi orang yang berakal. Kalau begitu, tugas kita sebagai seorang muslim yang kaafah adalah bukan mencari-cari celah, mencari-cari alasan atau berbagai dalih lainnya untuk menghukumi bahwa pelaku orang yang berhukum dengan selain hukum Allah adalah hanya sekedar dosa besar. Akan tetapi tugas kita yang lebih selamat adalah berdakwah kepada ummat untuk menjelaskan tentang keagungan hukum Allah yang tidak boleh ditinggalkan dan juga menjelaskan kepada mereka yang mengambil hukum dengan selain hukum Allah agar kembali berhukum dengan hukum Allah dan mentahdzir (memperingati) mereka dari bahaya menyelisihinya.
Inilah manhaj yang haq, manhaj yang senantiasa mengajak manusia menuju jalan Allah, bukan manhaj yang membiarkan manusia berada di dalam kesesatannya, bahkan melegalisasi kesesatannya dengan dalih-dalih yang belum pernah didapati di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun ijma’ para Salaful ‘Ummah.
Walhamdu lillah.
Sumber :
Buletin Al Huda edisi ke 10, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar