11 November 2018

Istimbath Aneh Para Ruwaibidhah



oleh: Abu Ukkasyah Wahyu al-Munawy

Imam asy-Syathibi -rahimahullah- pernah berkata, “Tatkala kami mengamati pertumbuhan amalan-amalan bid’ah, kami dapati amalan-amalan itu bertambah kian harinya. Tidaklah datang satu zaman melainkan keanehan demi keanehan dalam beristimbath (pengambilan keputusan hukum) kian marak terjadi. Bila perkaranya sudah seperti itu, sungguh akan terjadi pada zaman setelah kami cara-cara berdalil dengan metode lain yang tidak dikenal. Apalagi ketika merebaknya kebodohan, sedikitnya ilmu dan jauhnya para pengamat dari derajat ijtihad.[1]

Prediksi imam asy-Syathibi –rahimahullah- ini benar terjadi. Kejahilan, kurangnya ilmu, dan tidak memahami diri sebagai orang yang dangkal ilmunya, menjadi pemicu lahir dan menjamurnya ahli fatwa dadakan (baca: ruwaibidhah) yang sering membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Ingar bingar suara tajam melengking *“Kamu sesat dan telah keluar dari Ahlussunnah”* terdengar hingga kepelosok-pelosok kampung, lalu membuat masyarakat heran kebingungan, “Ada apa, apa bedanya?”, tanya mereka.

Di zaman ini, keanehan dalam berdalil, memutuskan hukum dan memvonis sangat marak terjadi. Misalnya, dengan modal foto bersama kaum muslim saja, seseorang bisa dihukumi sebagai ahli bid’ah dan telah keluar dari Ahlussunnah karenanya. Pembahasan para ulama mengenai bid’ah yang dapat mengeluarkan seseorang dari Ahlussunnah, akan jarang ditemukan. Sama halnya mengenai sikap adil dan insaf terhadap orang-orang yang memiliki perbedaan dengan apa yang kita pahami, iapun jarang dibahas. Bahkan, oleh orang-orang yang aneh dalam berdalil dan memutuskan hukum itu, pembahasan seperti itu dianggap sebagai pembahasan yang harus dibasmi, karena membicarakan pemahaman yang menyimpang, kata mereka. Istilahnya, muwazanah.

Hasilnya, mereka selalu melabeli orang lain dengan berbagai gelar buruk untuk merendahkan, mencela dan menyindir mereka; seperti Hizbiyah, Quthbiyah dan lain-lainnya. Parahnya, amalan buruk yang menyimpang dari pedoman al-Qur’an itu mereka bungkus dengan hiasan nama “amalan salafiyah”, hingga banyak orang-orang yang tertipu.

Padahal Allah Azza wajalla berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.[2]

Imam al-Baghawi -rahimahullah- berkata, “Dikatakan bahwa maknanya adalah barangsiapa melakukan perkara-perkara yang telah dilarang berupa merendahkan saudaranya, mencelanya dengan lisan dan anggota tubuhnya yang lain, serta memberi gelar-gelar yang tidak disukai, maka ia adalah seorang yang fasik. Seburuk-buruk nama adalah kefasikan setelah keimanannya. Maka janganlah kalian melakukannya, agar tidak mendapatkan gelar kefasikan”.[3]

Oleh para pelaku keanehan berdalil dan beristimbath itu, manhaj yang selamat lebih identik dengan istilah “Ikut kami selamat, menyelisihi kami berarti menyimpang”. Sehingga, jika engkau menukil perkataan yang benar dari seseorang yang mereka anggap sebagai ahli bid’ah, maka seketika itu juga raut wajah mereka berubah, dada mereka panas, dan kau akan segera dijuluki sebagai pengikutnya.

Engkau tidak akan mendapati kalimat keadilan keluar dari lisannya terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka, layaknya ucapan  ulama zaman dahulu; seperti ucapan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- ini:

“Ini merupakan perkataan beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) -rahimahullah- (maksudnya perkataan beliau: Berikanlah hak pada setiap orang yang memiliki hak). Perkataan ini menunjukkan bahwa beliau adalah sosok ulama yang insaf dan adil, juga menunjukkan bahwa kebenaran wajib diterima walau berasal dari ahli bid’ah. Demikian pula, jika sebagian ahli bid’ah lebih dekat pada sunnah, maka wajib memuji mereka karena kedekatan itu. Adapun menolak seluruh perkataan ahli bid’ah, termasuk perkataan benar yang mereka ucapkan, dengan alasan ia adalah perkataan ahli bid’ah, maka ini salah”.[4]

Demikianlah keadilan para ulama, mereka mampu bersikap insaf terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka. Karenanya, kita tidak akan kesulitan mendapatkan pujian mereka terhadap kebaikan orang-orang yang juga menjadi pelaku bid’ah, atau nukilan perkataan mereka dalam kitabnya. Ibnu Katsir –rahimahullah- menjadi contoh dalam hal ini, hitunglah berapa kali ia menukil perkataan Qatadah bin Diamah as-Sadusi dalam tafsinya? Padahal ia seorang ulama yang menganut paham Qadariyah.

Para ulama hakikatnya telah membuat dhawabith yang menjadi mi’yar (standar) kapan seseorang boleh dikatakan telah keluar dari Ahlussunnah dan menjadi ahli bid’ah, sehingga dengannya ia berhak mendapatkan permusuhan atau tetap mendapat kasih sayang. Artinya, para ulama membedakan tingkatan bid’ah seseorang. Karena itu, tidak semua bid’ah –menurut mereka- dapat mengeluarkan seseorang dari Ahlussunnah.

Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata, “Amalan bid’ah yang menyebabkan seseorang dianggap sebagai pengikut hawa nafsu yang masyhur dikalangan ahli ilmu yang berpegang teguh dengan sunnah adalah bid’ah yang penyelisihannya terhadap al-Qur’an dan sunnah seperti bid’ahnya kaum khawarij, rafidhah, qadariyyah dan murjiah. Sesungguhnya Abdullah Ibnu al-Mubarak dan Yusuf Ibnu Ashbath dan selain mereka berkata, “Ushul dari 72 golongan ada empat yaitu khawarij, rafidhah, qadariyyah dan murjiah”.[5]

Imam asy-Syathibi -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya mereka akan menjadi kelompok yang menyelishi al-Firqatu an-Najiyah (Ahlusunnah) jika penyelisahannya dalam perkara kully (masalah pokok agama-pent) pada kaidah-kaidah syariah, bukan pada perakara juz’iy (sebagian/cabang) dari sebagian masalah agama. Karena perkara juz’iy dan furu’ (cabang agama) tidak menyebabkan perpecahan kelompok. Sesungguhnya yang menyebabkan perpecahan kelompok hanyalah ketika terjadi perselisihan dalam permasalahan kulliyyah/ pokok-pokok agama”.[6]

Ini menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang yang menyelisihi ulama tersebut. Bahkan, pada sebagian kelompok, para ulama tetap menyifati mereka sebagai Ahlussunnah karena kedekatan dan kemiripan mereka, sehingga berhak mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang karenanya.

Adalah imam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, ketika ia menyifati kelompok Asya’irah ia berkata, “Mereka adalah kelompok ahli kalam yang paling dekat terhadap Ahlussunnah waljama’ah dan ahli hadits. Mereka termasuk Ahlussunnah waljama’ah jika dibandingkan dengan mu’tazilah, rafdhah dan selainnya. Bahkan mereka adalah Ahlussunah di negri yang terdapat ahli bid’ah di dalamnya sepeti mu’tazilah, rafidhah dan selainnya”.[7]

Pujian dan sifat rahmat itu tidak berarti menghilangkan sikap kritik dan membantah kekeliruan mereka. Karenanya, kita bisa mendapati banyak bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- terhadap pemahan Asya’irah.

Dari sini, hendaknya kita memperhatikan sikap kita pada orang lain. Karena boleh jadi, sikap itu bisa jadi kata-kata yang dapat membinasakan kita, wallahul musta’an.

[1] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-I’tisham (Cet.I; Riyadh: Dar Ibn Qayyim Li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1436 H), vol. 2, hal. 294.
[2] QS. Al-Hujurat: 11
[3] Abu Muhammad  bin al-Husain bin Mas’du al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi (Cet. IV; t.t.p: Dar att-Thoyyibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1417 H), vol. 7, hal. 344.
[4] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh Muqaddimati at-Tafsir (t. Cet; Unaizah: Madar al-Wathan Li an-Nasyr 1432 H), hal.124
[5] Abul Abbas Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra (Cet.I;  t.t.p: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1408 H), Vol. 4, hal. 194
[6] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-I’tisham (Cet.I; Riyadh: Dar Ibn Qayyim Li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1436 H), vol. 2, hal 197.
[7] Dr. Abdurrahman bin Shalih bin Shalih al-Mahmud, Mauqif Ibni Tamimiyah Min al-Asya’irah (Cet. I;Riyadh: Maktabatu ar-Rusyd li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1415 H.), hal. 703

Tidak ada komentar:

Posting Komentar