09 Mei 2011

Pelaku Maksiat yang Berdalih Dengan Taqdir, Benarkah ?

Kita mengimani qodar (takdir), yang baik maupun buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Alloh untuk seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijaksanaanNya.

Akan tetapi, dengan demikian, kitapun mengimani bahwa Alloh memberikan kepada makhluk kehendak dan kemampuan di dalam perbuatannya.

Adapun dalilnya bahwa perbuatan makhluk dilakukannya berdasarkan kehendak dan kemampuannya sendiri, antara lain:

1. Firman Alloh (artinya):

“… Maka datangilah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana yang kamu kehendaki. …” {Qs. Al Baqarah (2) : 223}.

Lihat Pula Qs. At-Taubah (9) : 46.

Alloh telah menetapkan bahwa apa yang telah diperbuat manusia, seperti mendatangi tempat bercocok tanam dan menyiapkan persiapan, adalah dengan kehendak dan keinginannya.

2. Adanya pengarahan perintah dan larangan kepada manusia. Seandainya mereka tidak diberi kehendak dan kemampuan, tentu pengarahan hal tersebut kepadanya adalah suatu pembebanan diluar kesanggupannya. Dan ini tidak sesuai dengan hikmah kebijaksanaan serta rahmat Alloh dan tidak sesuai dengan kebenaran beritaNya yang tersebut dalam firman-Nya:

Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….” {Qs. Al-Baqarah (2) : 286}.

3. Adanya pujian kepada orang yang berbuat baik dan celaan kepada orang yang berbuat jahat. Sekiranya perbuatan itu terjadi tidak dengan kemauan dan kehendak makhluk, niscaya pujian kepada orang yang berbuat baik adalah tindakan yang sia-sia dan penghukuman kepada orang yang berbuat jahat adalah tindakan yang zhalim. Padahal Alloh tidaklah berbuat sesuatu yang sia-sia dan zhalim.

4. Bahwa Alloh telah mengutus para rosul, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Alloh . Firman-Nya (artinya):

“(Kami telah mengutus mereka) sebagai Rosul-rosul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah (diutusnya) Rosul-rosul itu…”. {Qs. An-Nisa’ (4) : 165}.

Andaikata perbuatan yang dilakukan manusia terjadi tidak dengan kehendak dan kemauannya, maka tidak akan ditolak alasan mereka meski telah diutus para rosul.

5. Setiap pelaku menyadari bahwa dia mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya, tanpa ada perasaan bahwa dia dipaksa.

Seperti ketika berdiri, duduk, masuk, keluar, pergi dan tinggal; adalah semata-mata dengan kemauannya sendiri. Dia tidak merasa bahwa ada orang lain yang memaksanya untuk melakukan hal tersebut. Bahkan dia da-pat membedakan dengan kehendaknya sendiri dan melakukannya karena dipaksa orang lain. Syari’at pun, secara hukum, membedakan antara kedua masalah ini; maka tidak dikenai hukuman seseorang yang melakukan suatu larangan yang berkenaan dengan hak Alloh karena dia dipaksa.

Kita berpandangan bahwa pelaku maksiat tidak boleh berdalih dengan takdir (qodar) atas maksiat yang dilakukannya. Karena dia berbuat maksiat dengan kemauannya sendiri tanpa dia mengetahui bahwa Alloh telah menakdirkan perbuatan maksiat itu terhadap dirinya. Soalnya, tiada seorang pun mengetahui takdir Alloh kecuali setelah terjadi apa yang ditakdirkanNya itu. Firman Alloh (artinya):

“…dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok….” {Qs. Luqman (31) : 34}.

Kalau demikian, bagaimana bisa dibenarkan seorang pelaku maksiat berdalih dengan takdir Alloh , padahal dia sendiri tidak mengetahui takdir tersebut pada saat dia melakukan perbuatan maksiat. Dalil yang demikian ini telah ditolak oleh Alloh dengan firmanNya (artinya):

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Alloh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rosul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” {Qs. Al-An’am (6) : 148}.

Kita dapat pula mengatakan kepada pelaku maksiat yang berdalih dengan taqdir: “Mengapa anda tidak melakukan perbuatan ketaatan dengan memperkirakannya sebagai sesuatu yang ditakdirkan? Karena, tidak ada bedanya antara perbuatan ketaatan dan perbuatan maksiat; sama-sama Anda tidak mengetahui mana yang ditakdirkan Alloh sebelum anda sendiri melakukan perbuatan tersebut.”

Oleh karena itu, tatkala nabi memberitahu para sahabat bahwa setiap orang telah ditentukan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka, lalu mereka bertanya: “Kalau demikian, tidaklah kita pasrah saja dan tidak perlu berusaha?” beliaupun menjawab: “Tidak. Berusahalah, karena masing-masing akan dimudahkan menurut apa yang telah ditakdirkan baginya. (HR Bukhori, kitab at-Tauhid, bab 54; Muslim, kitab al-Qadar, bab 1, Shohih).

Dapat kita katakan juga kepada pelaku maksiat yang berdalih dengan takdir: “Kalau anda hendak bepergian ke Makkah, padahal untuk menuju kesana ada dua jalan; anda telah diberitahu oleh orang yang dapat dipercaya salah satu dari kedua jalan tersebut sulit dan mengerikan, sedang jalan kedua mudah dan aman; tentu Anda akan memilih untuk melewati jalan yang kedua. Tidak mungkin anda akan memilih jalan yang pertama de-ngan mengatakan hal tersebut telah ditakdirkan kepadaku. Kalaupun Anda berbuat demikian maka orang-orang akan menganggap anda orang yang tidak waras.”

Kita dapat pula mengatakan kepadanya: jika ditawarkan kepada Anda dua jabatan, salah satunya memberi gaji yang lebih tinggi dari pada yang lain, niscaya anda akan memilih untuk bekerja pada jabatan yang memberikan gaji lebih tinggi tersebut. Anda tidak akan memilih untuk bekerja pada jabatan yang gajinya lebih rendah. Maka bagaimana anda memilih untuk diri anda sendiri dalam masalah amalan-amalan akhirat apa yang terendah lalu anda berdalih dengan takdir (qodar)?”

Serta kita dapat mengatakan kepadanya: “Apabila Anda menderita suatu penyakit pisik, anda berusaha untuk berobat dengan pergi ke dokter. Andapun mau untuk menelan obat pahit. Bahkan jika harus dilakukan operasi pada diri Anda, anda akan tabah menahan rasa sakitnya.

Akan tetapi, mengapa anda tidak berbuat seperti itu terhadap penyakit hati Anda yang berkenaan dengan perbuatan maksiat?”

Dan kita mengimani bahwa keburukan tidak dapat dinisbatkan kepada Alloh , karena Alloh Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana, sebagaimana sabda Nabi :

“Dan hanya kebaikan seluruhnya yang ada pada kedua Tangan-Mu, sedang keburukan itu tidaklah dinisbatkan kepadaMu…” (HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashriha, bab 26, hadits ke 21).

Dengan demikian, ketetapan Alloh itu sendiri sama sekali tidaklah suatu keburukan, karena ketetapanNya itu timbul dari sifat kasih sayang dan hikmah kebijaksanaanNya. Akan tetapi keburukan itu terdapat dalam hal-hal yang telah ditetapkannya, sebagaimana sabda nabi dalam do’a qunut yang beliau ajarkan kepada cucu nabi , al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib:

“…Dan lindungilah diriku dari keburukan sesuatu yang telah Engkau tetapkan…” (HR. at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih, kitab al-Witr, bab 10, Imam Ahmad, Musnad, jilid 1 hal. 199, 200; Abu Dawud, Sunan, Kitab al-Witr, bab 5).

Di sini, beliau menisbatkan keburukan itu kepada sesuatu yang telah ditetapkan oleh Alloh. Namun demikian, keburukan yang terdapat dalam hal-hal yang telah ditetapkan Alloh sebenarnya bukanlah suatu keburukan murni dan mutlak sifatnya; tetapi hal tersebut adalah suatu keburukan yang terdapat pada tempatnya, dari satu sisi; sedang dari sisi lain adalah suatu kebaikan; atau hal tersebut adalah suatu keburukan pada tempatnya, sedang pada tempat lain merupakan suatu kebaikan.

Seperti: kekeringan, wabah, kemiskinan dan perasaan takut yang termasuk jenis fasad (kerusakan) yang terjadi di muka bumi adalah suatu keburukan. Akan tetapi hal tersebut pada tempat lain merupakan suatu kebaikan. Firman Alloh (artinya):

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Alloh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka itu, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). {Qs. Ar-Rum (30) : 41}.

Begitu pula, hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum rajam bagi pezina (bagi yang sudah pernah menikah), atau hukum dera (cambuk) 100 kali bagi pezina yang belum menikah. Mungkin itu adalah sesuatu yang buruk bagi pencuri karena dia harus dipotong tangannya dan bagi pezina karena dia harus di dera atau dirajam. Akan tetapi, dari sisi lain, adalah sesuatu yang baik bagi mereka karena hukuman yang diterapkan kepada mereka ini merupakan kaffarah (penghapus dosa) untuk mereka berdua. Karena, apabila mereka dikenai hukuman dunia, maka tidak akan dikenai lagi hukuman di akhirat. Di samping itu, hal tersebut pada tempat lain merupakan suatu kebaikan karena untuk melindungi harta-benda, kehormatan dan keturunan.

Hasil dan Manfaat dari beriman kepada Qodar antara lain:

  1. Bertawakkal kepada Alloh setiap melakukan suatu usaha, karena usaha yang dilakukannya dan hasil yang diharapkan akan diperoleh, semuanya itu terjadi dengan qodho dan qodar Alloh swt.
  2. Memperoleh ketenangan jiwa dan kedamaian hati. Karena bilamana dia mengetahui bahwa semua terjadi dengan qodho’ (ketentuan) Alloh dan apa yang ditakdirkan mesti akan terjadi walaupun tidak diinginkannya, maka tenanglah jiwa dan damailah hati serta ridho dengan qodho’ Robbnya. Maka, tiada seorangpun yang lebih bahagia hidupnya, lebih tenang jiwa dan batinnya daripada orang yang benar-benar iman kepada qodar.
  3. Tidak bersikap sombong dan membanggakan diri ketika memperoleh apa yang diiginkannya. Karena apa yang diperolehnya itu adalah karunia yang diberikan Alloh melalui sebab-sebab kebaikan dan kesuksesan yang telah ditakdirkan bagi dirinya. Dengan demikian dia senantiasa akan bersyukur kepada Alloh atas karuniaNya tersebut dan tidak membanggakan diri.
  4. Tidak merasa sedih dan kesal hati di saat apa yang diinginkan tidak tercapai atau apa yang tidak disenangi menimpa dirinya. Karena hal itu terjadi dengan qodho’ Alloh Yang hanya milikNya kekuasaan langit dan bumi, dan qodho’ Alloh itu pasti terjadi. Untuk itu, dia senantiasa akan bersabar dalam menghadapinya dan mengharapkan pahalanya di sisi Alloh. Lihat Qs. Al-Hadid (57) : 22-23

Referensi :
  1. Aqidah ahlussunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
  2. Fathul Majid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar