08 Mei 2011

Beriman Kepada Qodarulloh (bagian 2)

Apa yang harus dilakukan oleh seseorang dengan adanya ketetapan taqdir akan selamat atau akan celaka?


Jawab: manusia berjalan dan memiliki ikhtiyar (pilihan untuk melakukan usaha atau perbuatan yang terbaik). Manusia mempunyai kehendak sendiri dan dengan kehendak tersebut mereka beramal. Tetapi kehendak manusia adalah ciptaan Alloh dan tercipta menurut kehendakNya. Jadi ahlussunnah tidak menafikan takdir dan tidak pula menafikan ikhtiyar tetapi menetapkan keduanya.

Seluruh kitab-kitab samawiyah dan sunnah nabawiyah bersepakat bahwa ketetapan taqdir tidak boleh menghalangi seseorang untuk beramal ataupun hanya berpasrah diri saja. Bahkan dia harus tetap terus bersungguh-sungguh untuk mengerjakan amal shaleh.

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥)وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦)فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧)وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨)وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (٩)فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (١٠)

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Alloh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” {Qs. Al-Lail (92): 5-10}.

Dalam riwayat Muslim dijelaskan, bahwa ketika Suroqoh bin Ja’syam berkata: “Wahai Rosululloh, jelaskanlah kepada kami tentang perkara agama kami. Apakah amal perbuatan kita diciptakan hari ini sehingga tulisan tinta qalam (pena) telah mengering, ataukah takdir mengenai apa yang akan kita hadapi masih akan ditentukan?” Rosululloh bersabda: “Tidak, yang benar adalah tinta qalam telah mengering ketika taqdir tengah terjadi.” Suroqoh berkata: Lantas bagaimana kita bisa menentukan amal kita?” Rosululloh bersabda: “Beramallah kalian, karena setiap amal akan dimudahkan.”

Alloh telah menentukan beberapa takdir dan juga telah menentukan sebab-sebab terjadinya taqdir tersebut. Dia-lah Dzat Yang Maha Bijaksana untuk menentukan sebab terjadinya takdir yang ada di alam dunia maupun akhirat. Alloh akan mempermudah segala sesuatu yang akan dikerjakan hamba-Nya. Jadi jika seorang hamba mengetahui bahwa kemaslahatan akhiratnya sangat tergantung pada beberapa sebab tertentu yang harus ditempuh, maka hendaklah dia bersemangat untuk mengerjakan sebab tersebut. Begitu juga dengan sebab-sebab dan kemaslahatan untuk kehidupan dunia-nya. Hal ini sudah mampu difahami dengan sangat baik oleh para sahabat ketika mendengar beberapa hadits tentang takdir. Rosululloh bersabda:

“Berantusiaslah kamu (untuk mengerjakan) sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Alloh dan jangan pernah lemah.”

Rosululloh pernah ditanya: “Menurut engkau, apa obat yang bisa kami pergunakan dan doa yang bisa kami bacakan? Apakah hal itu bisa dipergunakan untuk menolak taqdir Alloh?” maka Rosululloh menjawab: “Itu termasuk juga taqdir Alloh.” Maksudnya Alloh telah menakdirkan baik dan buruk dengan diawali dengan sebab-sebab yang menyebabkannya bisa terwujud.

Manusia diberikan kehendak, dengan kehendak itulah mereka beramal. Tetapi kehendak manusia adalah ciptaan Alloh dan tercipta menurut kehendakNya. Amal manusia yang dikerjakan dengan kehendaknya sendiri dan hasil dari amal itu pun adalah ciptaan Alloh dan menurut kehendakNya.

Alloh berfirman (artinya) :

“Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya ia akan mengambil jalan Robb-nya (petunjukNya). {Qs. Al-Insan (76) : 29}.

{Lihat pula Qs. 78: 39 ; Qs.18: 29}.

Kehendak manusia yang sama dengan kehendak Alloh akan terlaksana, sedangkan yang berbeda tidak akan terlaksana.

“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Alloh hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. {Qs. Hud (11) : 34}.

Alloh-lah yang memberi petunjuk dan Alloh pula yang menyesatkan. Tidak ada yang bisa menyesatkan seseorang yang Alloh berikan petunjuk kepadanya dan tidak ada yang bisa memberi petunjuk bagi orang yang Alloh sesatkan.

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” {Qs. Ibrahim (14) : 4}.

{lihat pula Qs.16: 93 ; Qs. 18: 17}.

Alloh tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu. Manusiapun merasa dengan pasti bahwa dia mengerjakan sesuatu dengan kehendaknya sendiri, tanpa paksaan. Tetapi Alloh-lah yang menjadikan manusia berkehendak, Alloh-lah yang mengizinkan atau tidak mengizinkan suatu amal perbuatan terwujud, Alloh pula-lah yang memberi petunjuk dan Alloh pula-lah yang menyesatkan.

Semua itu harus kita imani, karena semuanya ada dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kita harus beriman hanya berdasarkan sebatas wahyu dan kabar ghaib, hanya sebagian saja yang dikhabarkan kepada kita. Sedangkan sebagian lainnya tetap merupakan “sirrulloh” (rahasia Alloh). Rahasia yang hanya Alloh-lah yang mengetahui (dan tidak bisa kita ketahui). Kita dilarang Alloh untuk mempertanyakan hal-hal ghaib yang tidak Alloh khabarkan {Qs. Hud (11) : 46}. dan kita harus beriman pula bahwa Alloh tidaklah zhalim. Semua itu terjadi dengan hikmah yang tinggi dan mulia sekali.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan amal buruk (perbuatan jahat), Maka itupun (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. {Qs. Fushshilat (41) : 46}.

{lihat Qs. 8: 51 ; Qs. 22: 10 ; Qs. 50: 29 ; Qs. 4: 40 ; Qs. 18: 49}

Setelah penjelasan tersebut diatas, jelaslah bagi kita bahwa kita harus beriman sebatas kabar-kabar wahyu dan tidak mencari kabar-kabar ghaib dari selain wahyu Ilahi, seperti misalnya melalui analisa-analisa akal pikiran. Kewajiban kita adalah harus mempercayai dan menerimanya.

Sudah banyak orang yang tersesatkan karena mereka tidak mengikuti manhaj Ahlussunnah dalam qodar. Banyak diantara mereka yang sampai pada pendustaan terhadap al-Qodar (Naudzu billah), maka keluarlah mereka dari Islam dan masuklah mereka ke lorong-lorong gelap yang tiada berujung. Semua itu karena mereka tidak puas dengan dalil yang ada, mereka tidak puas dengan manhaj yang haq ini dan mencoba memecahkan “sirrulloh” tersebut.

Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak mengetahui sesuatu sebelum hal tersebut terjadi dan hal-hal di masa depan pun belum ditentukan. Dengan aqidah seperti ini, Tuhan mereka bukanlah Alloh yang kita ibadati. Tuhan mereka adalah tuhan lain yang jahil (bodoh), yang sering terkaget-kaget oleh ulah makhluknya. Kalau tuhan mereka tidak mengetahui se-suatu kecuali setelah terjadi, dengan sendirinya yang menciptakan hal itu bukanlah dia. Mereka akan berkata: Ya! Si Pelaku-lah yang meng-“ada”kan hal tersebut, baik si pelaku itu manusia atau lainnya. Jadi di sini kita dapati adanya banyak pencipta. Syirik!! Tak ada nama lain untuk aqidah seperti ini!

Perlu diketahui bahwa Alloh mempunyai dua hukum:

1. Hukum qadari (kauniy): hukum ini pasti terlaksana dan terwujud atas makhluk-makhlukNya. Kita tidak mengetahui tentang hukum ini, kecuali setelah terlaksana. Kewajiban kita terhadap hukum ini adalah beriman kepadanya dan menerimanya. Kita tidak boleh berdalih dengan hukum ini sebelum hukum ini terjadi, karena sebelumnya kita tidak mengetahui.

Apabila yang terjadi adalah kebaikan, maka kita mensyukurinya. Apabila yang datang adalah keburukan, maka kita terima dan kita sabari serta tidak menyalahkan Sang Pencipta. Semuanya berasal dari Alloh swt. Hukum ini adalah kehendak Alloh atas kita. Kita tidak dituntut untuk memikirkan dan melaksanakan kehendak ini. Kita hanya harus pasrah ketika hal itu telah terjadi.

2. Hukum Syari’ah: yaitu hukum-hukum din (agama) yang harus kita laksanakan. Hukum ini adalah kehendak (tuntutan) Alloh kepada kita.

Kewajiban kita terhadap hukum ini adalah mengimani dan melaksanakannya dengan semaksimal mungkin, tanpa berdalih dengan qodar untuk meninggalkannya.

Iman terhadap qodar termasuk dalam kesatuan sistem tauhid. Hal ini sebagaimana iman kepada sebab-sebab yang bisa menyebabkan terjadinya takdir baik dan takdir jelek. Unsur-unsur agama tidak akan tersusun dengan baik kecuali hanya pada diri orang yang beriman kepada takdir.

Jadi barangsiapa menafikan (menolak/ meniadakan) qodar, berarti dia telah menafikan kekuasaan Alloh . Dengan kata lain dia telah menganggap seorang hamba bisa menciptakan perbuatannya sendiri, tanpa kehendak dari Alloh . Berarti dia juga mengganggap bahwa semua makhluk bisa menciptakan perbuatannya sendiri disamping juga Alloh yang menciptakannya.

Yang pada akhirnya ia berpahaman bahwa semua makhluk adalah tuhan, ia menganggap bahwa tuhan ada di mana-mana; ia menganggap bahwa batu itu tuhan, pohon itu tuhan, atau mengklaim bahwa dirinya itu tuhan (Naudzu billah…)

Barangsiapa meyakini hal ini atau mengira bahwa Alloh telah membebankan sesuatu yang tidak mampu dilakukan hambaNya, maka Alloh telah memberikan gelar zhalim kepadanya. Hal ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Alloh (artinya):

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (١٦)

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,” {Qs. Al-’Araaf (7) : 16}.

Dalam hal ini Alloh memiliki hikmah yang sangat mendalam. Sebab pahala dan siksa semuanya akan ditetapkan berdasarkan aturan syariat, bukan berdasarkan pada taqdir. Jadi kalau seseorang menunaikan kewajiban syari’at maka dia akan mendapatkan pahala. Sedangkan kalau dia meninggalkan kewajiban tersebut maka dia akan mendapatkan siksa. Apabila orang-orang mu’min melakukan kebaikan maka mereka akan berkata:

“Segala puji bagi Alloh yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Alloh tidak memberi kami petunjuk.” {Qs. Al-A’raaf (7) : 43}.

berbeda dengan yang dikatakan oleh orang yang durhaka:

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” {Qs. Al-Qashash (28) : 78}

Apabila orang-orang mu’min terjerumus dalam berbuat salah, maka mereka akan berkata sebagaimana yang pernah dikatakan oleh nenek moyangnya Nabi Adam dan Ibu Hawa:

“Keduanya berkata: “Ya Robb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” {Qs. Al-A’raaf (7) :23}.

Mereka tidak berkata seperti apa yang dikatakan setan:

“Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat.” {Qs. Al-Hijr (15) : 39}.


Referensi:
  1. Dinul Islam, Silsilah Tarbiyyah Sunniyyah, dengan berbagai sumber.
  2. 222 kunci Aqidah yang Lurus, Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakami, Mustaqiim.
  3. Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Pustaka Azzam.
  4. Keutamaan Tauhid, dan peringatan dari hal-hal yang membatalkannya, Darul Qosim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar