“Sholatlah
sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR. al-Bukhori)
Pertama
kali yang harus dilakukan sebelum sholat yaitu bersuci. Sholat dilakukan harus
dalam keadaan suci. Menyempurnakan wudhu, yakni berwudhu seperti yang
diperintahkan Alloh swt
“ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, …” (QS. Al-Maidah: 6)
Rosululloh saw
bersabda:
“Sholat
tidak diterima (tidak sah) bila tanpa bersuci.”
MENGHADAP KA’BAH [KIBLAT]
Menghadap
ke kiblat (Ka’bah) dimanapun berada, dengan seluruh badan, dengan niat dalam
hati melakukan sholat yang hendak dikerjakan , baik sholat fardhu maupun sholat
sunnat.
Niat tidak diucapkan karena hal itu tidak dianjurkan dan
tidak pernah dicontohkan Nabi saw, dan para sahabat ra pun tidak pernah
melisankan niat.
Nabi saw mensunnat kan agar ketika hendak sholat kita
membuat sutrah (batasan) sebagai tempat sholat, baik tatkala ia sebagai imam
maupun sholat sendiri (munfarid). (adapun ma’mum, sutroh imam merupakan menjadi
sutroh ma’mum-red)
Apabila Anda - wahai Muslim - ingin menunaikan
shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun Anda berada, baik shalat
fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat,
dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.
“Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu,
kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah” (HR. Bukhori, Muslim dan Siraj)
·
Ketentuan menghadap
qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ’seorang yang sedang berperang’
pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
“Apabila perang telah berkecamuk, cukuplah kalian mengucapkan
takbir dan berisyarat (dengan menundukkan) kepala.” (HR. Baihaqi dengan sanad Bukhori dan Muslim)
Untuk sholat Khauf,
beliau memberi contoh kepada umatnya supaya melakukan sholat dengan berjalan
kaki atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau tanpa menghadap kiblat
·
Dan tidak menjadi
keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau
orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya
waktu.
·
Juga tidak menjadi
keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi
hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini
memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian
setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.
“Ketika Rosululloh saw berpergian, beliau biasa melakukan sholat
sunnah di atas hewan tunggangannya. Beliau juga melakukan witir di atas
kendaraannya dan menghadap kearah hewan tersebut menghadap” (HR. Bukhori, Muslim dan Siraj)
“Rosululloh saw terkadang melakukan sholat sunnah di atas hewan
tunggangannya dengan menghadapkannya lebih dahulu kea rah kiblat, lalu beliau
bertakbir, kemudian sholat dengan menghadap ke arah hewan tunggangannya
menghadap” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Adh-Dhiya’)
“Beliau biasa ruku’ dan sujud di atas hewan tunggangannya dengan
berisyarat (dengan menundukkan kepala) dan ketika sujud lebih menunduk daripada
ketika ruku’.” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)
“dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 115)
Disitulah
wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana
saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan
dengan Allah.
Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap
langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah
Ka’bah.
Hukum Shalat Tanpa Menghadap Ka'bah karena Keliru
Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada
penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan
tidak perlu diulangi.
“Kami pernah bersama Rosululloh saw dalam suatu perjalanan atau
dalam suatu pasukan tempur dan kami diliputi awan gelap. Kami masing-masing
memilih arah kiblat, sehingga arah kiblat kami berbeda. Seseorang di antara
kami membuat garis di depannya supaya tahu ke mana arah kami ketika sholat.
Ketika tiba waktu pagi kami melihat garis yang dibuat semalam. Ternyata kami
sholat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada Nabi saw,
[tetapi ternyata beliau tidak menyuruh kami mengulangi sholat], bahkan
sabdanya: (‘Sholat kamu sekalian sudah benar’)” (HR. Daraquthni, Hakim, dan Baihaqi)
Nabi saw pernah sholat menghadap Baitul Maqdis,
[sedangkan arah ka’bah ada di depan beliau]. Hal ini terjadi sebelum turunnya
firman Alloh:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi
dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqoroh: 144)
Maksudnya
ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu
turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
Baitul Maqdis merupakan
kiblat pertama umat islam, kemudian setelah ayat ini turun (yaitu QS.
Al-Baqoroh: 144), beliau sholat menghadap ke Ka’bah. Pada waktu sholat shubuh
kaum muslim yang tinggal di Quba kedatangan seorang utusan Rosululloh untuk
menyampaikan berita ini, ujarnya:
“Sesungguhnya semalam Rosululloh saw telah mendapat wahyu. Beliau
disuruh menghadap Ka’bah. Oleh karena itu, [hendaklah] kalian menghadap
kesana.” Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam
(Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar [imam mereka memutar haluan sehingga ia
mengimami mereka dengan menghadap kiblat]. (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Siraj,
Thobaroni dan Ibnu Sa’ad)
Begitu pula, Apabila
datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu
memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap
ke arah yang ditunjukkan, tanpa memutus sholatnya dan shalatnya tetap sah.
Sumber:
- Praktek sholat Nabi saw, Oleh: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
- Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penerjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri.
- Sifat sholat Nabi saw, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Media Hidayah dan Gema Risalah Press – Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar