27 September 2013

Persiapan Dalam Sholat ( Menghadap ke Ka’bah dalam sholat)


“Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR. al-Bukhori)

Pertama kali yang harus dilakukan sebelum sholat yaitu bersuci. Sholat dilakukan harus dalam keadaan suci. Menyempurnakan wudhu, yakni berwudhu seperti yang diperintahkan Alloh swt

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, …” (QS. Al-Maidah: 6)

Rosululloh saw bersabda:
“Sholat tidak diterima (tidak sah) bila tanpa bersuci.”


MENGHADAP KA’BAH [KIBLAT]
Menghadap ke kiblat (Ka’bah) dimanapun berada, dengan seluruh badan, dengan niat dalam hati melakukan sholat yang hendak dikerjakan , baik sholat fardhu maupun sholat sunnat.

Niat tidak diucapkan karena hal itu tidak dianjurkan dan tidak pernah dicontohkan Nabi saw, dan para sahabat ra pun tidak pernah melisankan niat.

Nabi saw mensunnat kan agar ketika hendak sholat kita membuat sutrah (batasan) sebagai tempat sholat, baik tatkala ia sebagai imam maupun sholat sendiri (munfarid). (adapun ma’mum, sutroh imam merupakan menjadi sutroh ma’mum-red)

Apabila Anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun Anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

“Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah” (HR. Bukhori, Muslim dan Siraj)

·         Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ’seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
“Apabila perang telah berkecamuk, cukuplah kalian mengucapkan takbir dan berisyarat (dengan menundukkan) kepala.” (HR. Baihaqi dengan sanad Bukhori dan Muslim)

Untuk sholat Khauf, beliau memberi contoh kepada umatnya supaya melakukan sholat dengan berjalan kaki atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau tanpa menghadap kiblat
·         Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.
·         Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.

“Ketika Rosululloh saw berpergian, beliau biasa melakukan sholat sunnah di atas hewan tunggangannya. Beliau juga melakukan witir di atas kendaraannya dan menghadap kearah hewan tersebut menghadap” (HR. Bukhori, Muslim dan Siraj)

“Rosululloh saw terkadang melakukan sholat sunnah di atas hewan tunggangannya dengan menghadapkannya lebih dahulu kea rah kiblat, lalu beliau bertakbir, kemudian sholat dengan menghadap ke arah hewan tunggangannya menghadap” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Adh-Dhiya’)

“Beliau biasa ruku’ dan sujud di atas hewan tunggangannya dengan berisyarat (dengan menundukkan kepala) dan ketika sujud lebih menunduk daripada ketika ruku’.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

“dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 115)

Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.

Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka’bah.


Hukum Shalat Tanpa Menghadap Ka'bah karena Keliru

Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.

“Kami pernah bersama Rosululloh saw dalam suatu perjalanan atau dalam suatu pasukan tempur dan kami diliputi awan gelap. Kami masing-masing memilih arah kiblat, sehingga arah kiblat kami berbeda. Seseorang di antara kami membuat garis di depannya supaya tahu ke mana arah kami ketika sholat. Ketika tiba waktu pagi kami melihat garis yang dibuat semalam. Ternyata kami sholat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada Nabi saw, [tetapi ternyata beliau tidak menyuruh kami mengulangi sholat], bahkan sabdanya: (‘Sholat kamu sekalian sudah benar’)” (HR. Daraquthni, Hakim, dan Baihaqi)

Nabi saw pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, [sedangkan arah ka’bah ada di depan beliau]. Hal ini terjadi sebelum turunnya firman Alloh:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqoroh: 144)

Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.

Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama umat islam, kemudian setelah ayat ini turun (yaitu QS. Al-Baqoroh: 144), beliau sholat menghadap ke Ka’bah. Pada waktu sholat shubuh kaum muslim yang tinggal di Quba kedatangan seorang utusan Rosululloh untuk menyampaikan berita ini, ujarnya:

“Sesungguhnya semalam Rosululloh saw telah mendapat wahyu. Beliau disuruh menghadap Ka’bah. Oleh karena itu, [hendaklah] kalian menghadap kesana.” Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar [imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka dengan menghadap kiblat]. (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Siraj, Thobaroni dan Ibnu Sa’ad)

Begitu pula, Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, tanpa memutus sholatnya dan shalatnya tetap sah.

Sumber:

  1. Praktek sholat Nabi saw, Oleh: Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
  2. Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penerjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri.
  3. Sifat sholat Nabi saw, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Media Hidayah dan Gema Risalah Press – Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar