Tak ada seorang pun yang meragukan urgensitas pendidikan,
pengaruhnya bagi pola pikir seseorang dan pembentukan kepribadiannya, serta
bagi kemajuan masyarakat dan kelanjutan pendidikan generasinya. Efektivitas dan
urgensitas pendidikan terlihat nyata setidaknya dari dua hal berikut, yaitu (1)
pendidikan dianggap sebagai upaya pembudayaan nalar dan pengentasan manusia
dari kebodohan dan keterbelakangan; dan (2) pendidikan, dengan rentang waktunya
yang cukup lama, dari 3-4 tahun di setiap jenjangnya atau bahkan lebih,
merupakan sarana paling tepat untuk melakukan indoktrinasi, kaderisasi dan
pembentukan keyakinan.
Dalam sebuah institusi pendidikan, “segala sesuatu”
dengan bebas dan terformat dapat disetting, dikatakan dan juga bisa
didiktekan dalam lingkungan sekolah atau universitas (atau istilah lainnya)
melalui berbagai program dan kegiatan pendidikan yang sistematis dan terencana
baik, hingga bisa mencapai hasil yang diharapkan. Kesimpulannya, dalam tataran
idealitas nilai dapat dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses optimal
general yang kompleks, sistematis dan multi dimensi.
Kesadaran
Musuh Islam
Efektifitas dan urgensitas pendidikan seperti tersebut di
atas, ternyata sangat diketahui dan disadari betul oleh musuh-musuh Islam,
terutama Yahudi dan Nasrani, yaitu melalui masifnya invasi pemikiran (ghazw
fikrī) terhadap dunia pendidikan Islam, bahkan seringkali menjadi fokus
utamanya; karena krisis pendidikan Islam, spesifiknya melalui
sarana-prasarananya yang dihegemoni oleh cengkeraman ghazw fikrīmampu
mewariskan krisis atau kekalahan psikologis (hazīmah nafsiyyah)
yangberkepanjangan dan menggerogoti berbagai aspek kependidikan lainnya.
Akibatnya bisa sangat parah; krisis internal pendidikan
Islam yang dinyatakan sebagai penyebab utama kemunduran umat Islam dan
berpangkal pada lemahnya sistem pendidikan yang berlangsung selama ini, menjadi
semakin parah dan bertambah kronis. Padahal disintesakan bahwa terjadinya
kemajuan atau kemunduran suatu umat bermula dari persoalan psikologis (nafsiyyah)
dan intelektualitas (fikriyyah). Juga disimpulkan bahwa salah satu norma
baku (qanun) sejarah menyatakan bahwa “sehat dan sakit masyarakat” (shihhahwa
maradh al-mujtama’at) – termasuk pendidikannya – adalah tergantung kepada
“sehat dan sakit” pemikiran (fikr) masyarakat tersebut.
Karena terbentuknya suatu masyarakat tersusun oleh tiga
pilar utamanya, yaitu konsepsi nalar atau pemikiran (afkar), individu
atau sumber daya manusia (asykhāsh) dan material atau sumber daya alam (asyya’)
yang ada di sekelilingnya. Dari pola hubungan di antara ketiga unsur tersebut
kemudian terbentuk jaringan interaksi sosial (syabakah al-’alaqat
al-ijtima’iyyah) antara individu dengan ke-lompok masyarakat, lalu
terbentuk pula titik pu-sat loyalitas masyarakat, pola pemahaman dan pola pikir
yang berkembang di dalam masyarakat tersebut, hingga tersusun hirarki nilai
yang mengarahkan corak perilakunya, termasuk dalam pe-rilaku pendidikan.
Howard Blais, orientalis misionaris, mantan rektor American
University di Beirut dengan gamblang memaparkan rahasia para aktivis
kristenisasi yang sangat memperhatikan sektor pendidikan. Menurutnya, manfaat
utama yang dapat diambil oleh misionaris dalam kegiatan kuliah adalah, di dalam
universitas terdapat individu-individu muda pilihan yang kelak akan menjadi
pengarah opini atau bahkan pemimpin negaranya di masa depan, dimana mereka
cenderung menerima pemikiran baru tentang etika, agama dan idola yang
dijejalkan dalam pendidikan.
Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang gencar
mengkritik syariat Islam, ia sangat mendorong dibukanya sekolah-sekolah misionaris,
dengan harapan para pengikut ajaran Muhammad akan beralih menjadi pengikut
Kristus. Karena di sana ada ribuan orang yang sangat menginginkan pendidikan.
Sedangkan model sekolah-sekolah misionaris yang disokong Eropa, dalam pandangan
Snouck, adalah satu-satunya media yang dapat mewujudkan keinginan tersebut.
Institusi
(Perusak) Pendidikan Islam
Institusi pendidikan yang dimobilisasi musuh-musuh Islam
untuk merusak kaum Muslimin melalui pendidikan sebagian besarnya adalah berupa
sekolah dan perguruan tinggi asing (madaris wa jami’at ajnabiyyah) yang
membawa label pendidikan umum ataupun pendidikan Islam – termasuk institusi
pendidikan khusus bagi kaum Muslimat – yang didirikan di jantung negara-negara
kaum Muslimin sendiri, semisal Turki, India, Mesir, Lebanon, Suria dan negara
lainnya, khususnya di negara-negara Afrika. Tentunya dengan tidak melupakan
institusi pendidikan yang memang didirikan di negara-negara musuh tersebut,
seperti di Eropa dan Amerika yang mem-buka kajian Islam (dirasah Islamiyyah),
seperti Mc. Gill, Sorbone, Cambridge, Chicago, Harvard, Leiden dan lainnya.
Padahal seperti yang pernah disinyalir oleh Prof. Dr.
Isma’il Rajhi al-Faruqi, bahwa studi Is-lam di Barat, khususnya di Amerika
Serikat, tidak pernah luput dari misi Zionisme dan Salibisme; karena para
orientalis yang mengajar di studi Islam tersebut sebagian besar adalah orang
Yahudi dan Kristen fanatis. Kalaupun ada pengajar yang Muslim, biasanya
orang-orang yang tidak “laku” di negaranya karena memiliki pemikiran dan pemahaman
Islam “yang aneh-aneh” bahkan banyak yang telah divonis murtad dan sesat oleh
ulama negaranya, seperti Khalid Abou el-Fadhl, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu
Zaid dan lainnya.
Dari institusi perusak pendidikan inilah lahirtokoh-tokoh
berbahaya bagi Islam dan sangat merugikan kaum Muslimin, seperti Mushthafa
Kemal sang manusia berhala penghancur Khilafah Islamiyah (‘Utsmaniyah), Sayyid
Ahmad Khan yang mewarnai Muslimin India dengan ajaran Modernismenya dan Syah
Iran yang berhasil me-misahkan Iran dengan identitas Islaminya.
Gejala
Kronis di Indonesia
Indonesia, sama seperti negara kaum Muslimin lainnya, pun
tidak luput dari perusakan institusi pendidikan Islamnya. Ambil contoh, kasus
di berbagai Perguruan Tinggi Islam (IAIN, STAIN atau UIN untuk yang negeri dan
PTAIS atau STAIS untuk yang swasta), di institusi pendidikan milik umat ini
sudah banyak yang mendeteksinya sebagai intitusi yang dikuasai orang-orang
“nyleneh” yang bahkan sangat kentara anti Islam karena pengaruh sistem,
kurikulum, kucuran dana dan dosen-dosennya yang alumnus Institusi Perusak
Pendidikan Islam tersebut di atas. Itupun masih ditambah makar sistematik
terselubung untuk mengucilkan dan meminggirkan dosen-dosen yang memiliki manhaj
Islam yang masih lurus atau istiqamah.
Kini, perguruan tinggi Islam milik kaum Muslimin tersebut
juga “mesra” bekerjasama dengan Institusi Perusak Pendidikan Islam milik
orang-orang kafir dengan mendirikan “cafe atau warung pojok penyesatan”
berlabel kajian Islam ilmiah, seperti pendirian American corner,
Canadian corner, Australian corner dan lainnya. Termasuk
pendirian Iranian corner yang mengusung kebudayaan Persia Majusi dan
penyebaran masif sekte sesat Syi’ah Rafidhah, antara lain terdapat di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Akhirnya, pendidikan Islam justru diselewengkan, hingga
memuluskan pemurtadan – meminjam istilah Hartono Ahmad Jaiz –, bukan hanya
kemunafikan, ditandai dengan marak dan masifnya gerakan SEPILIS (SEkularisme,
PluralIsme dan LiberaliSme) di institusi pendidikan Islam! Akibatnya, kini
orang tua muslim yang menghadapi banyak dilema untuk menyekolahkan anak-anaknya
ke institusi pendidikan Islam!
Semoga keadaan “buram” ini cepat berlalu dalam dunia
pendidikan Islam kita. Amin. (Rahendra Maya, S.Th.I)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar