26 Februari 2014

INSTITUSI PENDIDIKAN PENCETAK MUNAFIK



Tak ada seorang pun yang meragukan urgensitas pendidikan, pengaruhnya bagi pola pikir seseorang dan pembentukan kepribadiannya, serta bagi kemajuan masyarakat dan kelanjutan pendidikan generasinya. Efektivitas dan urgensitas pendidikan terlihat nyata setidaknya dari dua hal berikut, yaitu (1) pendidikan dianggap sebagai upaya pembudayaan nalar dan pengentasan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan; dan (2) pendidikan, dengan rentang waktunya yang cukup lama, dari 3-4 tahun di setiap jenjangnya atau bahkan lebih, merupakan sarana paling tepat untuk melakukan indoktrinasi, kaderisasi dan pembentukan keyakinan.

Dalam sebuah institusi pendidikan, “segala sesuatu” dengan bebas dan terformat dapat disetting, dikatakan dan juga bisa didiktekan dalam lingkungan sekolah atau universitas (atau istilah lainnya) melalui berbagai program dan kegiatan pendidikan yang sistematis dan terencana baik, hingga bisa mencapai hasil yang diharapkan. Kesimpulannya, dalam tataran idealitas nilai dapat dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses optimal general yang kompleks, sistematis dan multi dimensi.


Kesadaran Musuh Islam

Efektifitas dan urgensitas pendidikan seperti tersebut di atas, ternyata sangat diketahui dan disadari betul oleh musuh-musuh Islam, terutama Yahudi dan Nasrani, yaitu melalui masifnya invasi pemikiran (ghazw fikrī) terhadap dunia pendidikan Islam, bahkan seringkali menjadi fokus utamanya; karena krisis pendidikan Islam, spesifiknya melalui sarana-prasarananya yang dihegemoni oleh cengkeraman ghazw fikrīmampu mewariskan krisis atau kekalahan psikologis (hazīmah nafsiyyah) yangberkepanjangan dan menggerogoti berbagai aspek kependidikan lainnya.

Akibatnya bisa sangat parah; krisis internal pendidikan Islam yang dinyatakan sebagai penyebab utama kemunduran umat Islam dan berpangkal pada lemahnya sistem pendidikan yang berlangsung selama ini, menjadi semakin parah dan bertambah kronis. Padahal disintesakan bahwa terjadinya kemajuan atau kemunduran suatu umat bermula dari persoalan psikologis (nafsiyyah) dan intelektualitas (fikriyyah). Juga disimpulkan bahwa salah satu norma baku (qanun) sejarah menyatakan bahwa “sehat dan sakit masyarakat” (shihhahwa maradh al-mujtama’at) – termasuk pendidikannya – adalah tergantung kepada “sehat dan sakit” pemikiran (fikr) masyarakat tersebut.

Karena terbentuknya suatu masyarakat tersusun oleh tiga pilar utamanya, yaitu konsepsi nalar atau pemikiran (afkar), individu atau sumber daya manusia (asykhāsh) dan material atau sumber daya alam (asyya’) yang ada di sekelilingnya. Dari pola hubungan di antara ketiga unsur tersebut kemudian terbentuk jaringan interaksi sosial (syabakah al-’alaqat al-ijtima’iyyah) antara individu dengan ke-lompok masyarakat, lalu terbentuk pula titik pu-sat loyalitas masyarakat, pola pemahaman dan pola pikir yang berkembang di dalam masyarakat tersebut, hingga tersusun hirarki nilai yang mengarahkan corak perilakunya, termasuk dalam pe-rilaku pendidikan.

Howard Blais, orientalis misionaris, mantan rektor American University di Beirut dengan gamblang memaparkan rahasia para aktivis kristenisasi yang sangat memperhatikan sektor pendidikan. Menurutnya, manfaat utama yang dapat diambil oleh misionaris dalam kegiatan kuliah adalah, di dalam universitas terdapat individu-individu muda pilihan yang kelak akan menjadi pengarah opini atau bahkan pemimpin negaranya di masa depan, dimana mereka cenderung menerima pemikiran baru tentang etika, agama dan idola yang dijejalkan dalam pendidikan.

Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang gencar mengkritik syariat Islam, ia sangat mendorong dibukanya sekolah-sekolah misionaris, dengan harapan para pengikut ajaran Muhammad akan beralih menjadi pengikut Kristus. Karena di sana ada ribuan orang yang sangat menginginkan pendidikan. Sedangkan model sekolah-sekolah misionaris yang disokong Eropa, dalam pandangan Snouck, adalah satu-satunya media yang dapat mewujudkan keinginan tersebut.


Institusi (Perusak) Pendidikan Islam

Institusi pendidikan yang dimobilisasi musuh-musuh Islam untuk merusak kaum Muslimin melalui pendidikan sebagian besarnya adalah berupa sekolah dan perguruan tinggi asing (madaris wa jami’at ajnabiyyah) yang membawa label pendidikan umum ataupun pendidikan Islam – termasuk institusi pendidikan khusus bagi kaum Muslimat – yang didirikan di jantung negara-negara kaum Muslimin sendiri, semisal Turki, India, Mesir, Lebanon, Suria dan negara lainnya, khususnya di negara-negara Afrika. Tentunya dengan tidak melupakan institusi pendidikan yang memang didirikan di negara-negara musuh tersebut, seperti di Eropa dan Amerika yang mem-buka kajian Islam (dirasah Islamiyyah), seperti Mc. Gill, Sorbone, Cambridge, Chicago, Harvard, Leiden dan lainnya.

Padahal seperti yang pernah disinyalir oleh Prof. Dr. Isma’il Rajhi al-Faruqi, bahwa studi Is-lam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi Zionisme dan Salibisme; karena para orientalis yang mengajar di studi Islam tersebut sebagian besar adalah orang Yahudi dan Kristen fanatis. Kalaupun ada pengajar yang Muslim, biasanya orang-orang yang tidak “laku” di negaranya karena memiliki pemikiran dan pemahaman Islam “yang aneh-aneh” bahkan banyak yang telah divonis murtad dan sesat oleh ulama negaranya, seperti Khalid Abou el-Fadhl, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid dan lainnya.

Dari institusi perusak pendidikan inilah lahirtokoh-tokoh berbahaya bagi Islam dan sangat merugikan kaum Muslimin, seperti Mushthafa Kemal sang manusia berhala penghancur Khilafah Islamiyah (‘Utsmaniyah), Sayyid Ahmad Khan yang mewarnai Muslimin India dengan ajaran Modernismenya dan Syah Iran yang berhasil me-misahkan Iran dengan identitas Islaminya.


Gejala Kronis di Indonesia

Indonesia, sama seperti negara kaum Muslimin lainnya, pun tidak luput dari perusakan institusi pendidikan Islamnya. Ambil contoh, kasus di berbagai Perguruan Tinggi Islam (IAIN, STAIN atau UIN untuk yang negeri dan PTAIS atau STAIS untuk yang swasta), di institusi pendidikan milik umat ini sudah banyak yang mendeteksinya sebagai intitusi yang dikuasai orang-orang “nyleneh” yang bahkan sangat kentara anti Islam karena pengaruh sistem, kurikulum, kucuran dana dan dosen-dosennya yang alumnus Institusi Perusak Pendidikan Islam tersebut di atas. Itupun masih ditambah makar sistematik terselubung untuk mengucilkan dan meminggirkan dosen-dosen yang memiliki manhaj Islam yang masih lurus atau istiqamah.

Kini, perguruan tinggi Islam milik kaum Muslimin tersebut juga “mesra” bekerjasama dengan Institusi Perusak Pendidikan Islam milik orang-orang kafir dengan mendirikan “cafe atau warung pojok penyesatan” berlabel kajian Islam ilmiah, seperti pendirian American corner, Canadian corner, Australian corner dan lainnya. Termasuk pendirian Iranian corner yang mengusung kebudayaan Persia Majusi dan penyebaran masif sekte sesat Syi’ah Rafidhah, antara lain terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Akhirnya, pendidikan Islam justru diselewengkan, hingga memuluskan pemurtadan – meminjam istilah Hartono Ahmad Jaiz –, bukan hanya kemunafikan, ditandai dengan marak dan masifnya gerakan SEPILIS (SEkularisme, PluralIsme dan LiberaliSme) di institusi pendidikan Islam! Akibatnya, kini orang tua muslim yang menghadapi banyak dilema untuk menyekolahkan anak-anaknya ke institusi pendidikan Islam!

Semoga keadaan “buram” ini cepat berlalu dalam dunia pendidikan Islam kita. Amin. (Rahendra Maya, S.Th.I)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar