Sistem demokrasi adalah sistem yang
tidak mempunyai satupun sandaran hukum dari Islam, berbahaya bagi akidah
karena banyak sekali prinsip yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadit.
Selain itu ia juga merupakan jalan/cara yang terus diupayakan oleh orang kafir
agar bisa diterapkan di seluruh negara muslim. Karena dengan menerapkan sistem demokrasi, maka ketaatan dan ketundukan
kaum muslimin kepada hukum Allah akan jatuh kepada ketaatan dan ketundukan
kepada hukum buatan manusia. Lebih jauh, setiap individu akan bebas berpendapat
yang pendapat tersebut sering kali bertentangan dengan hukum Islam, karena
kebanyakan manusia itu lalai dan fasik. Namun atas nama asas menghargai
pendapat, maka semua ide/pendapat itu, baik itu baik ataupun buruk,
sama-sama berhak dihargai, di dengar, bahkan bisa jadi disepakati untuk
selanjutnya dituangkan di dalam suatu bentuk hukum (yang tentunya akan
menyelisihi hukum Allah).
Di dalam demokrasi, kita akui memang ada padanya prinsip-prinsip yang mirip
dengan Islam, seperti prinsip musyawarah untuk mufakat. Tetapi bagaimana
caranya dan siapa saja yang boleh ikut bermusyawarah tersebut sangat
bertentangan dengan sistem Syuro yang dikenal di dalam Islam. Demikian juga
tidak kita pungkiri bahwa di dalam demokrasi terdapat kebaikan-kebaikan. Tetapi
kita katakan bahwa belum tentu sesuatu yang memiliki kebaikan itu adalah hal
yang baik dan benar secara mutlak. Karena di dalam hukum semua agama seperti
Kristen, Hindu, Budha, bahkan Yahudi sekalipun ada padanya kebaikan, seperti
dilarang membunuh, tolong menolong dsb. Namun bukan berarti bahwa
agama-agama tersebut di atas kebenaran.
Sebagaimana ketika seorang ikhwan
bertanya kepada Syaikh Muhammad Qutb dosen Universitas Ummul Qora Mekkah (adik
kandungnya Sayyid Qutb) tentang hukum demokrasi, beliau menjawab dengan
membacakan ayat yang berkenaan dengan judi dan Khamr (Al-Baqarah: 219) yang
artinya:
“Pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". (QS. Al-Baqoroh: 219)
Begitu pula ketika Syaikh Abdullah ‘Azzam
rahimahullah ditanya tentang duduk di dalam parlemen, maka beliau
membolehkannya dengan 2 buah syarat. Syarat yang pertama adalah harus tetap
berani mengatakan halal apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an halal, dan haram apa
yang dikatakan oleh Al-Qur'an haram. Dan syarat yang kedua adalah apabila tidak
sanggup melaksanakan syarat yang pertama, maka kewajiban baginya untuk keluar
dari parlemen (Kaset Kalimat Sutirot Biddima).
Begitulah, apabila kita melihat dengan
pikiran yang jernih dan mengutamakan keselamatan keimanan, maka kita akan
melihat bahwa demokrasi itu bukan hanya bid’ah yang sangat bertentangan dengan
Islam, akan tetapi demokrasi adalah salah satu bentuk kemusyrikan kontemporer
dalam ketaatan dan ketundukan atau di dalam pembuatan undang-undang yang
berbahaya bagi akidah seorang muslim. (lihat Al-Mausu’ah Al Muyasaroh fil
Adyan wal Madzahib wal Ahzab al Mu’aasyiroh karya Dr. Mani Al Juhani
Cetakan WAMI Vol II hal: 1056). Berikut beberapa prinsip demokrasi yang
bertentangan dengan Islam.
1.
Demokrasi adalah sebuah cara/alat buatan orang
kafir dalam pengaturan sistem kenegaraan serta dalam pembuatan dan penerapan
hukum/perundang-undangan, yang dianggap baik oleh kaum muslimin, padahal Allah
‘azza wajalla berfirman:
"Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50).
"Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya (Al-Kahfi: 104).
Selain itu Rasulullah
SAW telah bersabda
"Sungguh kalian
akan mengikuti kebiasan orang-orang sebelum kalian, persis seperti apa
yang mereka lakukan, (di dalam riwayat lain: sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta), sehingga apabila mereka masuk ke dalam lubang biawak niscaya
kalian pun akan masuk ke dalamnya. Seorang Shahabat bertanya: "Apakah
mereka itu Al Yahud wan Nashoro?" Kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa lagi kalau bukan mereka?"
(Al-Hadits).
Rasulullah SAW bersabda:
Ketika Rasulullah SAW membaca ayat yang artinya:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan (At-Taubah: 31), kemudian Adi Ibnu Hatim berkata: “Kami tidak
beribadah kepada mereka.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Bukankah
mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah kemudian kalian pun
menghalakannya dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kemudian
kalian pun mengharamkannya?" Adi Ibnu Hatim menjawab:” Ya.” Kemudian
Rasulullah SAW bersabda: “Maka itulah bentuk peribadatan kepada mereka.” (HR
Ahmad dan Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).
2.
Kebenaran menurut demokrasi adalah sesuatu yang
diikuti/disetujui oleh orang banyak, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Al-An’am:116)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan
Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka
di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik
(Al-Hadiid: 26).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya)
karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka:
"Matilah kamu", kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur
(Al-Baqarah: 243).
Konsep ini juga bertentangan dengan ayat:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu
janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (2:147).
Kemudian Dr. Sholah Sowi (salah seorang ulama
Ikhwanul Muslimin (IM) terkemuka saat ini) berkata: “Adapun kekuasaan ummat
Islam, maka seluruhnya berkisar pada garis rotasi syari’ah. Ummat Islam tidak
berhak sedikitpun juga untuk menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah
SWT atau sebaliknya, atau mensyari’atkan sesuatu dalam agama ini yang tidak
pernah diizinkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, sekalipun seluruhnya bersepakat dan
berkumpul dalam sebuah lapangan untuk memutuskan hal itu. (Ats-tsawaabit wal Mutaghoyyirot oleh Dr. Sholah Sowi cetakan Al-Muntada London hal 237).
3.
Demokrasi
mengatakan bahwa hukum ada di tangan rakyat, padahal Allah ‘azza wajalla
berfirman:
“…….Keputusan (hukum) itu hanyalah bagi
Allah……” (Yusuf: 40).
4.
Demokrasi memperbolehkan berhukum dengan selain
hukum Allah, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:
“…..Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44).
“…..Barang siapa yang
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang dzalim” (Al-Maidah: 45).
“…..Barangsiapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47).
Ibnu Taimiyah berkata:
“Dan tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya
berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, maka ia telah
kafir. Dan barangsiapa yang menghalalkan untuk memberikan hukum diantara
manusia dengan sesuatu yang dia anggap adil tanpa mengikuti apa yg telah
dirturunkan oleh Allah maka ia pun telah kafir.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
Vol III hal 267).
5.
Demokrasi akan mengakomodasi hukum Allah dan
juga selain hukum Allah (campuraduk yang hak dan yang bathil), padahal Allah
‘azza wajalla berfirman:
“Dan janganlah kamu
campur adukkan yang hak dengan yang batil….” (Al-Baqarah:42).
6.
Demokrasi menyamakan antara muslim dengan kafir
di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:
“Maka apakah patut Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?”
(Al-Qalam: 35)
7.
Demokrasi menuntut (bahkan membela) persamaan
hak antara laki-laki dan wanita dalam segala hal termasuk persaksian, padahal
Allah ‘azza wajalla berfirman:
“….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai…”
(Al-Baqarah: 282).
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa’:11).
8.
Demokrasi menyamakan antara orang yang bertaqwa
dengan orang fasiq di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal Allah ‘azza
wajalla berfirman:
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka
dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang
beruntung” (Al-Hasyr: 20).
9.
Demokrasi menyamakan antara orang berilmu
(ulama) dan orang bodoh (awam) di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal
Allah ‘azza wajalla berfirman:
“Apakah sama orang yg
berilmu dengan orang yang tidak berilmu…” (Al-Ayat).
10.
Demokrasi
memperbolehkan orang kafir jadi pemimpin, padahal Allah ‘azza wajalla
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah:51).
11.
Demokrasi memperbolehkan (bahkan membela)
seorang wanita duduk menjadi anggota parlemen, padahal Allah ‘azza wajalla
berfirman:
“Hendaklah kalian (para wanita mukmin) tinggal di rumah-rumah kalian…” (Al-Ayat).
12.
Demokrasi
memperbolehkan (bahkan membela) seorang wanita menjadi pemimpin, padahal Allah
‘azza wajalla berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita….” (An-Nisa’:34).
Selain itu Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang
dipimpin oleh seorang wanita (Hadits Shohih).
13.
Demokrasi
memperbolehkan seseorang murtad (keluar dari Islam) sebagai hak asasi manusia ,
padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (Hadits shohih).
14.
Demokrasi menuntut adanya toleransi dengan orang
kafir dalam hal akidah seperti doa bersama, mengucapkan perayaan keagamaan,
padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:
“Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka….” (Al-Mujadilah:
22).
Maka dengan demiian, akankah kita mengorbakankan
agama kita demi mengokohkan sistem Yahudi dan Nahsrani? Allah SWT berfirman
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian (agama kalian), tidak akan membahayakan kalian orang yang sesat, apabila
kalian telah mendapatkan petunjuk.” (Al-Ayat).
Adapun dalam rangka menolong kaum muslimin, maka
masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan mereka dengan tanpa
mengorbankan keimanan dan akidah kita.
Cobalah renungi
ayat-ayat berikut ini:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa’:
60-61)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’:
65).
Wallahu’alam.
Walhamdulillah. Washolallahu ‘ala Muhammad.
Akhukum An-Naasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar