Oleh: H. Hartono Ahmad Jaiz
Ada gelombang dahsyat yang menimpa ummat Islam sedunia,
yaitu gelombang budaya jahiliyah yang merusak akhlaq dan aqidah manusia yang
disebarkan lewat televisi dan media lainnya. Gelombang itu pada hakekatnya
lebih ganas dibanding senjata-senjata nuklir yang sering dipersoalkan secara
internasional. Hanya saja gelombang dahsyat itu karena sasarannya merusak
akhlaq dan aqidah, sedang yang paling menjunjung tinggi akhlaq dan aqidah itu
adalah Islam, maka yang paling prihatin dan menjadi sasaran adalah ummat Islam.
Hingga, sekalipun gelombang dahsyat itu telah melanda seluruh dunia, namun
pembicaraan hanya sampai pada tarap keluhan para ulama dan Muslimin yang teguh
imannya, serta sebagian ilmuwan yang obyektif.
Gelombang dahsyat itu tak lain adalah budaya jahiliyah
yang disebarkan lewat aneka media massa, terutama televisi, VCD/ CD, radio,
majalah, tabloid, koran,dan buku-buku yang merusak akhlak.
Dunia Islam seakan menangis menghadapi gelombang dahhsyat
itu. Bukan hanya di Indonesia, namun di negara-negara lain pun dilanda
gelombang dahsyat yang amat merusak ini.
Di antara pengaruh negatif televisi adalah membangkitkan
naluri kebinatangan secara dini... dan dampak dari itu semua adalah merosotnya
akhlak dan kesalahan yang sangat mengerikan yang dirancang untuk menabrak
norma-norma masyarakat. Ada sejumlah contoh bagi kita dari pengkajian Charterz
(seorang peneliti) yang berharga dalam masalah ini di antaranya ia berkata:
“Sesungguhnya pembangkitan syahwat dan penayangan gambar-gambar porno, dan
visualisasi (penampakan gambar) trik-trik porno, di mana sang bintang film
menanamkan rasa senang dan membangkitkan syahwat bagi para penonton dengan cara
yang sangat fulqar bagi kalangan anak-anak dan remaja itu amat sangat
berbahaya.”
Peneliti ini telah mengadakan statistik kumpulan
film-film yang ditayangkan untuk anak-anak sedunia, ia mendapatkan bahwa:
- 29,6% film anak-anak bertemakan seks
- 27,4% film anak-anak tentang menanggulangi kejahatan
- 15% film anak-anak berkisar sekitar percintaan dalam arti syahwat buka-bukaan.
Dan begitu pula
dengan tahun sekarang, tentu lebih mengkhawatirkan.Terdapat pula film-film yang menampilkan kekerasan yang
menganjurkan untuk balas dendam, memaksa, dan brutal.
Hal itu dikuatkan oleh sarjana-sarjana psikologi bahwa
berlebihan dalam menonton program-program televisi dan film mengakibatkan
kegoncangan jiwa dan cenderung kepada sifat dendam dan merasa puas dengan
nilai-nilai yang menyimpang. (Thibah Al-Yahya, Bashmat ‘alaa waladi/
tanda-tanda atas anakku, Darul Wathan, Riyadh, cetakan II, 1412H, hal 28).
Jangkauan lebih luas
Apa yang dikemukakan oleh peneliti beberapa tahun lalu
itu ternyata tidak menjadi peringatan bagi para perusak akhlaq dan aqidah.
Justru mereka tetap menggencarkan program-programnya dengan lebih dahsyat lagi
dan lebih meluas lagi jangkauannya, melalui produksi VCD dan CD yang ditonton
oleh masyarakat, dari anak-anak sampai kakek- nenek, di rumah masing-masing.
Gambar-gambar yang merusak agama itu bisa disewa di pinggir-pinggir jalan atau
dibeli di kaki lima dengan harga murah. Video dan komputer/ CD telah menjadi
sarana penyaluran budaya kaum jahili untuk merusak akhlaq dan aqidah ummat
Islam. Belum lagi situs-situs porno di internet.
Budaya jahiliyah itu jelas akan menjerumuskan manusia ke
neraka. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan kita agar menjaga
diri dan keluarga dari api Neraka. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahriim: 6).
Sirkulasi perusakan akhlaq dan aqidah
Dengan ramainya lalulintas tayangan yang merusak aqidah
dan akhlaq lewat berbagai jalur itu penduduk dunia -dalam pembicaraan ini ummat
Islam-- dikeroyok oleh syetan-syetan perusak akhlaq dan aqidah dengan aneka
bentuk. Dalam bentuk gambar-gambar budaya jahiliyah, di antaranya disodorkan
lewat televisi, film-film di VCD, CD, bioskop, gambar-gambar cetak berupa foto,
buku, majalah, tabloid dsb. Bacaan dan cerita pun demikian.
Tayangan, gambar, suara, dan bacaan yang merusak aqidah dan
akhlaq itu telah mengeroyok Muslimin, kemudian dipraktekkan langsung oleh
perusak-perusak aqidah dan akhlaq dalam bentuk diri pribadi, yaitu perilaku.
Lalu masyarakatpun meniru dan mempraktekkannya. Sehingga praktek dalam
kehidupan sehari-hari yang sudah menyimpang dari akhlaq dan aqidah yang benar
itupun mengepung ummat Islam.
Dari sisi lain, praktek tiruan dari pribadi-pribadi
pendukung kemaksiatan itupun diprogramkan pula untuk dipompakan kepada
masyarakat dengan aneka cara, ada yang dengan paksa, misalnya menyeragami para
wanita penjaga toko dengan pakaian ala jahiliyah. Sehingga, ummat Islam didesak
dengan aneka budaya yang merusak aqidah dan akhlaq, dari yang sifatnya tontonan
sampai praktek paksaan.
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam memperingatkan
agar ummat Islam tidak mematuhi suruhan siapapun yang bertentangan dengan
aturan Allah swt. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam Bersabda:
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. (رواه أحمد في
مسنده 20191).
“Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam maksiat pada Allah
Tabaraka wa Ta’ala.” ( Hadits Riwayat Ahmad, dalam Musnadnya nomor 20191).
Sikap Ummat Islam
Masyarakat Muslim pun beraneka ragam dalam menghadapi
kepungan gelombang dahsyat itu. Golongan
pertama, prihatin dengan bersuara lantang di masjid-masjid, di
majlis-majlis ta’lim dan pengajian, di tempat-tempat pendidikan, dan di rumah
masing-masing. Mereka melarang anak-anaknya menonton televisi karena hampir
tidak diperoleh manfaat darinya, bahkan lebih besar madharatnya. Mereka
merasakan kesulitan dalam mendidikkan anak-anaknya. Kemungkinan, tinggal
sebagian pesantrenlah yang relatif lebih aman dibanding pendidikan umum yang
lingkungannya sudah tercemar akhlaq buruk.
Ummat Islam adalah golongan pertama yang ingin mempertahan-kan
aqidah dan akhlaq anak-anaknya itu, di bumi zaman sekarang ini ibarat orang
yang sedang dalam keadaan menghindar dari serangan musuh. Harus mencari tempat
perlindungan yang sekira-nya aman dari aneka “peluru” yang ditembakkan.
Sungguh!
Golongan kedua, Ummat Islam yang
biasa-biasa saja sikapnya. Diam-diam masyarakat Muslim yang awam itu justru
menikmati aneka tayangan yang sebenarnya
merusak akhlaq dan aqidah mereka dengan senang hati. Mereka beranggapan,
apa-apa yang ditayangkan itu sudah lewat sensor, sudah ada yang bertanggung
jawab, berarti boleh-boleh saja. Sehingga mereka tidak merasa risih apalagi
bersalah. Hingga mereka justru mempersiap-kan aneka makanan kecil untuk
dinikmati sambil menonton tayangan-tayangan yang merusak namun dianggap nikmat
itu. Sehingga mereka pun terbentuk jiwanya menjadi penggemar tayangan-tayangan
itu, dan ingin mempraktekkannya dalam kehidupan. Tanpa disadari mereka secara bersama-sama dengan yang lain telah
jauh dari agamanya.
Golongan ketiga, masyarakat yang juga mengaku Islam, tapi lebih buruk
dari sikap orang awam tersebut di atas. Mereka berangan-angan, betapa nikmatnya
kalau anak-anaknya menjadi pelaku-pelaku yang ditayangkan itu. Entah itu hanya
jadi penjoget di belakang penyanyi (namanya penjoget latar), atau berperan apa
saja, yang penting bisa tampil. Syukur-syukur bisa jadi bintang top yang
mendapat bayaran besar. Mereka tidak lagi memikir tentang akhlaq, apalagi
aqidah. Yang penting adalah hidup senang, banyak duit, dan serba mewah, kalau
bisa agar terkenal. Untuk mencapai ke “derajat” itu, mereka berani mengorbankan
segalanya termasuk apa yang dimiliki anaknya. Na’udzubillaah. Ini sudah
bukan rahasia lagi bagi orang yang tahu tentang itu. Na’udzu billah tsumma
na’udzu billah.
Golongan pertama yang ingin mempertahankan akhlaq dan
aqidah itu dibanding dengan golongan yang ketiga yang berangan-angan agar
anaknya ataupun dirinya jadi perusak akhlaq dan aqidah, boleh jadi seimbang
jumlahnya. Lantas, golongan ketiga --yang ingin jadi pelaku perusak akhlaq dan
aqidah itu-- digabung dengan golongan kedua yang merasa nikmat dengan adanya
tayangan maksiat, maka terkumpullah jumlah mayoritas. Hingga Muslimin yang
mempertahankan akhlaq dan aqidah justru menjadi minoritas.
Itu kenyataan. Buktinya, kini masyarakat jauh lebih
meng-unggulkan pelawak daripada ulama’. Lebih menyanjung penyanyi dan penjoget
daripada ustadz ataupun kiyai. Lebih menghargai bintang film daripada guru
ngaji. Dan lebih meniru penjoget daripada imam masjid dan khatib.
Ungkapan ini secara wajar tampak hiperbol, terlalu
didramatisir secara akal, tetapi justru secara kenyataan adalah nyata. Bahkan,
bukan hanya suara ulama’ yang tak didengar, namun Kalamullah pun sudah banyak tidak didengar. Sehingga, suara penyayi, pelawak, tukang iklan dan sebagainya lebih dihafal
oleh masyarakat daripada Kalamullah, ayat-ayat Al-Quran. Fa
nastaghfirulaahal ‘adhim.
Tayangan-tayangan televisi dan lainnya telah
mengakibatkan berubahnya masyarakat secara drastis. Dari berakhlaq mulia dan
tinggi menjadi masyarakat tak punya filter lagi. Tidak tahu mana yang ma’ruf
(baik) dan mana yang munkar (jelek dan dilarang). Bahkan dalam praktek sering
mengutamakan yang jelek dan terlarang daripada yang baik dan diperintahkan oleh
Allah SWT.
Berarti manusia ini telah merubah keadaan dirinya. Ini
mengakibatkan dicabutnya ni’mat Allah akibat perubahan tingkah manusia itu
sendiri, dari baik menjadi tidak baik. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d/ 13:11).
Mencampur kebaikan dengan kebatilan
Kenapa masyarakat tidak dapat membedakan kebaikan dan
keburukan? Karena “guru utama mereka” adalah televisi. Sedang program-program
televisi adalah menampilkan aneka macam yang campur aduk. Ada aneka macam
kebohongan misalnya iklan-iklan yang sebenarnya bohong, tak sesuai dengan
kenyataan, namun ditayangkan terus menerus. Kebohongan ini kemudian dilanjutkan
dengan acara tentang ajaran kebaikan, nasihat atau pengajian agama. Lalu
ditayangkan film-film porno, merusak akhlaq, merusak aqidah, dan menganjurkan
kesadisan. Lalu ditayangkan aneka macam perkataan orang dan berita-berita yang
belum tentu mendidik. Sehingga, para penonton lebih-lebih anak-anak tidak bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masyarakat pun demikian. Hal itu
berlangsung setiap waktu, sehingga dalam tempo sekian tahun, manusia Muslim
yang tadinya mampu membedakan yang haq dari yang batil, berubah menjadi manusia
yang berfaham menghalalkan segala cara, permissive atau ibahiyah,
apa-apa boleh saja.
Munculnya masyarakat permissive itu karena adanya
penyingkiran secara sistimatis terhadap aturan yang normal, yaitu larangan
mencampur adukkan antara yang haq (benar) dan yang batil. Yang ditayangkan
adalah jenis pencampur adukan yang haq dan yang batil secara terus menerus,
ditayangkan untuk ditonton oleh masyarakat. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala
telah melarang pencampur adukan antara yang haq dengan yang batil:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang
batil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42).
Dengan mencampur adukkan antara yang benar dengan yang
batil secara terus menerus, akibatnya mempengaruhi manusia untuk tidak menegakkan
yang haq/ benar dan menyingkirkan yang batil. Kemudian berakibat tumbuhnya jiwa
yang membolehkan kedua-duanya berjalan, akibatnya lagi, membolehkan tegaknya
dan merajalelanya kebatilan, dan akibatnya pula menumbuhkan jiwa yang
berpandangan serba boleh. Dan terakhir, tumbuh jiwa yang tidak bisa lagi
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Lantas, kalau sudah tidak mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang
batil, lantas keimanannya di mana?
Menipisnya keimanan itulah bencana yang paling parah yang
menimpa ummat Islam dari proyek besar-besaran dan sistimatis serta terus
menerus yang diderakan kepada ummat Islam sedunia. Yaitu proyek mencampur
adukkan antara kebaikan dan keburukan lewat aneka tayangan. Apakah upaya kita
untuk membentengi keimanan kita?
Sumber: Khutbah-khutbah Pilihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar