Pertumbuhan dan Pengembaraan Imam Syafi’i dalam
Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya
tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada
seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang
guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya
dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya
ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua
yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah
sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu
mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak
ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah
menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di
al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis
ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam
menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah
kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan
milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma
yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau
belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal
Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan
Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari
ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah
pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian
bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau
telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka,
serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji
oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup
sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah
mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji
-mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu
fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan
menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud
bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung
paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu
Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah
ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik.
Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda
sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat
Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya
pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para
syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar
as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada
Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana
menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang
telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum
kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu
darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau
juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya,
‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin
Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau
kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun,
berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi
oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi
tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan
ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang
tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah
Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam
Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil
merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani
‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan
‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan
pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia
melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan
dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh
sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda
dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras
sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu
Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah
kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran
maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan
kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap,
lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama
sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya
menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi
seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada
gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan
kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli
fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa
yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid
dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan
kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada
kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu
Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan
lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke
Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke
Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota
Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i
memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain.
Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar
di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya
dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah
menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa
mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu
Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid
Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari
Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua
tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai
menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya
meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke
Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli
kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu
bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama
ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi
setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka
tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab
mereka.
Dan begitulah kenyataannya.
Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama
ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika
dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham
Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak
dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan
itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati
kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada
kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana
beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk
merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya
di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar