SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Adapun Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah
memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf
(aqil baligh/ berakal dan dewasa), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang
yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda:
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil
hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat),
dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512).
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang
terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah
satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw:
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan
satu di antara tiga … dst."
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3.
Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi
saw:
"Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh
anaknya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214,
Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
4. Hendaknya si korban bukanlah orang
kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh)
orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no:
1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan
Nasa’i VIII: 23).
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang
hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh)
seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud
no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494).
Ini adalah madzhab jumhur ulama’, mereka dengan banyak dalil
yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh Asy-Syinqithi rhm, dalam
kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut, kemudian beliau berkata:
“Riwayat-riwayat ini banyak, meskipun masing-masing darinya
tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian yang
lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan
hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh
karena telah membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak ada hak menuntut
qishash bagi hamba sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
(catatan: hamba sahaya adalah budak yang melayani tuannya
tanpa imbalan uang. budak biasanya berasal dari tawanan perang yang tidak
ditebus oleh keluarganya. budak ini biasanya adalah orang-orang kafir. jika ia
masuk islam (beriman kepada Alloh dan RosulNya), maka hendaklah
dimerdekakan-red)
Jika tidak ada tuntutan qishash pada sebagian anggota badan,
maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus pembunuhan dan tidak ada
yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain) dan Ibnu Ali Laila.
Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang
berpendapat dalam kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena
tersalah, tidak disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang
senilai), bukan diat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak
sampai melebihi diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan bahwa kalau seorang merdeka
menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang merdeka itu) tidak wajib
dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali riwayat dari Ibnu Umar
al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum had atas orang yang
menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada ummul walad.”
SEKELOMPOK DIQISHOSH KARENA TELAH
MEMBUNUH SEORANG
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang,
maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik:
Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah
membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh
seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban
hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata,
'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh
mereka semuanya.'” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik hal. 628
no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).
Saudaraku..., Pembunuhan terbagi menjadi tiga: pembunuhan
dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan
karena keliru.
Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga (pembunuhan
yang mirip dengan sengaja, dan pembunuhan karena keliru), maka pelakunya
dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus membayar diat bagi keluarga
si pembunuh
Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka
pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash,
atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat.
JELASNYA PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah
satu dari dua hal berikut:
1.
Pengakuan dari pelaku
Dari Anas ra, bahwa ada seorang Yahudi menumbuk kepala
seorang budak perempuan di antara dua batu. Lalu ia (budak itu) ditanya, “Siapa
yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?” Hingga disebutlah nama orang
Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah orang
Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi saw menyuruh agar
kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
XII: 198 no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i VIII: 22 dan Ibnu Majjah II: 889
no: 2666).
2.
Kesaksian dua orang laki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif ra berkata: “Pada suatu pagi ada
seorang laki-laki dari kaum Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu
berangkatlah keluarganya menemui Nabi saw lantas mereka menyampaikan kasus
pembunuhan tersebut kepada Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Apakah kelian
memiliki dua laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu?”
Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di sana tak ada seorang pun dari kaum muslimin.
Mereka hanyalah kaum Yahudi dan tidak jarang mereka ini melakukan penganiayaan
lebih kejam daripada ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pilihlah lima
puluh di antara mereka, kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun mereka
menolak. Kemudian Nabi saw membayar diat kepada ahli kurban dari kantongnya
sendiri.” (Shahih Lighairihi: Shahih Abu Daud no: 3793 dan ‘Aunul Ma’bud
XII: 250 no: 4501)
SYARAT-SYARAT
PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang mesti
dipenuhi:
1. Ahli waris si kurban harus mukallaf.
Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus
dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf (aqil balig/ berakal dan dewasa).
2. Pihak keluarga korban sepakat menuntut
hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang
mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra pernah diajukan kepadanya
seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki lain. Kemudian keluarga si
terbunuh menghendaki qishash, maka ada saudara perempuan si terbunuh --dan ia
adalah isteri si pembunuh berkata--, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada
suamiku.” Kemudian Umar berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh
itu memerdekakan budak (yang beriman-red) sebagai sanksi dari pembunuhannya.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2222 dan X: 18188)
Darinya (Zaid bin Wahab), ia berkata, “Ada seorang suami
mendapati laki-laki lain berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh
isterinya. Kemudian kasus tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia
mendapati sebagian saudara isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara
isterinya itu) menshadaqahkan bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar
ra menyuruh (si pembunuh) membayar diat kepada mereka semua.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2225 dan Baihaqi VIII: 59)
3. Pelaksanaan hukuman tidak boleh
merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang
wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh
dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal
penyusuannya (yaitu setelah bayinya sudah di susui selama dua tahun-red).
Yaitu penyusuan pertama kali, penyusuan ini amat sangat penting
bagi kesehatan sang bayi, sedangkan melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu
sebelum menyusuinya (penyusuan pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian
manakala setelah penyusuan pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya,
maka serahkanlah kepadanya, lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan
hadist Imam Muslim. Jika ternyata tidak didapati ibu yang
siap menyusuinya, maka ibu itu dibiarkan supaya menyusui anaknya dua
tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa ada
seorang perempuan al-Ghamidiyah berkata kepada Nabi saw, “(Ya Rasulullah),
sesungguhnya saya telah berbuat sebuah kejahatan.” Sabda Beliau, “Kembalilah!”
Lalu ia kembali (pulang). Kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) lalu
berkata, “(Ya Rasulullah), barangkali engkau menolakku sebagaimana halnya
engkau pernah menolak Ma’iz bin Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya
benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau kepadanya, “Kembalilah!” Kemudian
ia kembali pulang, kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) kepada Beliau,
lalu Beliau bersabda kepadanya, “Kembalilah kau hingga kamu melahirkan!”
Maka kembalilah sang perempuan, kemudian tatkala ia sudah melahirkan, ia datang
lagi menemui Beliau dengan membawa bayinya, lantas berkata, “(Ya Rasulullah),
ini bayi yang saya lahirkan.” Kemudian Beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah
dan susuilah bayimu itu hingga engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang
(lagi) dengan anak kecilnya yang sudah disapih, sementara di tangannya ada
makanan yang dimakannya. Kemudian Rasulullah saw menyuruh agar anak kecil itu
diserahkan kepada seorang sahabat yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh
shahabat menggali lubang untuk sang perempuan itu, lalu dirajam (sebab wanita
itu sudah pernah menikah kemudian berzina, jika ia belum menikah, hukumannya
adalah di dera/ cambuk 100 kali-red). Dan, adalah Khalid salah seorang yang
merajamnya dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya
mengenai pipinya, lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi saw bersabda
kepadanya, "Ya Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku
berada di tangan-Nya, sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata
taubat tersebut dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar
niscaya diampuni dosa-dosanya." Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat
mengurus jenazahnya), lalu jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur.
(Shahih: Shahih Abu Daud no: 3733, Muslim III: 1321 no: 1695, Aunul Ma’bud XII:
123 no: 14419 dan redaksi hadist bagi Imam Abu Daud).
Subhanalloh... seorang muslimah datang kepada Rosul untuk
minta mendapatkan hukuman karena rasa takutnya kepada Alloh swt. Adakah
diantara kita yang keimanannya seperti itu? Ya Alloh.... masukkanlah ia kedalam
surgamu ya Alloh...
TEKNIS
PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus dibunuh
sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang setimpal
dan sepadan. Allah swt menegaskan:
"Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS Al-Baqarah: 194)
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS An-Nahl: 126)
Di samping itu, Rasulullah saw pernah melempar dengan batu
kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala
seorang perempuan.
PELAKSANAAN
HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan,
“Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum
qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa Islam (di dalam negara/
wilayah kekuasaan Islam-red). Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum
qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah swt menuntut segenap
kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak
sanggup untuk berkumpul melaksanakan hukum qishash maka mereka mengangkat
penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan
lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 –
246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh ash-Shawi dalam
Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut,
"Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi
wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim
melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap
si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali
(keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum
mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan
pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga)
si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka
pelakunya harus dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan
hakim)'." (Fiqhus Sunnah II: 453).
HUKUM
QISHASH SELAIN BALAS BUNUH
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash berupa
balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada
pembunuhan. Allah swt berfirman:
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada
qishashnya." (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum kita,
sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan
pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena
diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan
sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rubayyi’ binti an-Nadhr bin
Anas ra telah memecahkan gigi seri seorang budak perempuan, kemudian mereka
(keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat kepada mereka (keluarga si
budak), lalu mereka (keluarga si budak) tidak mau menerima melainkan qishash.
Maka datanglah saudara Rubayyi’, Anas bin Nadhr, lalu bekata, “Ya Rasulullah,
engkau akan memecahkan gigi seri Rubayyi’! Demi Dzat yang telah mengutusmu
dengan membawa yang haq, janganlah engkau memecahkannya”. Kemudian Beliau
bersabda, “Wahai Anas, menurut ketetapan Allah swt (harus) qishash.”
Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan (Rubayyi’). Kemudian Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah swt ada yang kalau
bersumpah atas nama Allah swt pasti melaksanakannya.” (Shahih:
Shahihhul Jami’us Shaghir no: 2228, Fathul Bari V: 306 no: 2703, ‘Aunul
Ma’bud XII: 333 no: 4566, Nasa’i VIII no: 27 dan Ibnu Majah II: 884 no: 2649).
SYARAT-SYARAT
QISHASH SELAIN BALASAN AKAN PEMBUNUHAN
Untuk
Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
- Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
- Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
- Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
HUKUM
QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH
Untuk
melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat
yang harus dipenuhi:
- Memungkinkan pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak di bawah gigi (tulang rahang).
- Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.
- Kondisi bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh sebaliknya.
DIQISHASH
KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN
Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka dalam
kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat
memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang
diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila
pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan,
melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya,
atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini
tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka
As-Sunnah), hlm. 853 - 873.
http://alislamu.com/muamalah/17-pidana... (Kamis, 24 Mei 2007 13:46 Fani Media )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar