Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk
jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi
jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar
(kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis
perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik
disengaja ataupun tidak. (Subulus Salam III: 231).
Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti
menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash
atau membayar diat. (Manarus Sabil II: 315)
Saudaraku,... antara seorang muslim dengan muslim lainnya
adalah bersaudara. Islam sangat menghormati sekali kehormatan-kehormatan kaum
muslimin. Allah swt berfirman:
“...dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisaa’: 29-30)
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisaa’: 93)
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al-Maaidah: 32)
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah
kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Ya
Rasulullah, apa saja itu?” Jawab Beliau, “(Pertama) menyekutukan Allah,
(kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan
(membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak
yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh
(desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan mukmin yang
tidak tahu menahu (tentang itu).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 393
no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ’Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i
VI: 257).
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Bagi Allah lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada membunuh
seorang muslim.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5077, Tirmidzi II:
426 no: 1414 dan Nasa’i VII: 82).
Dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Huraitah ra, dari Rasulullah
saw, Beliau bersabda, “Andaikata segenap penghuni langit dan penghuni bumi
bersekongkol menumpahkan darah seorang mukmin, maka niscaya Allah akan
menjebloskan mereka ke dalam api neraka.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 5247 dan Tirmidzi II: 427 no: 1419).
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Perkara
yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah kelak) ialah kasus
pembunuhan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 187 no: 8664, Muslim III:
1304 no: 1418 dan Nasa’i VII: 83)
Darinya (Abdullah bin Mas’ud) ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Ada seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki
lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’
Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha membunuhnya?’
Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, 'Aku membunuhnya
supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.' Kemudian Allah menjawab, 'Maka
(kalau begitu), itu untuk-Ku semata.' Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki
(lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata,
'(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.' Lalu tanya Allah kepadanya,
‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si
fulan.’ Maka firman Allah, 'Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.'
Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.” (Shahih:
Shahih Nasa’i no: 3732 dan Nasa’i VII: 84).
Saudaraku... itulah beberapa dalil yang melarang ummat Islam
melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim. Namun, kita diperbolehkan
melakukan pembunuhan dengan cara yang haq (cara yang benar). Hal-hal yang
membolehkan kita melakukan pembunuhan diantaranya adalah sebagai berikut,
sebagaimana firman Alloh:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang telah Allah haramkan
(membunuhnya), kecuali dengan cara yang haq.”
(QS Al-Israa’: 33)
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku
diperintah (oleh Allah) memerangi orang-orang hingga mereka (mau) bersaksi
bahwa tiada Ilah (yang layak diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
Rasul-Nya, dan (mau) menegakkan sholat serta menunaikan zakat. Jika mereka
melaksanakan itu (semua), maka darah dan harta benda mereka terpelihara dari
kami kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka sepenuhnya di
tangan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 75 no: 25 dan Muslim I: 53
no: 22)
“Cara yang haq”
yang kita dibenarkan melalui pembunuhan dalam ayat diatas dijelaskan oleh
Rasulullah saw dengan sabdanya:
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa
tidak ada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah swt dan bahwa aku adalah
Rasul-Nya, melainkan dengan salah satu dari tiga hal: (pertama) jiwa (dibalas)
dengan jiwa, (kedua) orang yang pernah menikah kemudian berzina (maka
hukumannya dirajam-red), dan (ketiga) orang yang keluar dari agamanya (murtad)
dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin),”(Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari XII: 201 no: 201 no: 6878, Muslim III: 1302 no: 1676,
‘Aunul Ma’bud XII: 5 no: 4330, Tirmidzi II: 429 no: 1423, Nasa’i VII: 90 dan
Ibnu Majah II: 847 no: 2534).
KLASIFIKASI PEMBUNUHAN
Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan dengan sengaja,
pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan karena keliru.
Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf
secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak
bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya.
Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi
(pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud tidak
memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun
ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia.
Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena keliru ialah seorang
mukallaf melakukan perbuatan yang mubah (boleh) baginya, seperti memanah
binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang
hingga meninggal dunia.
AKIBAT HUKUM YANG MESTI DIEMBAN
PELAKU PEMBUNUHAN
Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga (pembunuhan
yang mirip dengan sengaja, dan pembunuhan karena keliru), maka pelakunya
dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus membayar diat bagi keluarga
si pembunuh. Allah swt berfirman;
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS An-Nisaa’: 92)
Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka
pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash,
atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Robb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah: 178).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barang
siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya)
memilliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh menuntut qhisash.”
(Muttafaqun’alai: Fathul Bri XII; 205 dan Muslim II: 988 no: 1355).
Diat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu,
pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan menuntut
selain diat, walaupun nilainya lebih besar daripada diat. Hal ini didasarkan
pada sabda Nabi saw:
"Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara
sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika
mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diat,
yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk
tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima)
serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang
mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan
itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat." (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no:
1406 dan Ibnu Majah II: 887 no: 2626).
Namun mema’afkan secara cuma-cuma, tanpa menuntut apa-apa
kepada si pembunuh (jika ia muslim) adalah sikap yang amat sangat utama lagi
mulia. Firman-Nya:
"Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-Baqarah: 237)
Nabi saw bersabda:
“Dan, Allah tidak menambah pada seorang karena pemaafannya,
melainkan kemuliaan.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1894,
Muslim IV: 2001 no: 2588 dan Tirmidzi III: 254: 2098)
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul
'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 853 - 873.
http://alislamu.com/muamalah/17-pidana/.... (Kamis, 24 Mei 2007 13:46 Fani Media )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar