Sejarah Kehidupannya
Nama kecilnya cukup singkat yaitu ‘Ali, yang dalam bahasa
Arab berarti tinggi atau kuat. ‘Ali adalah putra dari pasangan
Abu Tholib dengan Fatimah binti Asad, nama Ibunya sama dengan nama anak
Rosululloh saw yang (anaknya rosululloh saw itu) akhirnya menjadi istrinya
(‘Ali) yaitu Fatimah binti Muhammad saw. adapun nasabnya secara lebih lengkap
adalah ‘Ali bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf.
sedangkan nasab ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.
(ingat, di dalam islam, nasab diambil dari jalur ayah). Dari kedua nasab itu
pula kita tahu bahwa kedua orang tua ‘Ali masih ada hubungan kerabat dan masih
satu kakek.
‘Ali dilahirkan pada tahun 10 sebelum bitsah. Oleh karena
orang tua ‘Ali adalah termasuk keluarga yang tidak cukup ekonominya maka
Rosululloh saw menawarkan kepada orang tua Ali untuk menjadikan Ali sebagai
anak asuhnya, dan hal itu diterima oleh Abu Tholib, orang tua ‘Ali; bahkan
untuk membantu meringankan beban orangtua ‘Ali, Abbas yang juga paman
Rosululloh saw ikut menjadikan Ja’far saudara kandung Ali sebagai anak asuhnya.
dan oleh karena Rosul saw adalah menjadi pengasuhnya maka wajar sekali jika
‘Ali merupakan salah seorang yang berpredikat assabiqunal awwalun
(orang-orang yang pertama masuk islam).
Sebagaimana Rosululloh saw telah membantu ‘Ali, dan juga
karena kualitas tarbiyahnya yang langsung ditangani oleh Rosululloh saw dengan
ajaran islam yang merasuk ke dada Ali bin Abi Tholib, maka perjuangan ‘Ali dalam
membela Rosululloh saw juga terbaca begitu kuatnya. Maka ketika Rosululloh saw dikepung
oleh orang-orang kafir dan beliau hendak berangkat hijrah menuju ke Madinah,
‘Ali bin Abi Tholib inilah yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk tidur di
tempat tidur Rosululloh saw guna mengelabui orang-orang kafir. Dan benar
perasaan orang-orang kafir begitu kesal ketika mereka tahu bahwa yang tidur di
tempat itu adalah ‘Ali dan bukan Rosululloh saw.
begitulah hubungan baik Rosululloh saw dengan ‘Ali ra,
maka dua tahun setelah perjalanan hijrah yang menegangkan itu Rosululloh saw
memberikan kehormatan terhadap Ali, yaitu menikahkan ‘Ali dengan putrinya yang
bernama Fatimah binti Muhammad saw. dari perkawinan Ali dengan Fatimah inilah
lahir dua orang cucu laki-laki Rosululloh saw yang sangat terkenal yaitu Hasan
dan Husain. Selain itu ‘Ali juga mengikuti seluruh gozwah, peperangan yang
diikuti oleh Rosululloh saw secara langsung, kecuali hanya perang Tabuk, itupun
karena Rosululloh saw memberikan tugas
kepadanya untuk menjalankan tugas-tugas Rosul saw di Madinah.
Dan ketika Rosululloh saw wafat, beliau termasuk salah
seorang yang paling sibuk dalam pengurusan jenazah Rosululloh saw menuju ke
peristirahatannya di sisi Alloh swt. Sadar dan paham akan kedudukan ‘Ali yang begitu
tingginya di sisi Rosul saw inilah maka Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan
Ali dalam urusan-urusan yang penting, begitu pula Umar selalu mendengarkan
pendapat Ali sebelum menjalankan suatu kebijakan, itu semua dimotifasi adanya
rasa persaudaraan serta paham akan kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki
oleh Ali. Maka tidaklah benar apa yang selalu ditiup-tiupkan oleh kaum syi’ah
yang menganggap bahwa hubungan antara Ali dengan mereka tidaklah berjalan
dengan baik karena mereka, termasuk Abu Bakar telah merampas kekuasaan Ali
sebagai kholifatur rosul. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya adalah
shahabat-shahabat Rosululloh saw yang termasuk almubasysyaruuna bil jannah
(orang-orang yang dijamin masuk surga). Kenyataanpun menunjukkan bahwa Ali mau
ikut membai’at mereka meskipun agak terlambat, pemilihan kepala negara memang
membutuhkan pemikiran dan kitapun tahu bagaimana sulitnya pengangkatan seorang
kepala desa, apalagi seorang khalifah untuk ummat Islam seluruh dunia.
Pengangkatan Ali Sebagai Kholifah
Pengangkatan ‘Ali sebagai kholifah tidak seperti
pengangkatan kholifah yang lain, jika Abu Bakar diangkat dengan peristiwa di
Saqifah Bani Saidah, ‘Umar diangkat dengan wasiat Abu Bakar, dan ‘Utsman juga
diangkat dengan hasil syuro seperti yang diperintahkan oleh ‘Umar maka cerita
pengangkatan Ali sebagai kholifah adalah berbeda. Inilah muru’ah atau
fleksibilitas syariah Islam (selama tidak bertentangan dengan syari’at islam) dan
bukan berarti sebaliknya, islam tidak memiliki ajaran politik seperti yang
disampaikan oleh orang-orang sekuler.
Tatkala ‘Utsman bin ‘Affan wafat, yang mana waktu itu
para shahabat rosul banyak yang berada di luar Madinah, beberapa warga negara
yang termasuk kaum pemberontak berkeinginan untuk menyerahkan kekhalifahan kepada
‘Ali, hal ini dipelopori oleh Abdullah bin Saba’. shahabat Rosul yang berada di
madinah dan yang jumlahnya tidak banyak itu semula banyak yang ragu-ragu untuk
menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Ali, seperti yang dialami oleh Sa’d bin
Abi Waqqosh dan Abdullah bin Umar. dan akhirnya pembai’atan Ali bin Abi Tholib
terlaksana dengan suara mayoritas ummat islam (jumhur/ para shohabat
Rosululloh) waktu itu, khususnya para shahabat meskipun ada beberapa shahabat
yang agak terlambat membai’at ‘Ali. Adapun shahabat yang paling pertama
menyatakan bai’atnya kepada Ali adalah Tolhah, pembai’atan terhadap Ali ini
terjadi pada hari jumat 13 Dzulhijjah tahun 35 Hijriah.
Perjalanan Politik dan Pemerintahan Ali
Ali bin Abi Tholib, mendapati dirinya berada dalam posisi
yang sangat sulit, Utsman bin Affan terbunuh secara dzolim. Para pembunuhnya
masih berkeliaran dan menguasai kota Madinah, masyarakat merasakan kepedihan,
pilu bercampur marah, isu-isu berhembus dengan kencangnya, yang kadang kala
dianggap sebagai suatu kebenaran. Masyarakat berada dalam kebimbangan
menghadapi kenyataan dan peristiwa-peristiwa tersebut.
Setelah Utsman bin Affan terbunuh dan Ali bin Abi Tholib
dibai’at menjadi kholifah termasuk pekerjaan-pekerjaan politik yang dilakukan
pertama kali adalah memberhentikan aparat pemerintahan yang telah diangkat pada
masa ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau segera melakukan perombakan dan penggantian
gubernur-gubernur yang berada di wilayah-wilayah pada masa pemerintahan Utsman,
yang menyebabkan munculnya fitnah. Beliau mengganti para pejabat berdasarkan
ijtihad beliau, dengan perkiraan bahwa tindakan tersebut akan bisa memadamkan
api fitnah yang sudah mulai membesar. sikap ‘Ali memberhentikan para aparat
tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Sebagian Shahabat (seperti:
, Mughiroh bin Syu’bah serta Ibnu Abbas ) memberikan nasehat (telah
mengingatkan resiko tersebut) kepada Beliau, agar tidak melakukan pergantian
para pejabat-pejabat wilayah tersebut. namun Ali tetap berpegang pada
ijtihadnya itu. namun demikian pejabat pejabat (yang diberhentikan) itu
menerima keputusan Khalifah Ali bin Abi Tholib, yang mengganti mereka dengan
pejabat yang baru, kecuali Muawiyah bin Abi Sofyan yang memerintah di wilayah
Syam. Muawiyah enggan meletakkan jabatan. Muawiyah enggan meletakkan jabatan. walaupun
secara pribadi dia mengakui keutamaan dan kedudukan Ali, akan tetapi dia belum
mendapat kejelasan tentang proses pembai’atan terhadap Ali. Dia mempunyai
gambaran bahwa pembai’atan tersebut berlangsung dan terjadi di bawah tekanan
para pemberontak yang sekaligus para pembunuh Utsman. Hal ini karena jauhnya
jarak antara Madinah dan Syam, serta karena kesimpangsiuran berita yang sampai
kepadanya.
Adapun pekerjaan Ali yang lain adalah mengembalikan
beberapa tanah negara yang pernah diberikan kepada orang-orang dekat ‘Utsman
bin Affan.
Pekerjaan politik (yang dilakukan Ali) lainnya yaitu;
Beliau menunda hukuman bagi para pembunuh Utsman, sampai pemerintahannya kuat
dan Kaum muslimin yang berada di wilayah-wilayah lain memberikan dukungan penuh
kepadanya, karena para pemberontak masih terlalu kuat dan jumlahnya cukup
besar. Tidak mudah mengalahkan mereka, disamping mereka masih menguasai kota
madinah, dan selalu mengintervensi di setiap keputusan.
Apa yang dilakukan oleh Ali ini menyebabkan kemarahan
beberapa orang, bahkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak mau membai’at ataupun
mengikuti program-program Ali, Muawiyah sebagai keluarga Utsman justru menuntut
(mengajukan) kepada Ali agar menghakimi para terdakwa pembunuh ‘Utsman bin
Affan (terlebih dahulu). sedangkan Ali berpendapat penegakkan hukum terhadap
para terdakwa pembunuh Utsman harus ditangguhkan terlebih dahulu melihat
situasi dan kondisi waktu itu. Perbedaan Ijtihad antara Ali dengan Muawiyah
dalam mensikapi para pembunuh Utsman ini pada akhirnya menyebabkan cobaan dan
fitnah yang besar yaitu terjadinya peperangan yang disebut dengan Perang
Jamal antara dua kubu, yakni kubu Ali dengan kubu Umayyah, Tolhah dan Zubair.
lalu pecah pula perang Shiffin dan berbuntut lahirnya golongan Khowarij
(golongan orang-orang yang keluar dari taat terhadap imam yang ada).
Perang Jamal dan perang Shiffin adalah merupakan fitnah,
cobaan dan ujian bagi ummat Islam. Banyak orang-orang yang terjerumus ke dalam
dosa besar dengan mencaci maki para shahabat Rosul saw dalam mensikapi
peristiwa ini. bagi kita kaum ahlussunnah wal Jamaah harus pandai-pandai
mensikapi peristiwa yang merupakan cobaan dari Alloh swt. bagaimanapun kita
tetap berkeyakinan bahwa para shahabat Rosul saw termasuk dua kubu yang telah
berbeda pendapat yakni ‘Ali, Muawiyah, Tolhah, Zubair dan ‘Aisyah adalah
orang-orang yang lebih baik dari kita, sebagian mereka bahkan termasuk
almubasysyaruna bil jannah. itu semua semata-mata merupakan perbedaan ijtihad
antara dua pihak (dengan alasan mereka masing-masing berdasarkan hujjah dan
dalil yang mereka miliki, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan yang sangat fatal, pun tidak terjatuh kepada
tindakan-tindakan dan pencelaan terhadap harga diri para shahabat yang Alloh
sendiri telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka.) dan hanya Alloh swt
yang berhak untuk menghakimi mereka. peristiwa-peristiwa itu telah terjadi.
Peristiwa-peristiwa itu tidak akan menambah dan mengurangi kesempurnaan
syari’at Islam yang ada. Syari’at Alloh swt telah sempurna sejak sebelum
terjadinya peristiwa itu semua. Akhirnya untuk menghakimi semua itu kita
serahkan kepada Alloh swt, yang penting bagi kita adalah mengambil ibroh
(pelajaran) dari semua peristiwa itu. Dan hanya kepada Alloh lah kita memohon
petunjuk dan perlindungan dari segala kesalahan, baik yang kita sengaja maupun
tidak.
Khowarij dan Kematian Ali
Khowarij berasal dari khoroja yang artinya keluar.
khowarij adalah orang-orang yang keluar, yakni keluar dari ketaatan terhadap
Imam, jelasnya khowarij adalah kelompok yang tidak mau tunduk terhadap
pemerintahan/ kholifah yang ada. pada masa pemerintahan Ali ini muncul kelompok
khowarij dan mereka telah membuat suatu persekongkolan yang sangat jahat yaitu
untuk membunuh tiga orang shahabat Rosul saw yang menurut pendapat mereka (kaum
khowarij) adalah merupakan penyebab perpecahan ummat. Tiga orang shahabat Rosul
saw yang hendak dibunuh oleh mereka itu adalah Ali bin Abi Tholib, Muawiyah bin
Abi Sufyan dan Amru bin Ash. Dan benar Abdurrahman Ibnu Muljam yang diberi
tugas untuk membunuh Ali berhasil menusuk Ali dengan pedangnya ketika ‘Ali
hendak menjalankan sholat subuh di bulan Romadhon, dan wafatlah Ali pada tangal
17 Romadlon tahun 40 Hijriyah setelah memimpin Khilafah Islamiyah selama 4
tahun 9 bulan dalam keadaan yang serba sulit.
Sifat-Sifat Ali ra
Sekali lagi sebagai
pengikut Rosululloh saw yang baik, kita paara penganut Ahluss sunnah wal
jama’ah tetap berpendapat bahwa para shahabat yang pernah berbeda pendapat
tersebut tetap merupakan orang-orang yang lebih baik dari kita, dan kita tak
ada bandingannya di sisi mereka, maka di sini kita perlu mengetahui beberapa
sifat yang dimiliki oleh Ali ra agar kita tidak menilai negatif
kepemimpinannya, dimana beliau memimpin ummat Islam yang sedang sakit.
Ali ra mempunyai beberapa sifat terpuji yang tidak
dimiliki yang lainnya, Ali adalah orang yang dididik langsung oleh Rosululloh
saw sejak kecilnya, Ali adalah orang yang pertama kali masuk islam dari
golongan anak-anak, Ali adalah menantu Rosululloh saw, Ali ra adalah orang yang
pernah diberi tugas berat oleh Rosululloh saw untuk tidur di tempat tidur
Rosululloh saw ketika rosul hendak dibunuh di malam perjalanan menuju Hijrah ke
Madinah. Ali adalah Shahabat yang faqih karena dia telah belajar langsung dari
sumber Islam sejak kecilnya, Ali adalah sang pemberani yang tidak pernah
memperdulikan nyawanya dalam membela Islam seperti peristiwa malam hijrah dan
Ali adalah orang yang sangat fasih dalam tutur kata dan pidato-pidatonya,
semoga Alloh swt meridhoinya. Amiin...............
Referensi:
- Khulafaa an Nabi (Ali bin Abu Tholib), Dr. Abdul Mun’im al Haasyimi.
- Taarikh al Islam, Dr. Hasan Ibrohim Hasan
- Al-Hidayah, Tarbiyah agama Islam Terpadu, Team Manhaj ‘Ilmi LPD al Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar