07 Januari 2012

‘Ali bin Abi Tholib ra


Sejarah Kehidupannya

Nama kecilnya cukup singkat yaitu ‘Ali, yang dalam bahasa Arab berarti tinggi atau kuat. ‘Ali adalah putra dari pasangan Abu Tholib dengan Fatimah binti Asad, nama Ibunya sama dengan nama anak Rosululloh saw yang (anaknya rosululloh saw itu) akhirnya menjadi istrinya (‘Ali) yaitu Fatimah binti Muhammad saw. adapun nasabnya secara lebih lengkap adalah ‘Ali bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf. sedangkan nasab ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. (ingat, di dalam islam, nasab diambil dari jalur ayah). Dari kedua nasab itu pula kita tahu bahwa kedua orang tua ‘Ali masih ada hubungan kerabat dan masih satu kakek.

‘Ali dilahirkan pada tahun 10 sebelum bitsah. Oleh karena orang tua ‘Ali adalah termasuk keluarga yang tidak cukup ekonominya maka Rosululloh saw menawarkan kepada orang tua Ali untuk menjadikan Ali sebagai anak asuhnya, dan hal itu diterima oleh Abu Tholib, orang tua ‘Ali; bahkan untuk membantu meringankan beban orangtua ‘Ali, Abbas yang juga paman Rosululloh saw ikut menjadikan Ja’far saudara kandung Ali sebagai anak asuhnya. dan oleh karena Rosul saw adalah menjadi pengasuhnya maka wajar sekali jika ‘Ali merupakan salah seorang yang berpredikat assabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama masuk islam).

Sebagaimana Rosululloh saw telah membantu ‘Ali, dan juga karena kualitas tarbiyahnya yang langsung ditangani oleh Rosululloh saw dengan ajaran islam yang merasuk ke dada Ali bin Abi Tholib, maka perjuangan ‘Ali dalam membela Rosululloh saw juga terbaca begitu kuatnya. Maka ketika Rosululloh saw dikepung oleh orang-orang kafir dan beliau hendak berangkat hijrah menuju ke Madinah, ‘Ali bin Abi Tholib inilah yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk tidur di tempat tidur Rosululloh saw guna mengelabui orang-orang kafir. Dan benar perasaan orang-orang kafir begitu kesal ketika mereka tahu bahwa yang tidur di tempat itu adalah ‘Ali dan bukan Rosululloh saw.
begitulah hubungan baik Rosululloh saw dengan ‘Ali ra, maka dua tahun setelah perjalanan hijrah yang menegangkan itu Rosululloh saw memberikan kehormatan terhadap Ali, yaitu menikahkan ‘Ali dengan putrinya yang bernama Fatimah binti Muhammad saw. dari perkawinan Ali dengan Fatimah inilah lahir dua orang cucu laki-laki Rosululloh saw yang sangat terkenal yaitu Hasan dan Husain. Selain itu ‘Ali juga mengikuti seluruh gozwah, peperangan yang diikuti oleh Rosululloh saw secara langsung, kecuali hanya perang Tabuk, itupun karena Rosululloh saw  memberikan tugas kepadanya untuk menjalankan tugas-tugas Rosul saw di Madinah.

Dan ketika Rosululloh saw wafat, beliau termasuk salah seorang yang paling sibuk dalam pengurusan jenazah Rosululloh saw menuju ke peristirahatannya di sisi Alloh swt. Sadar dan paham akan kedudukan ‘Ali yang begitu tingginya di sisi Rosul saw inilah maka Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan Ali dalam urusan-urusan yang penting, begitu pula Umar selalu mendengarkan pendapat Ali sebelum menjalankan suatu kebijakan, itu semua dimotifasi adanya rasa persaudaraan serta paham akan kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Ali. Maka tidaklah benar apa yang selalu ditiup-tiupkan oleh kaum syi’ah yang menganggap bahwa hubungan antara Ali dengan mereka tidaklah berjalan dengan baik karena mereka, termasuk Abu Bakar telah merampas kekuasaan Ali sebagai kholifatur rosul. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya adalah shahabat-shahabat Rosululloh saw yang termasuk almubasysyaruuna bil jannah (orang-orang yang dijamin masuk surga). Kenyataanpun menunjukkan bahwa Ali mau ikut membai’at mereka meskipun agak terlambat, pemilihan kepala negara memang membutuhkan pemikiran dan kitapun tahu bagaimana sulitnya pengangkatan seorang kepala desa, apalagi seorang khalifah untuk ummat Islam seluruh dunia.


Pengangkatan Ali Sebagai Kholifah

Pengangkatan ‘Ali sebagai kholifah tidak seperti pengangkatan kholifah yang lain, jika Abu Bakar diangkat dengan peristiwa di Saqifah Bani Saidah, ‘Umar diangkat dengan wasiat Abu Bakar, dan ‘Utsman juga diangkat dengan hasil syuro seperti yang diperintahkan oleh ‘Umar maka cerita pengangkatan Ali sebagai kholifah adalah berbeda. Inilah muru’ah atau fleksibilitas syariah Islam (selama tidak bertentangan dengan syari’at islam) dan bukan berarti sebaliknya, islam tidak memiliki ajaran politik seperti yang disampaikan oleh orang-orang sekuler.

Tatkala ‘Utsman bin ‘Affan wafat, yang mana waktu itu para shahabat rosul banyak yang berada di luar Madinah, beberapa warga negara yang termasuk kaum pemberontak berkeinginan untuk menyerahkan kekhalifahan kepada ‘Ali, hal ini dipelopori oleh Abdullah bin Saba’. shahabat Rosul yang berada di madinah dan yang jumlahnya tidak banyak itu semula banyak yang ragu-ragu untuk menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Ali, seperti yang dialami oleh Sa’d bin Abi Waqqosh dan Abdullah bin Umar. dan akhirnya pembai’atan Ali bin Abi Tholib terlaksana dengan suara mayoritas ummat islam (jumhur/ para shohabat Rosululloh) waktu itu, khususnya para shahabat meskipun ada beberapa shahabat yang agak terlambat membai’at ‘Ali. Adapun shahabat yang paling pertama menyatakan bai’atnya kepada Ali adalah Tolhah, pembai’atan terhadap Ali ini terjadi pada hari jumat 13 Dzulhijjah tahun 35 Hijriah.


Perjalanan Politik dan Pemerintahan Ali

Ali bin Abi Tholib, mendapati dirinya berada dalam posisi yang sangat sulit, Utsman bin Affan terbunuh secara dzolim. Para pembunuhnya masih berkeliaran dan menguasai kota Madinah, masyarakat merasakan kepedihan, pilu bercampur marah, isu-isu berhembus dengan kencangnya, yang kadang kala dianggap sebagai suatu kebenaran. Masyarakat berada dalam kebimbangan menghadapi kenyataan dan peristiwa-peristiwa tersebut.

Setelah Utsman bin Affan terbunuh dan Ali bin Abi Tholib dibai’at menjadi kholifah termasuk pekerjaan-pekerjaan politik yang dilakukan pertama kali adalah memberhentikan aparat pemerintahan yang telah diangkat pada masa ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau segera melakukan perombakan dan penggantian gubernur-gubernur yang berada di wilayah-wilayah pada masa pemerintahan Utsman, yang menyebabkan munculnya fitnah. Beliau mengganti para pejabat berdasarkan ijtihad beliau, dengan perkiraan bahwa tindakan tersebut akan bisa memadamkan api fitnah yang sudah mulai membesar. sikap ‘Ali memberhentikan para aparat tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Sebagian Shahabat (seperti: , Mughiroh bin Syu’bah serta Ibnu Abbas ) memberikan nasehat (telah mengingatkan resiko tersebut) kepada Beliau, agar tidak melakukan pergantian para pejabat-pejabat wilayah tersebut. namun Ali tetap berpegang pada ijtihadnya itu. namun demikian pejabat pejabat (yang diberhentikan) itu menerima keputusan Khalifah Ali bin Abi Tholib, yang mengganti mereka dengan pejabat yang baru, kecuali Muawiyah bin Abi Sofyan yang memerintah di wilayah Syam. Muawiyah enggan meletakkan jabatan. Muawiyah enggan meletakkan jabatan. walaupun secara pribadi dia mengakui keutamaan dan kedudukan Ali, akan tetapi dia belum mendapat kejelasan tentang proses pembai’atan terhadap Ali. Dia mempunyai gambaran bahwa pembai’atan tersebut berlangsung dan terjadi di bawah tekanan para pemberontak yang sekaligus para pembunuh Utsman. Hal ini karena jauhnya jarak antara Madinah dan Syam, serta karena kesimpangsiuran berita yang sampai kepadanya.

Adapun pekerjaan Ali yang lain adalah mengembalikan beberapa tanah negara yang pernah diberikan kepada orang-orang dekat ‘Utsman bin Affan.

Pekerjaan politik (yang dilakukan Ali) lainnya yaitu; Beliau menunda hukuman bagi para pembunuh Utsman, sampai pemerintahannya kuat dan Kaum muslimin yang berada di wilayah-wilayah lain memberikan dukungan penuh kepadanya, karena para pemberontak masih terlalu kuat dan jumlahnya cukup besar. Tidak mudah mengalahkan mereka, disamping mereka masih menguasai kota madinah, dan selalu mengintervensi di setiap keputusan.

Apa yang dilakukan oleh Ali ini menyebabkan kemarahan beberapa orang, bahkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak mau membai’at ataupun mengikuti program-program Ali, Muawiyah sebagai keluarga Utsman justru menuntut (mengajukan) kepada Ali agar menghakimi para terdakwa pembunuh ‘Utsman bin Affan (terlebih dahulu). sedangkan Ali berpendapat penegakkan hukum terhadap para terdakwa pembunuh Utsman harus ditangguhkan terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi waktu itu. Perbedaan Ijtihad antara Ali dengan Muawiyah dalam mensikapi para pembunuh Utsman ini pada akhirnya menyebabkan cobaan dan fitnah yang besar yaitu terjadinya peperangan yang disebut dengan Perang Jamal antara dua kubu, yakni kubu Ali dengan kubu Umayyah, Tolhah dan Zubair. lalu pecah pula perang Shiffin dan berbuntut lahirnya golongan Khowarij (golongan orang-orang yang keluar dari taat terhadap imam yang ada).

Perang Jamal dan perang Shiffin adalah merupakan fitnah, cobaan dan ujian bagi ummat Islam. Banyak orang-orang yang terjerumus ke dalam dosa besar dengan mencaci maki para shahabat Rosul saw dalam mensikapi peristiwa ini. bagi kita kaum ahlussunnah wal Jamaah harus pandai-pandai mensikapi peristiwa yang merupakan cobaan dari Alloh swt. bagaimanapun kita tetap berkeyakinan bahwa para shahabat Rosul saw termasuk dua kubu yang telah berbeda pendapat yakni ‘Ali, Muawiyah, Tolhah, Zubair dan ‘Aisyah adalah orang-orang yang lebih baik dari kita, sebagian mereka bahkan termasuk almubasysyaruna bil jannah. itu semua semata-mata merupakan perbedaan ijtihad antara dua pihak (dengan alasan mereka masing-masing berdasarkan hujjah dan dalil yang mereka miliki, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang sangat fatal, pun tidak terjatuh kepada tindakan-tindakan dan pencelaan terhadap harga diri para shahabat yang Alloh sendiri telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka.) dan hanya Alloh swt yang berhak untuk menghakimi mereka. peristiwa-peristiwa itu telah terjadi. Peristiwa-peristiwa itu tidak akan menambah dan mengurangi kesempurnaan syari’at Islam yang ada. Syari’at Alloh swt telah sempurna sejak sebelum terjadinya peristiwa itu semua. Akhirnya untuk menghakimi semua itu kita serahkan kepada Alloh swt, yang penting bagi kita adalah mengambil ibroh (pelajaran) dari semua peristiwa itu. Dan hanya kepada Alloh lah kita memohon petunjuk dan perlindungan dari segala kesalahan, baik yang kita sengaja maupun tidak.


Khowarij dan Kematian Ali

Khowarij berasal dari khoroja yang artinya keluar. khowarij adalah orang-orang yang keluar, yakni keluar dari ketaatan terhadap Imam, jelasnya khowarij adalah kelompok yang tidak mau tunduk terhadap pemerintahan/ kholifah yang ada. pada masa pemerintahan Ali ini muncul kelompok khowarij dan mereka telah membuat suatu persekongkolan yang sangat jahat yaitu untuk membunuh tiga orang shahabat Rosul saw yang menurut pendapat mereka (kaum khowarij) adalah merupakan penyebab perpecahan ummat. Tiga orang shahabat Rosul saw yang hendak dibunuh oleh mereka itu adalah Ali bin Abi Tholib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amru bin Ash. Dan benar Abdurrahman Ibnu Muljam yang diberi tugas untuk membunuh Ali berhasil menusuk Ali dengan pedangnya ketika ‘Ali hendak menjalankan sholat subuh di bulan Romadhon, dan wafatlah Ali pada tangal 17 Romadlon tahun 40 Hijriyah setelah memimpin Khilafah Islamiyah selama 4 tahun 9 bulan dalam keadaan yang serba sulit.


Sifat-Sifat Ali ra

Sekali lagi  sebagai pengikut Rosululloh saw yang baik, kita paara penganut Ahluss sunnah wal jama’ah tetap berpendapat bahwa para shahabat yang pernah berbeda pendapat tersebut tetap merupakan orang-orang yang lebih baik dari kita, dan kita tak ada bandingannya di sisi mereka, maka di sini kita perlu mengetahui beberapa sifat yang dimiliki oleh Ali ra agar kita tidak menilai negatif kepemimpinannya, dimana beliau memimpin ummat Islam yang sedang sakit.

Ali ra mempunyai beberapa sifat terpuji yang tidak dimiliki yang lainnya, Ali adalah orang yang dididik langsung oleh Rosululloh saw sejak kecilnya, Ali adalah orang yang pertama kali masuk islam dari golongan anak-anak, Ali adalah menantu Rosululloh saw, Ali ra adalah orang yang pernah diberi tugas berat oleh Rosululloh saw untuk tidur di tempat tidur Rosululloh saw ketika rosul hendak dibunuh di malam perjalanan menuju Hijrah ke Madinah. Ali adalah Shahabat yang faqih karena dia telah belajar langsung dari sumber Islam sejak kecilnya, Ali adalah sang pemberani yang tidak pernah memperdulikan nyawanya dalam membela Islam seperti peristiwa malam hijrah dan Ali adalah orang yang sangat fasih dalam tutur kata dan pidato-pidatonya, semoga Alloh swt meridhoinya. Amiin...............

Referensi:
  1. Khulafaa an Nabi (Ali bin Abu Tholib), Dr. Abdul Mun’im al Haasyimi.
  2. Taarikh al Islam, Dr. Hasan Ibrohim Hasan
  3. Al-Hidayah, Tarbiyah agama Islam Terpadu, Team Manhaj ‘Ilmi LPD al Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar