07 Agustus 2009

Ada Apa di Bulan Sya’ban?

Jika kita perhatikan, di setiap tanggal 15 Sya`ban, kita akan melihat banyak orang yang berbondong-bondong ke masjid-masjid yang berada ditempat masing-masing, mereka membawa satu buku yang didalamnya berisi surat Yasin dan surat-surat tertentu lainnya sambil membawa air dalam botol, kendi bahkan ada juga yang membawa air dalam galon. Apa yang akan mereka lakukan di masjid dan untuk apa mereka membawa air? Tentunya kita sudah faham bahwa mereka akan mengadakan ritual “Malam Nishfu Sya`ban”.

Malam Nishfu Sya`ban adalah malam yang mereka yakini memiliki kedudukan khusus disisi Allah sehingga mereka menghidupkannya dengan berkumpul untuk dzikir, berdo`a, membaca surat tertentu, biasanya Yasin. Mereka berkumpul di masjid setelah shalat Maghrib untuk melaksanakan shalat khusus (Shalat Nishfu Sya`ban) kemudian membaca surat Yasin dengan suara keras kemudian mereka membaca do`a Nishfu Sya`ban (meskipun dengan tidak benar bacaannya) mereka mengulang-ulang hal itu tiga kali. Pertama meminta dengan niat panjang umur, yang kedua dengan niat tolak bala, yang ketiga dengan niat merasa cukup dari orang lain (untuk kaya), mereka meyakini bahwa orang yang tidak ikut, dia diancam pendek umurnya, banyak musibah yang menimpanya dan akan selalu membutuhkan orang lain, dalam artian selalu miskin. Adapun air yang mereka bawa diletakkan ditengah-tengah para jama`ah untuk mendapatkan khasiat atau keberkahan dari apa yang dibaca oleh para jama`ah terutama dari para kyainya.

Diantara isi do`a mereka itu adalah meminta kepada Allah agar menghapus semua nasib jeleknya yang termaktub di dalam ummul kitab dan menggantikannya dengan nasib yang baik, mereka beralasan dengan firman Allah, yang artinya :
“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh mahfuzh)”. {Qs. Ar-Ra`du (13) : 39}.

Ini merupakan pemalingan dan penyelewengan dari makna ayat yang sebenarnya, karena sebenarnya ayat ini menjelaskan bahwa Allah menghapus hukum-hukum syariat ummat terdahulu yang tidak sesuai dengan kemampuan ummat sesudahnya (umat Rasulullah), dan menjelaskan bahwa pokok-pokok ajaran yang selalu pasti dibutuhkan oleh semua umat (seperti tauhid, kebangkitan, kerasulan, pengharaman hal-hal yang keji) tidak dirubah dan itu disebut ummul kitab Al Ilahy yang tidak mungkin ada perubahan atau perombakan. Jadi ayat itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal atau nasib yang terjadi di alam ini. Oleh sebab itu do`a ini bukan pada tempatnya, bahkan termasuk dalam hal yang melampaui batas dalam berdo`a, dan ini dilarang. Sebagaimana firmannya, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (dalam berdo`a). {Qs. Al-A`raf (7) : 55}.

Adapun sebab kenapa mereka menganggap lailah Nisfi Sya’ban (malam Nishfu Sya’ban) sesuatu yang istimewa adalah karena salah pemahaman dari ayat pertama surat ad Dukhan, Juga karena berpegang pada hadits palsu.

Adapun ayat surat ad-Dukhan adalah firman-Nya, (yang artinya) :“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabb-mu, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. {Qs. Ad Dukhan (44) : 3-6}.

Mereka beranggapan bahwa Lailah Mubarakah (malam yang penuh berkah) itu adalah malam Nishfu Sya’ban, sehingga mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Dan anggapan itu sangat salah sekali, bertentangan dengan konteks ayat dan juga bertentangan dengan ayat-ayat lain. Yang benar menurut konteks ayat dan sesuai dengan ayat-ayat lain adalah bahwa Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Ayat-ayat itu adalah salah satu dari tiga ayat yang berbicara tentang turunnya Al Qur’an juga tentang waktunya. Adapun ayat yang kedua adalah, (yang artinya) : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an dimalam (Lailatul Qadar). {Qs. Al Qadr (97) : 1} dan ayat ketiga menjelaskan bahwa itu di bulan Ramadhan: artinya, “Adalah bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an”. {Qs. Al Baqa-rah (2) : 185}. Jadi Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadr yang ada di bulan Ramadhan, malam itu disebut malam yang penuh berkah (Lailah Mubarakah) sebagaimana kitab suci Al Qur’an dinamai atau disifati Kitab yang diberkahi (Mubarak). Artinya: “Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi”. {Qs. Al An’am (6) : 92}. Jadi bukan pada tempatnya menjadikan ayat itu sebagai dalil untuk mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah tertentu.

Ibnu Katsir Asy Syafi’i, berkata: “Dan orang yang mengatakan bahwa itu adalah malam nishfu Sya’ban sungguh telah terlalu jauh (menyimpang dari kebenaran)” [Tafsir Ibnu Katsir 4/167]. Dan adapun hadits yang mereka jadikan dalil adalah:

Hadits ini adalah hadits maudhu (palsu) diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abdurrazaq dari Abu Bakar Ibnu Abdillah Ibnu Abi Sabrah, Ibnu Main dan Imam Ahmad mengatakan: Dia (Abu Bakar ibnu Abdillah...) suka membuat “Hadits Palsu”. An Nasa’i mengatakan dia itu matruk. [lihat ta’liq Al-‘Itisham oleh Rasyid Ridha 1/39].

Jadi jelas sekali apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin di Nishfu Sya’ban adalah Bid’ah Munkarah yang tak punya dasar. Imam Asy Syathiby Al-Andalusy mengatakan, “Dan diantara hal yang bid’ah adalah rutin melakukan ibadah tertentu diwaktu tertentu yang tidak pernah ada penentuan (waktu atau malam) nya dari syari’ah seperti (mengkhususkan puasa dipertengahan bulan Sya’ban dan beribadah dimalamnya”. [Al ‘Itisham 1/39].

Adakah Shalat Nishfu Sya’ban?
Syaikh Mahmud Syaltut (Rektor Al Azhar), mengatakan: “Adapun khusus malam Nishfu Sya’ban dan kumpul-kumpul untuk menghidupkannya dan mengadakan shalat khusus di malam itu serta berdo’a dengan do’a (khusus) semuanya tidak bersumber sedikitpun dari Nabi. Dan tak pernah dikatakan (dan dikenal) oleh seorangpun di masa-masa awal (Islam)” (Al -Fatawa: 191).

Yang ada dari Rasulullah adalah banyak berpuasa di bulan itu untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan tanpa membedakan hari-hari tertentu.

Ini adalah hal yang berkaitan dengan apa yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita yang mengaku bermadzhab Syafi’i, namun amalan dan perbuatan mereka sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka anut, bahkan para kiyai dan orang yang mengaku tokoh sekalipun.

Dalam kaitan ini dirasa perlu mendudukkan ulang keberadaan Shalat Nishfu Sya’ban, yang oleh sementara orang masih diyakini sebagai amalan istimewa dibulan Sya’ban.

A. Raka’at dan sifatnya
Dari riwayat-riwayat yang ditemukan yang masih harus kita lihat keabsahannya dapat disimpulkan bahwa jumlah raka’at dan sifat Shalat Nishfu Sya’ban adalah sebagai berikut: Pertama: 12 raka’at, pada setiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali.; Kedua: 13 raka’at, pada setiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali.; Ketiga: 100 raka’at, dengan membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas 10 kali setiap raka’at.

B. Riwayat-riwayat yang mendasari Shalat Nishfu Sya’ban

“Barangsiapa shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban sebanyak 12 raka’at, yang pada tiap raka’atnya membaca surah al-Ikhlas 30 kali (al-Jauzaqanie, Kitabul Maudhu’at II:129).

“Barangsiapa shalat pada malam Nishfu Sya’ban 13 raka’at dengan membaca surah al-Ikhlas sebanyak 30 kali pada setiap raka’atnya, niscaya ia akan disyafa’ati (Al-Asrar al-Marfu’ah fil-Akhbar al-Maudhu’ah 462).

“Wahai Ali, barangsiapa shalat pada malam Nishfu Sya’ban 100 raka’at dengan membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas 10 kali pada setiap raka’at, tidak lain melainkan Allah akan memenuhi semua hajat keperluannya (Al-Fawaid al-Majmu’ah 51, al-Maudhu’at II:129).
Tiga riwayat ini yang sering dibawa-bawa untuk mendasari amalan-amalan yang dianggapnya benar itu.

C. Keabsahan riwayat-riwayatnya
Riwayat pertama : ini masuk dalam kategori Maudhu’ (palsu), sedang rawi-rawinya disamping banyak yang majhul, ada pula yang Dha’if yaitu Baqiyyah bin al-Walid bin Shaid bin Ka’ab al-Kala’i dan Laits bin Abi Sulaim (al-Maudhu’at II:129).

Sebab kelemahan keduanya:
a. Baqiyyah bin al-Walid bin Shaid bin Ka’ab al-Kala’i; Dia memang orang yang Shaduq, hanya saja ia banyak Tadlis dari orang-orang Dha’if.
b. Laits bin Sulaim; Dia orang yang Shaduq, hanya saja dia sangat kacau sehingga tidak dapat dibedakan haditsnya, maka akhirnya dia ditinggalkan. Imam Ahmad menyatakan bahwa dia termasuk orang yang goncang haditsnya. Kata Yahya dan Nasa’i : Dia adalah Dha’if (Mizanul I’tidal III:420, dan Taqribut Tahdzib 464).

Riwayat kedua : ini juga maudhu’. Dalam Al-Asrar al-Marfu’ah fil Akhbar al-Maudhu’ah 462 dinyatakan bahwa Shalat Nishfu Sya’ban ini diada-adakan setelah 400 tahun dan berkembang dari Baitul Maqdis, baru kemudian dibuat beberapa hadits tentang shalat Nishfu Sya’ban, yang diantaranya adalah riwayat ini.

Riwayat ketiga : ini juga Maudhu’. Dalam al-Fawaid al-Majmu’ah 51,52, dikomentari bahwa hadits (riwayat) tentang Shalat Nishfu Sya’ban adalah bathil semua. Didalam sanad riwayat ini disamping banyak rawinya Majhul, ada juga rawi-rawinya yang dhaif. (Kitabul Maudhu’at II:129, dan al-Fawaid 51,52).

Melihat keterangan diatas nyata bagi kita bahwa riwayat-riwayat yang mendasari adanya Shalat Nishfu Sya’ban adalah Maudhu’ alias Palsu.

D. Kesimpulan dan Hukum
Semua riwayatnya Maudhu’, karena itu melaksanakan Shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang tercela (Baca I’anatuth Thalibin 1:270).
An-Nawawi menegaskan: Shalat Rajab dan Nishfu Sya’ban adalah dua hal yang bid’ah, yang munkar lagi jelek (buruk) (as-Sunan wal-Mubtada’at 93).
Sebagai penutup dari pembahasan ini, mungkin diantara pembaca ada yang merasa tersinggung bahkan kesal dengan adanya tulisan ini, namun perlu diketahui kami hanya bisa menyampaikan apa yang kami ketahui berupa kebenaran, terlepas dari menerima atau tidaknya para pembaca semuanya.

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling Sesungguhnya kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” {Qs. At Taghabun (64) : 12}.

Dan kami hanya bisa berdo`a semoga Allah SWT memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada kita semua; yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia serta semoga Allah memberikan kemampuan untuk mengamalkannya. Aamiin.....

Referensi :
  1. Buletin Al-Huda;
  2. Fiqh Ibadat, Ibnu Arham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar