Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khalifah
rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman
bunga yang indah. Kisah hidup mengagumkan laksana taman yang harum
semerbak, di mana pun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang
sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat
rasanya.
Meski kami tak sanggung memaparkan seluruh perjalanan hidup
beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik
setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai
lentera. Karena “mala yudraku kulluhu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak
bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Saya mengajak Anda untuk berbagi cerita tentang Umar bin
Abdul Aziz dalam tiga peristiwa. Adapun peristiwa yang lain akan saya lanjutkan
pada kitab selanjutnya jika Allah memberi kemudahan, insyaAllah.
Pada edisi yang lalu, telah kita bahas kisah/ peristiwa
pertama. Dan pada edisi kali ini merupakan peristiwa beliau selanjutnya
diantara sekian banyak kisah perjalanan hidup beliau.
Kisah kedua dalam kehidupan Umar bin Abdul Aziz diangkat
sebagai khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur
beliau di Shugdi yang isinya, “Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk menjamu
kaum muslimin. Jika salah seorang diantara mereka lewat, maka jamulah ia sehari
semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan
kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan
bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada
penolong baginya dan tidak ada kendaraan yang bisa ditunggangi, maka berikanlah
kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat
asalnya.”
Gubernur Sulaiman segera melaknsanakan titah amirul
mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul
mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di
segala penjuru. Orang-orang di belahan bumi Islam di Barat dan di Timur ramai
membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan khalifah.
Hingga sampai pula kabar itu kepada penduduk Samarkand.
Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman
bin As-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama Qutaibah bin
Muslim Al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa mendakwahi kami terlebih
dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin-
yakni menawarkan pilihan sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru
musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian
menyuruh mereka untuk membayar jizyah, jika mereka menolaknya baru kalian
memberikan ultimatum perang.
Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan
ketakwaannya. Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian
kepada kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah dilakukan
salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka ijinkanlah wahai amir
agar salah satu di antara kami melaporkan hal itu kepada khalifah Anda untuk
mengadukan kezhalimah yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak
untuk itu maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang
kembali ke asal kami.”
Gubernur Sulaiman mengijinkan salah satu di antara mereka
menjadi duta untuk menemui khalifah di Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai
di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah muslimin Umar
bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk gubernur Sulaiman bin As-Sari
yang antara lain berisi:
“Amma ba’du..Jika surat saya ini tela sampai kepada Anda,
maka tunjuklah seorang qadhi untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari
aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka,
maka perintahkanlah kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan
kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang telah tinggal bersama mereka untuk
segera kembali ke negeri mereka. Lalu pulihkanlah situasi seperti semula
sebagaimana tatkala kita belum memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim
Al-Bahili masuk ke negeri mereka.”
Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat
sarat dari amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang
qadhi yang terkemuka yang bernama Jumai’ bin Hadhir An-Naaji. Beliau segera
mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal ihwal
mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan
pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk
Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.
Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh
pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke
markas-markas mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang
lain. Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan
mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk
menaklukkan mereka.
Tatkala para pembesar mendengar keputusan sang qadhi yang
memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain,
“Celaka kalian, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan
tinggal bersama mereka, sedangkan kalian mengetahui kepribadian, keadilan
dan kejujuran mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap
tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian
tinggal bersama mereka.”
Tinggallah peristiwa yang ketiga yang dialami oleh Umar bin
Abdul Aziz. Kisah ini dikisahkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam
kitabnya yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin
Abdul Aziz). Beliau berkata:
“Menjelang wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik
dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda
mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan
kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda.’ Ketika dia telah
selesai berbicara, Umar berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” maka mereka pun
mendudukkan beliau, lalu beliau berkata, “Sungguh aku mendengar apa yang
Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi
anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak
menghalangi sesuatu yang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan
harta yang memang bukan hak mereka. Adapun yang kau katakan, “alangkah
baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara
keluarga Anda (untuk menanggung) anak-anak Anda”, maka sesungguhnya wasiatku
untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar,
Dia-lah yang melindungi orang-orang shaleh. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku
hanyalah satu diantara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan
bertakwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia
menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang
berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang
yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada Allah.” Setelah
itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah
belasan anak. Begitu melihat mereka meneteslah air mata beliau seraya berkata,
“Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” Beliau
menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai
anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak.
Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka
melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya
di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan
namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu
masuk surga. Saya percaya bila kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat
dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang
seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah
kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian…” Lalu Maslamah menoleh
kepada beliau dan berkata:
Maslamah, “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu
wahai amirul mukminin!” Umar, “Apakah itu wahai Maslamah?” Maslamah, “Saya
memiliki 300.000 dinar…saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah untuk
mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki.” Umar, “Apakah engkau ingin
yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?” Maslamah, “Apakah itu
wahai amirul mukminin?” Umar, “Engkau kembalikan dari siapa barang itu diambil,
karena kamu tidak memiliki atas barang tersebut.”
Maka meneteslah air mata Maslamah seraya berkata, Maslamah, “Semoga Allah merahmati Anda wahai
amirul mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda
melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara
kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang
anak-anak Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di
antara mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah
Ta’ala:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.”
Diadaptasi
dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka
Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009),
hlm. 219-228.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar