Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khalifah
rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman
bunga yang indah. Kisah hidup mengagumkan laksana taman yang harum
semerbak, di mana pun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang
sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat
rasanya.
Meski kami tak sanggung memaparkan seluruh perjalanan hidup
beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik
setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai
lentera. Karena “mala yudraku kulluhu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak
bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Saya mengajak Anda untuk berbagi cerita tentang Umar bin
Abdul Aziz dalam tiga peristiwa. Adapun peristiwa yang lain akan saya lanjutkan
pada kitab selanjutnya jika Allah memberi kemudahan, insyaAllah.
Kisah pertama yang mengesankan diriwayatkan oleh Salamah bin
Dinar, seorang alim di Madinah, qadhi dan syaikh penduduk Madinah. Beliau
menuturkan kisahnya, suatu ketika aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul
Aziz tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama
saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di depan
pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau lagi lantaran
banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan dengan tatkala betemu
dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau menjadi gubernur di sana. Beliau
menyambut kedatanganku dan berkata:
Umar, “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”
Aku, (Akupun mendekat), “Bukankah Anda amirul mukminin Umar
bin Abdul Aziz?”
Umar, “Benar!”
Aku, “Apa yang menyebabkan Anda berubah? Bukankah wajah
dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”
Umar, “Begitulah, aku memang telah berubah!”
Aku, “Lantas apa yang menyebabkan Anda berubah padahal
Anda telah menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul
mukminin?”
Umar, “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu
Hazim?”
Aku, “Tubuh begitu kurus dankering, kulit Anda yang menjadi
kasar dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup.”
Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata:
Umar, “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga
hari aku di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku…perutku
telah terburai isinya…ulat-ulat tanah menggrogoti sekujur badanku dengan
lahapnya. Sungguh jika engkau melihatku ketika itu wahai Abu Hazim,
tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda tentang suatu
hadits yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku, “Saya telah menyampaikan banyak hadits wahai amirul
mukminin, lantas hadits manakah yang Anda maksud?”
Umar, “Yakni hadits yang diriwayatka oleh Abu Hurairah.”
Aku, “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”
Umar, “Ulangilah hadits itu untukku, karena saya ingin
mendengarnya dari Anda!”
Aku, “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar
rintangan yang terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya
dengan selamat melainkan orang yang kuat’.”
Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengarukan, saya
khawatir jika tangisan itu memecahkan hatinya. Kemudian beliau mengusap air
matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurkan wahai
Abu Hazim bila aku berleha-leha mendaki rintangan yang terjal tersebut sehingga
aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika tidak mampu menempuhnya.”
Diadaptasi
dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka
Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009),
hlm. 219-228.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar