Jahiliyah berasal dari kata Al
Jahlu (الجهل ) yang berarti bodoh. Ketika menerangkan arti bahasa dari Al
Jahlu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :
“Al Jahlu adalah tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu. Barangsiapa
yang tidak mengetahui Al Haq (kebenaran), maka orang itu Jahil Basith
(sederhana), sedangkan jika berkeyakinan menyalahi Al Haq (kebenaran) maka orang
itu Jahil Murakkab (bertingkat). Demikian pula orang yang beramal menyalahi Al
Haq (kebenaran), maka diapun jahil, sekalipun dia mengetahui bahwa dirinya
menyalahi kebenaran.” (Baca : Kitab “Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim
Mukhalifah Ashhab Al Jahim, Tahqiq : Asy Syeikh Muhammad Hamid Al Faqi, Hal :
77-78)
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan bahwa
Jahiliyah adalah :
“Kondisi yang dialami bangsa Arab sebelum Islam berupa kejahilan kepada
Allah, Rasul-rasulNya, Syari`at Ad Dien, berbangga-bangga dengan keturunan,
takabbur, sombong dan lain-lain yang dikaitkan dengan kejahilan yang berarti
tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu”.
(Baca ” Kitab At Tauhid”, Hal : 23)
(Baca ” Kitab At Tauhid”, Hal : 23)
Dari perkataan beliau Jahiliyah
dapat dikaitkan dari 2 sisi, yaitu :
1. Sisi Masa / zaman yaitu kondisi bangsa Arab pra
Islam, tentu saja, jika demikian masa ini telah berakhir dengan diutusnya
Rasulullah Saw. Akan tetapi, perlu difahami bahwa masa atau zaman mengandung
karakteristik atau peristiwa yang terkandung di dalamnya yang bisa menjadi
ukuran bagi zaman atau masa yang lain. Untuk itu sisi Jahiliyah yang kedua
adalah :
2. Sisi Karakteristik (Sifat-sifat atau peristiwa
yang terjadi di dalamnya). Sisi ini tidak akan berakhir dengan berakhirnya
bangsa Arab atau setelah diutusnya Rasulullah Saw, karena dia bisa terjadi dan
dapat dimiliki oleh zaman manapun, bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh bangsa
manapun atau pribadi manapun, termasuk siapa saja di antara kita yang mengaku
muslim.
Sisi karakteristik inilah yang dijelaskan oleh
Muhammad Quthb tentang arti Jahiliyah dalam Al Qur`an Al Karim. Beliau
mengungkapkan “Di dalam Al Qur`an Al Karim lafadz Jahiliyah memiliki makna
khusus atau secara hakiki memiliki 2 makna terbatas yaitu :
1.
Jahil terhadap hakekat dan karakteristik Uluhiyah, dan
2. Bersikap hidup tanpa memiliki ikatan Rabbani atau
dengan kata lain tidak mengikuti ajaran yang diturunkan oleh Allah.”
Kata-kata Dr. Shalih Fauzan
“kejahilan kepada Allah…” hingga akhirnya merupakan gambaran karakteristik
jahiliyah yang tidak dapat lepas dari 2 unsur pokok yang disebutkan oleh
Muhammad Quthb tersebut. Terlebih lagi beliau memberikan sejumlah bukti dalam
Al Qur`an dan As Sunnah yang menjelaskan hal itu, di antaranya beliau mengutip
firman Allah Swt :
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah
mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani
Israil berkata:”Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana
mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab “Sesungguhnya kamu ini
adalah kaum yang jahil (terhadap sifat-sifat Ilah)”. (Qs. 6: 103)
Jahil yang dimaksud dalam ayat
ini adalah tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah. Karena, seandainya mereka
mengetahui bahwa Allah Ta`ala:
- Tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (QS. 6: 103)
- Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS.42:11)
- Pencipta segala sesuatu (QS. 6: 102) dan bukan makhluk
- serta sifatNya tidak serupa dengan sifat makhlukNya, niscaya mereka tidak meminta hal tersebut yang menandakan kejahilan mereka terhadap hakekat Uluhiyyah.
وَطَآئِفَةُُ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنفُسُهُمْ
يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا
مِنَ اْلأَمْرِ مِن شَىْءٍ
“Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri;
mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.
Mereka berkata:”Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam
urusan ini”. (Qs. 3:154)
Yang dicela oleh Allah terhadap
kelompok tersebut adalah aqidah tertentu (tashawwur mu`ayyan) yang berkaitan
dengan hakekat uluhiyyah. Yaitu aqidah mereka bahwa ada pihak lain yang ikut
campurtangan bersama Allah dalam segala urusan serta kejahilan
(ketidaktahuan) mereka bahwa yang menyempurnakan perbuatan hanyalah kehendak
dan aturan Allah Yang Esa.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan
tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. 12:33)
Makna ayat ini berkaitan dengan
sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani yaitu cenderung untuk
(memenuhi keinginan) wanita, melanggar perintah Allah dan terjerumus dalam
urusan yang diharamkan Allah. Itulah sesuatu yang oleh Yusuf `Alaihis Salam
dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya serta dimintakan perlindungannya kepada
Allah.
وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu”. (QS. 33:33)
Makna ayat inipun berkaitan
dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani dan mengikuti aturan
yang tidak diturunkan oleh Allah seperti wajibnya menjaga diri dan tidak
menampakkan perhiasan wanita kecuali terhadap para mahramnya.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. 5:50) (Baca : Kitab “Ru`yah
Islamiyyah Lii Ahwal Al `Alam Al Mu`ashir, Hal : 15-17)
Dua karaktersitik inilah yang
dapat saja terjadi pada perorangan atau suatu negara. Seorang yang tidak
mengenal hakekat Uluhiyyah yang benar atau bersikap hidup tanpa ikatan Rabbani
tentu disebut memiliki sifat jahiliyyah, walaupun dia mengaku Islam. Begitu
pula sebuah negara yang system hukum, norma dan tata nilainya bertentangan
dengan hakekat Uluhiyyah atau tidak terikat dengan ikatan Rabbani dapat
digolongkan sebagai negara jahiliyyah, walaupun mayoritas penduduknya atau
pemimpinnya kaum muslimin
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian
BalasHapusmenolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (QS. Muhammad [47]: 7).
“.... Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al Hajj [22]: 40).
“.... Dan wajib pada kami untuk selalu menolong orang-orang yang beriman”. (QS. Ar Ruum [30]: 47).